Perspektif

Mana yang Lebih Utama, Ilmu atau Harta?

3 Mins read

Desakan pola hidup kekinian tampaknya harus diakui membawa berbagai konsekuensi. Dan konsekuensi tersebut tidak selalu menguntungkan, bahkan kerap menjadi permasalahan baru dalam arus peradaban manusia. Secara alamiah, konsekuensi tersebut harus ditanggung oleh manusia sendiri, baik sehubungan dengan kesadaran dirinya maupun tata peradaban yang telah dibangunnya.

Peradaban masa kini, disamping ia menawarkan berbagai kenikmatan. Perkembangan saat ini kerap juga memunculkan fenomena dehumanisasi, manusia yang tak lagi manusiawi. Contohnya saja, lahir sebuah epistemologi yang melahirkan nalar cangging namun menegaskan kurangnya wawasan tentang keragaman dan harmoni. Serta kontradiksi lainnya yang tumpang tindih.

Kehidupan manusia saat ini banyak diwarnai oleh dislokasi kejiwaan, disorientasi nilai (kehilangan pegangan karena runtuhnya nilai-nilai lama),dan juga deprivasi relatif (perasaan tersingkir dan terasing dalam bidang tertentu).

Senada dengan itu, Seyyed Hossein Nasr meratapi manusia hari ini yang terjebak dalam perangkap-perangkap ciptaan sendiri, baik itu dalam nama saintisme, kritisisme, psikologisme, maupun biologisme. Manusia tidak mampu mengembangkan kemanusiaannya sendiri, karena dirinya lenyap ditelan oleh sistem dan gaya hidup yang mereka bangun sendiri.

Pendidikan Meredam Ketergesaan Manusia

Kosakata bunuh diri pun menjadi populer dalam dunia warta nasional. Sebagian besar menurut ahli, bunuh diri dipastikan akibat ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan dirinya. Mengikuti segala arus modernitas, ditambah lagi tuntutan gaya hidup yang konsumtif agar dapat berkompetisi dengan yang lainnya dalam hal style, fashion, atau bentuk material lainnya.

Manusia dengan segala potensinya, termasuk akal-budi yang dimilikinya, harusnya ia hidup dalam paradigma philo-sophia (cinta kepada kebijaksanaan). Namun dalam kenyataannya, manusia lebih banyak menghindari pertemuan dengan kebijaksanaan, dan lebih sibuk dalam pemenuhan hasrat dan ambisinya untuk menjajah “dunia” dan memuaskan kesenangan sesaatnya. Alih-alih ia meniti jalan kebijaksanaan, justru kebalikannya, yaitu paradigma miso-sophia (kebencian terhadap kebijaksanaan).

Baca Juga  Fahruddin Faiz: Tiga Tingkatan Toleransi Manusia

Penulis meyakini bahwa jalan utama atas gejala semua ini adalah meluruskan kembali pola pendidikan sebagai jalan utama. Tan Malaka pernah berkata, pendidikan bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkuat kemauan, dan memperhalus perasaan.

Tiga komponen tersebut, nampaknya menjadi pilar agar manusia sedikit memiliki rem atas ketergesaan dalam mengejar sesuatu yang fana dan kesenangan sesaat.

Ilmu Di Atas Segalanya

Dalam pandangan Islam, terdapat klasifikasi amalan yang disebut oleh Rasulullah Saw. Membaca Al-Qur’an adalah amalan orang yang cukup kemampuannya. Shalat adalah amalan orang yang lemah. Puasa amalan orang-orang yang fakir. Bertasbih amalan perempuan. Sedekah amalan orang kaya. Tafakur amalan orang lemah.

Kala itu, Nabi Muhammad Saw menyatakan hal demikian kepada para sahabat seperti yang diceritakan oleh Alqama dengan bersumber kepada Ibnu Mas’ud. Nabi kemudian melanjutkan dengan pertanyaannya, “Tahukah kalian, apa amalan para juara?”

Para sahabat menjawab tidak tahu, dan Nabi berkata, “Mencari ilmu. Itulah cahaya orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat.”

Lalu Rasulullah Saw menjelaskan bahwa dialah kota ilmu sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya, para sahabat pun mengimani pernyataan itu, tapi tidak dengan kaum Khawarij. Sebab kedengkian, mereka tidak percaya dan menolaknya.

Selepas dari itu, sepuluh jagoan dari kaum Khawarij mengatur sebuah siasat. Mereka hendak menguji Ali r.a dengan satu pertanyaan yang sama dan akan menanyakan secara bergiliran.

Mereka berharap bahwa Ali akan menjawab dengan jawaban yang sama atas pertanyaan tersebut yang akan ditanyakan sebanyak sepuluh kali dengan pertanyaan yang sama. Sehingga mereka berharap bahwa Ali kehabisan akal untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Keesokan harinya, mereka benar-benar menemu Ali r.a. Seseorang lantas memulai dengan bertanya kepada Ali dan setiap kali Ali selesai menjawab, setiap dari mereka tidak segera pergi tapi menunggu yang lainnya datang. Begitu seterusnya.

Baca Juga  Konsep Khilafah HTI Vs Konsep Khilafah Ahmadiyah

Maka datanglah orang pertama, ia membuka dengan sebuah pertanyaan, “Wahai Ali, jelaskan kepadaku manakah yang lebih utama: ilmu atau harta?”

“Tentu ilmu”

“Mengapa?”

“Ilmu adalah warisan para utusan Utusan. Harta adalah warisan Qarun, Syaddad, Fir’aun”

Orang kedua datang dengan pertanyaan yang sama dan Ali tetap menjawab ilmu yang lebih utama.

“Mengapa?” tanya orang Khawarij kedua

“Ilmu menjagamu, tapi harga, kamulah yang harus menjaganya”

Kepada orang ketiga, Ali menjawab, “Pemilik harta punya banyak musuh, sedangkan pemilik ilmu punya banyak teman”

Kepada orang keempat, Ali menjawab, “Jika kau pergunakan hartamu, hartamu akan menyusut. Tetapi jika kau gunakan ilmu mu, ia akan terus bertambah.”

Orang kelima mendapatkan jawaban, “Orang-orang menyebut, pemilik harta itu rakus dan pelit, tapi pemilik ilmu dipandang mulia dan dihormati.”

“Harta selalu dijaga dari pencuri, tapi ilmu tidak perlu dijaga.” Kata Ali kepada orang keenam.

Ali menjawab kepada orang ketujuh, “Pemilik harta akan dihisab, pemilik ilmu akan diberikan ampunan.”

Jawaban Ali kepada orang kedelapan adalah, “Dalam kurun waktu yang lama atau sebentar, harta akan lenyap, tapi ilmu abadi.”

Orang kesembilan mendapatkan jawaban, “Harta mengeraskan hati, tapi ilmu menyinari hati.”

Dan orang kesepuluh mendapatkan jawaban, “Pemilik harta dihormati karena semata sebab ada hartanya, tapi pemilik ilmu dihormati dan disegani sebab ilmunya.”

Ali menyadari bahwa sepuluh orang Khawarij ini datang kepadanya hendak menguji saja, bukan mencari sebuah jawaban. Maka diakhir pertemuan tersebut Ali menambahkan jawaban, “Seandainya kalian datangkan semua orang bertanya perkara ini, selama aku masih hidup, aku akan memberikan jawaban yang berbeda. Sekarang, pulanglah kalian.”

Spontan orang Khawarij pun harus mengakui pernyataan Rasulullah perihal Ali sebagai gerbang ilmu pada saat itu juga. Itulah sedikit gambaran mengenai pentingnya ilmu dalam kehidupan. Bahwa ia akan melahirkan sebuah kebijaksanaan dalam diri manusia, serta yang paling penting dari ilmu adalah seseorang akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga berkat pertolongan Allah, ia akan dianugerahi cahaya Ilahi yang selalu menuntunnya menapaki jalan kebaikan dan ketaatan.

Baca Juga  Tentang Usia Nikah Aisyah; Kritik Terhadap Al-Nadawi dan Al-Maududi

Editor: Soleh

12 posts

About author
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds