Insight

Majelis Tarjih dan Tantangan Artificial Intellegent

5 Mins read

Oleh: Ilham Ibrahim

Setelah komputer berhasil mengalahkan manusia dalam papan catur, banyak yang beranggapan bahwa kecerdasan buatan (Artificial Intellegent/AI) selamanya tidak akan pernah mengalahkan manusia dalam permainan Go. Akan tetapi anggapan itu mulai luntur pada tahun 2016 setelah juara dunia Go asal Korea Selatan, Lee Sedol, kalah telak 4-1 oleh AI yang dikembangkan Google Deep Mind dengan nama AlphaGo.

Sebelum pertandingan, Sedol sangat yakin dirinya akan dengan mudah memenangkan pertandingan akbar tersebut. Namun akhirnya Sedol menunduk lesu setelah dirinya sadar banyak gerakan tak terduga dari cara bermian Alpha Go, bahkan selebihnya tidak lazim. Menurut Sedol, Alpha Go seperti tahu dirinya akan bergerak ke mana.

Sejak meletupnya revolusi industri 1.0 yang ditandai dengan penemuan manusia akan mesin uap, orang takut mekanisasi akan merebut pekerjaan mereka dan menyebabkan pengangguran massal. Akan tetapi dalam sejarahnya, selalu ada yang bisa dikerjakan manusia yang lebih baik dari mesin.

Sepanjang mesin bersaing dengan manusia dalam kerja fisik, ada banyak perkejaan yang bersifat kognitif yang bisa dilakukan oleh manusia. Artinya, untuk setiap pekerjaan yang tergantikan mesin, setidaknya satu pekerjaan baru diciptakan. Namun, setelah manusia mengembangkan kecerdasan buatan, bahkan dapat mengungguli Lee Sedol dalam permainan Go, apa yang akan terjadi dengan pekerjaan yang bersifat kognitif seperti dokter, psikolog, seniman, dan… ulama?

Bioteknologi dan Infoteknologi

Menurut Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for 21st century, kecerdasan buatan lahir akibat revolusi kembar: bioteknologi dan infoteknologi. Menurutnya, ahli biologi mengartikan misteri tubuh manusia, khususnya otak dan perasaan. Sebelumnya, kita memahami bahwa perasaan merupakan argument intuitif manusia yang paling purba.

Namun setelah revolusi biotek, para saintis menunjukan bahwa perasaan tidak lebih dari sekadar proses biokimia untuk menghitung probabilitas kelangsungan hidup dan reproduksi dengan cepat. Sederhananya, perasaan sebenarnya merupakan perhitungan matematis di alam bawah sadar kita, dan tidak mencerminkan kualitas spiritual apapun.

Misalnya ketika seekor tikus ingin mencuri potongan tempe di meja makan, namun saat berjalan beberapa langkah, dia melihat manusia lewat. Secara otomatis, muncul perasaan takut dalam diri si tikus. Rasa takut itu muncul lantaran jutaan neuron di dalam otak dengan cepat menghitung data yang relevan dan menyimpulkan bahwa jika dirinya sampai nekat mengambil potongan tempe, probabilitas kematiannya tinggi.

Baca Juga  Saat Buya Syafii Maarif Dirawat di PKU Gamping

Sama dengan manusia. Ketika saya berselancar di Instagram, lalu membuka akun Nissa Sabyan. Secara otomatis entah kenapa jantung saya berdetak cepat (mungkin jatuh cinta) dan tanpa sadar jutaan neuron dalam probabilitas komputasi otak saya menghasilkan kesimpulan bahwa lamaran saya pasti ditolak Nissa!

Pada saat yang bersamaan kita mengalami revolusi infotek. Sekarang ini ahli komputer memberi kita kekuatan pemrosesan data yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menurut Harari, penemuan utamanya adalah sensor biometrik. Sensor ini dapat mengubah proses biologi seperti detakan jantung dan aliran darah menjadi informasi elektronik yang dapat disimpan dan dianalisis oleh komputer.

Dengan data biometrik yang cukup, dan daya komputasi yang cukup, sistem pemrosesan data eksternal dapat dengan mudah meretas semua keinginan, keputusan, opini, perasaan manusia. Otak kita dapat dimanipulasi komputer. Mereka bisa tahu persis siapa Anda.

Signifikansi Peran Algoritma

Menurut Harari, ketika biotek dan infotek berintegrasi, maka lahirlah bayi yang bernama algoritma Big Data. Kebanyakan orang tidak mengenal diri mereka sendiri dengan baik, tapi mesin algoritma dapat mengenali diri Anda lebih baik daripada yang Anda pikirkan.

Misalnya, ketika Ahmad dihadapkan harus memilih antara Jokowi atau Prabowo, mesin algoritma akan menganalisis setiap gerakan mata, tekanan darah, detakan jantung, lalu lintas ilmpuls dalam otak, lalu menghasilkan kesimpulan probabilitas pilihannya akan jatuh pada Golput. Sebab komputer akan tahu saat Ahmad melihat gambar Jokowi maupun Prabowo, yang terbayang dalam benaknya adalah Sexy Killer. Komputer tahu ada proses biologi yang memiliki pola yang sama antara Ahmad dan Golputers lain di seluruh Indonesia.

Algoritma juga bisa menghasilkan karya yang secara personal kita sukai. Contoh paling sederhana adalah pilihan komedi. Misalnya, ketika Budi menonton adegan Sule nyanyi lagu Andeca-Andeci di akun youtube Opera Van Java, dia tertawa pulas menikmati kekonyolan pelawak asal Bandung tersebut.

Baca Juga  Bonus Demografi: Berkah atau Musibah?

Namun, saat Budi kemudian memutuskan untuk melihat penampilan Uus stand up comedy secara on air, Budi terpaksa tertawa saat mendengar joke-joke recehnnya untuk sekadar menghargai usaha Uus. Setelah puas nonton stand up comedy, Budi kemudian nonton Warkop DKI. Melihat adegan Dono tercebur ke dalam kolam bersama gerobak, membuat Budi tertawa kecut; dilema antara bahagia dan merasakan penderitaan.

Dalam jangka panjang, algoritma akan belajar bagaimana cara menciptakan komedi yang secara personal disukai oleh Budi seorang. Dengan menyensor aktivitas otak, tekanan darah, detakan jantung, algoritma akan menganalisis plot-plot mana saja yang akan membuat Budi tertawa kegirangan, di bagian mana yang akan membuat Budi tampak kesal, dan pada bagian mana Budi akan tersenyum kecut. Algoritma akan menghasilkan komedi yang dipersonalisasi, yang hanya Budi seorang saja yang akan tertawa pulas.

Akan tetapi bila menggunakan database biometrik yang dikumpulkan dari jutaan orang, algoritma ini akan dapat mengetahui tombol biokimia mana yang harus ditekan untuk menghasilkan lawakan global yang akan membuat semua orang tertawa terbahak-bahak. Jika algoritma telah mencapai titik ini, maka dia akan menghasilkan lawakan yang paling lucu di dunia.

Tidak hanya lawakan, termasuk bidang lain. Dengan menganalisis database biometrik yang dikumpulkan dalam jumlah besar, algoritma akan mampu menghasilkan lukisan paling indah, puisi paling nyesek, syair paling menghujam kalbu, dan musik indie yang paling mengerti akan senja. Pada akhirnya, wujud algoritma seperti pak Ndul: ahlinya ahli, intinya inti, dan core of the core.

Sebagai Tantangan Majelis Tarjih

Menurut Harari, sepanjang sejarah, pasar kerja terbagi menjadi tiga sektor utama: pertanian, industri, dan jasa. Pertanian merupakan jenis pekerjaan yang paling tua di dunia. Saat revolusi industri, masyarakat di negara-negara maju yang merasakan dampaknya mulai meninggalkan ladang dan berubah jadi buruh pabrik, sebagian bekerja di sector jasa.

Namun lambat laun pekerja industri juga menipis, sedangkan sektor jasa membengkak, termasuk ulama. Ketika algoritma dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari manusia, apa yang harus dilakukan ulama? Lebih jauh, bagaimana dengan otoritas keagamaan?

Baca Juga  Islam Ibtidaiyah: Penyebab Sikap Kaku dalam Beragama

Pada zaman Nabi, Rasulullah merupakan figur yang paling otoritatif menyangkut persoalan keagamaan. Segala permasalahan dapat cepat teratasi karena sahabat dengan mudah menanyakannya langsung pada Rasulullah. Sepeninggalan Nabi, teks Qur’an dan Sunah terhenti dan tidak mungkin bertambah, sementara persoalan keagamaan tidak pernah berakhir.

Akhirnya, otoritas keagamaan untuk hal-hal yang belum disinggung Nabi diserahkan pada Ulama. Dalam kasus Muhammadiyah, persoalan keagamaan diserahkan pada Majelis Tarjih. Di abad sekarang, otoritas itu kemungkinan akan berubah lagi dari Majelis Tarjih (Ulama) ke algoritma.

Selama ini Majelis Tarjih telah menghasilkan banyak berbagai produk putusan dan fatwa. Jika kekayaan data itu dianalisis oleh mesin algoritma, maka mesin itu akan belajar sendiri bagaimana pola-pola Majelis Tarjih membuat suatu kesimpulan hukum.

Lebih mengerikan lagi ketika database biometrik warga Muhammadiyah terhadap putusan dan fatwa tarjih tersedia kemudian diolah dan dianalisis mesin algoritma, maka boleh jadi kesimpulan hukum yang dihasilkannya akan lebih Tarjih daripada Majelis Tarjih itu sendiri. Kalau prediksi ini tidak keliru, warga persyarikatan Muhammadiyah akan berbondong-bondong bertanya pada algoritma, bukan ke surel Majelis Tarjih.

Kalimat di atas memang seperti mengada-ada. Namun patut untuk diperhatikan menurut Harari saat ini banyak bank, perusahaan, dan Lembaga menggunakan algoritma untuk menganalisis data dan membuat keputusan tentang kita. Misalnya sekarang di negara maju sudah muncul AI yang menganalisis ayunan jantung dan aliran darah kita menjadi sebuah kebijakan.

Kenapa Donald Trump begitu konservatif, sebab dirinya tahu database biometrik warga Amerika, lalu mesin algoritma menyuruhnya untuk mengatakan ‘Make America Great Again’. Pada akhirnya dia jadi penguasa negeri paman Sam.

Bukan tidak mungkin di masa depan, entah di abad 21 atau 22, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggunakan mesin algoritma untuk menenangkan anggotanya terkait kekecewaan hasil pemilihan presiden.

Nanti di segmen kedua saya akan lebih detail menjelaskan secara spesifik tantangan Artificial Intellegent terhadap Majelis Tarjih.

Related posts
Insight

Kesalehan Hibrid: Berislam Gado-Gado ala Milenial

4 Mins read
Revolusi industri 4.0 telah mendorong percepatan inovasi teknologi yang mengakibatkan perubahan dahsyat (disrupsi) terhadap kehidupan masyarakat. Masifnya internet tak hanya menghubungkan jutaan…
InsightPerspektif

Bonus Demografi: Berkah atau Musibah?

3 Mins read
Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh lembaga pemerhati pertumbuhan beragama dunia yang berpusat di Amerika, yakni Pew Research Center Religious and…
InsightPerspektif

Wajah Ekonomi dan Politik Kini

4 Mins read
*Diambil dan diolah dari berbagai sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds