Perspektif

Mahasiswa Stres, Bukti Pendidikan Agama Cuma Dianggap Formalitas

4 Mins read

Mahasiswa—-Sampean tau ndak Mas, anak-anak sekarang itu high achiever tapi resiliensinya rendah. Jadinya gampang stres, depresi terus jadi suka aneh-aneh gitu tingkahnya. Wah tobit. “
Kata teman saya sambat. Dia adalah dosen di salah satu universitas ternama di Yogyakarta.

“Itu realitas kampus saat ini lho Mas,” lanjutnya berapi-api. “Selama ngurusi prodi, saya sudah beberapa kali mendapati kasus bocah stres. Ujian tiba-tiba bengak-bengok, trus ada yang sampai lari kejar-kejaran sama satpam kampus, bahkan ada yang berhalusinasi mau bunuh diri.”

Lhadalah. “Brooo! itu kampus atau rumah sakit jiwa?” pekik saya dalam hati.
Perasaan dulu selama saya kuliah, nggak pernah ada tuh kejadian seperti itu. Kalau pun ada orang bengak-bengok biasanya itu karena kebanyakan minum ciu atau susu fermentasi. Itupun kejadiannya malam, selepas kegiatan perkuliahan berakhir.

Menjadi mahasiswa abadi alias nggak lulus-lulus, skripsi mandeg jegreg, diputus pacar saat sedang sayang-sayangnya, motor dicuri orang di kosan, mereka santai-santai saja tuh. Kalau pun stres masih dalam takaran yang wajarlah menurut saya. Dan begitu diceritakan ke teman-teman majlis taklim di kampus, atau dipakai mendaki ke Semeru, stres mereka pun lenyap dan aktivitas kembali normal.

Terus terang, cerita bernada sambat dari teman saya itu menggoncangkan relung hati saya. Saya jadi berpikir, jangan-jangan selama ini mereka tidak pernah berkenalan dengan Tuhan? Tidak perlu ritual yang ndakik-ndakiklah, misalnya hanya sekedar menikmati momen buka bersama di langgar atau mushola, sambil mendengarkan tausiyah dari para penceramah yang lucunya nggak ketulungan.

Sampai-sampai kita punya list nama penceramah berdasarkan derajat kelucuannya, atau dari kecepatan ngimami sholat tarwehnya. Menurut saya, momen romantika religius yang adem seperti itu sangat membekas dan sedikit banyak telah membentuk mentalitas keimanan saya dan teman-teman saya waktu itu.  Sekali lagi saya masih tidak percaya kalau mahasiswa sekarang mentalitasnya serapuh itu.

***

Saya mencoba berselancar di Google tentang topik kerapuhan mahasiswa itu, dan ternyata teman saya nggak asal sambat. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan fenomena yang sama terjadi di tempat lain.

Baca Juga  A Tapestry Cut By A Jigsaw: Sekadar Empati Kepada Bangsa Kurdi

Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh National College Assessment pada tahun 2014. Mereka menemukan bahwa dari mahasiswa yang disurvey, 33% mengalami depresi karena terlalu mengkhawatirkan hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup mereka. Dalam penelitian lain, ditemukan bahwa 20% mahasiswa masa kini mengalami masalah kejiwaan karena tekanan yang mereka alami di dunia akademis, bahkan 9% nya terlintas mau bunuh diri. Wow!

Kalau saya baca, salah satu yang menjadi momok para mahasiswa adalah skripsi atau tugas akhir. Apalagi kalau dapat dosen pembimbing yang terkenal killer. Wah bisa gelap tuh dunia mereka. Ketemu dosen menjadi sangat berat dan penuh tekanan. Layaknya mau menghadapi batara kala dalam lakon pewayangan. Sampai salah kasih syarat, wah bisa dimakan mentah-mentah mereka. Hiii, syerem!
Belum lagi jika ada tambahan tekanan dari orang tua yang merasa sudah keluar banyak biaya untuk kuliah anaknya. Wah, setiap pagi mereka bakal merasa matahari terbit dari barat tuh. Kiamat sudah dekat, katanya.

Yang menarik, dalam penelitian-penelitian itu juga disebutkan bahwa salah satu penyebab mahasiswa depresi adalah media sosial, makhluk yang pada waktu saya kuliah belum ada. Media sosial dipercaya bisa meningkatkan level kekhawatiran dan depresi pada seseorang karena secara tidak sadar mereka akan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain. Hm, iya juga sih.

***

Kadang saya juga pernah nyesek ketika melihat teman yang dulu paling tidak berprestasi sewaktu kuliah, tiba-tiba saat ini sudah sukses menjadi wakil rakyat di Senayan. Atau melihat teman yang sering titip absen ketika kuliah dan sekarang menjadi dosen di kampus sebelah.
Atau nyesek cuma gara-gara lihat postingan teman yang lagi nongkrong di kafe kekinian dan saya belum ke sana karna tanggal tua, sementara duit di dompet cuma cukup buat beli Indomie.

Baca Juga  Kesamaan Gagasan Merebut Tafsir Lies Marcoes dengan Putusan Tarjih Muhammadiyah

Belum lagi pas melihat postingan mantan, eh pacar barunya sekarang lebih cakep dan tajir dari saya. Sialnya, pas saya stalking pacar barunya, dia baru saja upload mobil baru hadiah dari bisnis MLM nya yang telah sukses menggurita. Sementara saya? “Boro-boro mobil bro, motor satu aja peninggalan dari zaman Fir’aun.” Lebay!

Dan selama ini nyesek itu akan hilang ketika saya ingat dawuh kyai di pengajian yang saya pernah ikuti. “Manusia itu diciptakan tujuannya supaya beribadah kepada Allah. Jadi terbiasalah dan berbiasalah mencintai nasib kita sendiri-sendiri.” Cess! Konsep sabar dan syukur itu benar-benar saya rasakan ketika saya ingat kalau tujuan kita diciptakan hanya untuk bersujud kepada Nya saja, tidak lebih.

***

Saya kok khawatir ya, jangan-jangan ada pola asuh yang salah dalam mendidik anak-anak sekarang. Tentu saya tidak hendak menyalahkan siapa pun.

Menurut saya, ekosistem yang selama ini ada, hanya fokus pada perkara teknis saja. Seperti tuntutan bahwa anak harus berprestasi, harus juara, harus bisa masuk sekolah favorit atau jurusan favorit, dan nanti bisa kerja di perusahaan yang bonafide. Ekosistem ini tentunya juga melibatkan orang tua, lembaga pendidikan, masyarakat dan saat ini bertambah lagi media sosial.

Melalui ekosistem itu, anak dipacu untuk terus berkompetisi, dan berhasil.
“Semangat berprestasinya tinggi, selalu pengen jadi the best. Tapi giliran dikasih challenge yang agak riweh mereka ngeluh dan ujungnya stres,” kata teman saya yang dosen itu.

Mereka selalu dituntut menang tapi tidak pernah diajari bagaimana ketika harus menghadapi kekalahan. Tidak jarang orang tua pun turut menyalahkan mereka karena kekalahannya, atau tidak mengapresiasi perjuangan mereka. Akhirnya mungkin, dalam diri mereka terpatri slogan bahwa kalah itu memalukan dan akan dipermalukan.

Jadi kebutuhan akan ekosistem belajar yang berimbang antara teknis dan non teknis ini menurut saya urgent. Sekolah atau kampus wajib menengok kembali kurikulumnya. Kompetensi non teknis harus diberi porsi yang lebih, tidak sekedar pelengkap saja. Mahasiswa harus diingatkan bahwa mereka adalah homo religiosus, yaitu bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, jadi harus lebih mengenal Tuhannya. Tidak hanya sekedar kenal, tapi sampai pada level intim.

Baca Juga  RUU KPK Dinomorsatukan, Yang Lain Entah

Pendidikan agama harus didudukkan sesuai marwahnya. Tidak seperti saat ini, hanya sebagai pelengkap saja, dosennya pun biasanya hanya dosen cabutan dari kampus lain, jadi kadang masuk, kadang tidak. Dan ketika dosennya masuk, gantian mahasiswanya yang nggak masuk. Maklum kuliah umum, saking banyaknya peserta kuliah dalam satu kelas kita bisa leluasa untuk main petak umpet dengan dosen.

***

Tentunya bermodal wajah melas dan janji-janji manis kepada mahasiswa yang rajin kita bisa titip absen kuliah, titip nama saat ada tugas, fotocopy catatan teman, dan mencontek saat ujian. Hm, pokoknya loss gak rewel

Mungkin perlu dicoba untuk mengawinkan pendidikan ala pesantren ke dunia kampus. Pendidikan agama diberikan dalam kelas-kelas kecil, dan diberikan pemahaman tentang nilai-nilai yang perlu dimiliki mahasiswa sebagai bekal mereka menghadapi tantangan hidup. Tentu saja jangka pendeknya, bisa memberikan strategi kepada mahasiswa untuk menghadapi tugas akhir atau skripsi.

Minimal mereka yakin bahwa “beserta kesulitan itu kemudahan (QS 95:5)”. Dan mereka yakin saat akal tidak mampu menjangkau, iman akan menyelamatkan kita dari stres. Saat logika diputar balik, iman akan menjernihkannya kembali, dan iman juga memampukan kita untuk terus berjalan saat akal memberitahukan kita untuk berhenti dan menyerah kalah.
Kata Confusius, hidup ini sederhana. Tapi, manusia lebih sering membuatnya jadi rumit, sehingga merepotkan dirinya sendiri.”

Perlu keterpaduan antara pikir dan dzikir, supaya kita tidak mudah mengalami stres, depresi atau malah ingin bunuh diri. Kayak nggak punya Tuhan saja. Hm, atau jangan-jangan banyak yang merasa begitu ya sekarang? Karena terlampau asyik mengejar dunia, kita jadi nyuekin Tuhan.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Lebih dikenal dengan nama Wawan Kondo. Asli Bantul Yogyakarta, tapi saat ini tinggal di Kediri Jawa Timur. Pernah menulis beberapa buku bergenre komedi, marketing, motivasi dan terakhir menerbitkan kumpulan puisi berjudul Merupa Mendung di 2019.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds