Masyarakat Indonesia memang sangat akrab dengan sekitaran, terutama yang tinggal di pedesaan. Sosialisasi mereka dengan orang lain terbilang rutin. Waktu sore hari ataupun pagi biasa mereka pergunakan untuk kumpul-kumpul dengan tetangga sekitaran rumah. Baik untuk membahas masalah umum, atau pun membahas masalah (pribadi) orang lain. Rasanya tidak lengkap jika keseharian mereka lalui tanpa berkumpul, sehingga jarak sosial masyarakat pedesaan seakan tanpa sekat.
“Makan gak makan asal kumpul,” merupakan istilah yang biasa digunakan masyarakat, khususnya di desa. Dengan makan-makan ataupun tidak mereka lebih sering berkumpul bercengkrama, umumnya dilakukan oleh emak-emak. Yang bapak-bapak pun juga seakan tak mau ketinggalan, mereka sering menghabiskan topik pembicaraan di warung kopi sampai tak sadar kopinya sudah habis namun topiknya masih banyak. Diskusi masalah pertanian, pekerjaan, hingga politik menjadi tema sehari-hari mereka ketika di warung kopi. Seakan sudah menjadi budaya tiada hari tanpa ngopi sebagai sarana untuk bersosialisasi, meski yang diminum bukan kopi, kadang es kadang juga cuma air putih.
Kumpul di Tengah Pandemi
Di kala dunia sedang genting melawan serangan wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang per tanggal 29 Maret 2020 di Indonesia sudah menembus 1.285 kasus positif, 114 orang meninggal, dan 64 yang sembuh. Namun, kebijakan lockdown bukan menjadi pilihan pemerintah. Negara menghimbau agar masyarakat tetap di rumah, bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Jika memang harus keluar rumah, maka diharapkan dengan menjaga jarak (social dan physical distancing) sebagai langkah menahan laju sebaran virus ini. Tapi, bagaimana keadaan masyarakat khususnya di desa yang suka “makan gak makan asal kumpul”? Apakah mereka masih melakukan aktivitas seperti biasa?
Kebanyakan iya, “makan gak makan asal kumpul” masih berjalan di daerah atau wilayah pedesaan. Mereka masih banyak yang ngopi di warung, kumpul bareng tetangga, dan beribadah di tempat ibadah serta pasar yang menjadi tempat berkumpulnya orang masih memutar roda perekonomian seperti biasa.
Bukan mereka kebal dari virus. Mungkin ada beberapa faktor yang menjadikan kumpul-kumpul masih dijalani oleh masyarakat kita. Pertama, masyarakat kita mungkin masih beranggapan virus ini hanya menjalar di perkotaan dan di daerah yang sudah menjadi zona merah. Sehingga tak mungkin sampai di desa-desa, makanya aktivitas rutin, ngumpul, dan ngopi pun masih berjalan. Bahkan warung-warung terlihat penuh kapasitasnya, karena banyak para perantau baik kerja atau pun kuliah yang mudik.
Kedua, teman atau kerabat kita yang dari jauh seperti dari daerah zona merah yang sudah ada kasusnya, mungkin beranggapan mereka sehat-sehat saja, karena mereka lolos dari bandara, ataupun saat di tes suhu mereka standar. Juga tidak memiliki gejala semacam gejala COVID19, jadi mereka tetap santuy kumpul-kumpul dengan sahabat atau sanak keluarga.
Padahal, masa penularan Virus Corona (COVID-19) minimal 2-14 hari sampai muncul gejala. Artinya, orang itu bisa tetap merasa sehat meski ternyata sudah terinfeksi virus COVID-19. Nah, kadang hal itu belum di sadari, karena merasa sudah dites dan hasilnya baik-baik saja, maka dianggap aman. Makanya pemerintah dan otoritas kesehatan menyarankan untuk karantina diri sendiri dulu di rumah selama 2 Minggu, agar bisa memastikan dirinya bebas dari virus setelah dari daerah atau negara yang sudah ada kasus positifnya.
Ketiga, masyarakat kita terlalu akrab dengan sekitar dan itu sudah menjadi ciri khas orang Indonesia. Jika disuruh menahan diri untuk mengisolasi dirinya selama 14 hari amatlah sulit. Rasa ingin jumpa teman, jalan-jalan atau kumpul bersama keluarga sulit dibendung. Hal ini wajar. Tapi demi mencegah sesuatu yang buruk seperti Virus Corona ini, bukankah baiknya kita mengikuti protokoler atau himbauan dari Pemerintah dan ahli kesehatan?
Selain itu, kesadaran untuk memiliki keinginan memeriksakan diri ke tempat seperti Puskesmas dan Rumah Sakit (RS) masih sangat minim. Begitu pula seruan untuk menjaga jarak, di rumah saja juga sulit dilakukan. Tak heran aparat pun turun tangan untuk membubarkan setiap adanya kerumunan, seperti di warung kopi.
Keempat, mungkin rasa iman kita kepada Tuhan yang beranggapan bahwa mati sudah menjadi takdir Allah SWT. Jadi jangan takut virus, takutlah kepada Allah adalah dalih agar “makan gak makan asal kumpul” masih dijalankan. Iya benar, namun bukankah Allah SWT tidak akan mengubah nasib hamba-Nya kalau seorang hamba tidak mau berusaha mengubahnya? Dan sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Ustadz Fathurrahman Kamal, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang sudah beredar di lini masa media sosial.
Pada keadaan pandemi seperti saat ini, kita yang mungkin ada yang merasa pilek, batuk, ataupun badan panas meski tanpa pernah berinteraksi dengan orang yang positif, atau setelah bepergian dari kota atau negara zona merah, akan merasa panik sendiri, dan bahkan mungkin dituduh carrier (terkena virus), padahal kita di rumah saja.
Sebagian masyarakat kita memang tidak bisa kalau bekerja dari rumah, karena banyak yang mata pencahariaannya harus mereka lakukan di luar rumah di tengah kondisi darurat seperti sekarang ini. “Nek gak metu omah yo gak mangan” (Kalau tidak keluar rumah, ya gak makan) adalah alasan yang logis bagi mereka yang pekerjaannya menuntut mereka harus keluar rumah.
Harusnya ada solusi untuk masalah ini, karena mereka sangat rentan terinfeksi, sedangkan mereka juga punya kewajiban mencari nafkah untuk keluarga mereka. Setiap pekerjaan memang mempunyai resiko, tapi untuk resiko kali ini bukanlah sesuatu yang menjadi hal yang wajar dalam suatu pekerjaan. Bekerja di luar seakan menjadi uji nyali bagi sebagian masyarakat kita.
“Makan gak makan asal kumpul” merupakan budaya keramahan dan keakraban warga Indonesia yang seakan mulai terkikis di tengah wabah Virus Corona. Semua kebiasaan masyarakat seakan sirna di tengah ancaman merebaknya pandemi ini. Budaya dan istilah “makan gak makan asal kumpul” baiknya kita hentikan sementara demi kemaslahatan bersama agar penyebaran virus ini tidak terus meluas.
Bagi masyarakat yang masih memiliki kebandelan dengan tak menggubris, baiknya memikirkan lagi untuk menahan egonya. Ngopi dan kumpul-kumpul baiknya kita tahan, atau bisa kita lakukan dari rumah dengan minum kopi sambil memanfaatkan teknologi melalui video call atau yang lainnya.
Dengan tidak adanya kebijakan “Lockdown”, membuat kita tidak tahu kapan akhir dari semua ini. Seakan tidak ada target penyelesaian masalah COVID19, kita dibuat semakin risau. Kita sendiri tidak tahu sampai kapan musibah ini akan berakhir, namun semoga ini bukan merupakan akhir dari kehidupan.
Jika ada target 1, 2 atau 3 bulan kasus ini selesai, maka akan ada penanganan yang membuatnya segera dan mempercepat proses dalam mengatasi masalah. Mungkin dengan “Lockdown” dan menyisir semua wilayah dan mengisolasi mereka yang tercatat memiliki potensi, mungkin akan mempercepat penanganan virus Corona. Tapi semua ada di tangan otoritas terkait, kita sebagai rakyat biasa hanya bisa waspada, ikhtiar, dan berdoa. Serta yakin bahwa Pemerintah, tim medis, dan lainnya akan melakukan yang terbaik bagi bangsa yang tercinta ini. Kita harus mendukung dan ikut membantu sebisa dan semampu kita.
Hanya Allah yang tahu kapan virus ini akan berhenti dan kita bisa kembali menikmati kehidupan yang normal. Apalagi tidak sampai 30 hari lagi kita akan berjumpa dengan bulan Ramadhan. Tentunya kita ingin shalat Tarawih berjamaah di masjid, tadarusan, dan juga saling bersalaman saat hari raya nanti. Semoga Allah Sang Penguasa Alam segera mengangkat pandemi ini dari kehidupan manusia, agar kita semua bisa menjalani hidup tanpa rasa panik dan was-was lagi. Aamiin.
Editor: Arif