Inspiring

Asghar Ali Engineer: Islam Hadir Memperjuangkan Hak-hak Kaum Lemah

4 Mins read

Bagi orang yang mengikuti diskursus kajian keislamaan modern, maka ia akan melihat para sarjana Muslim menawarkan beragam dinamika pemikiran. Tapi, kalau kita amati secara keseluruhan rumusan pemikiran itu akan bermuara pada cita-cita yang sama. Cita-cita tersebut yakni, menafsir ulang doktrin keagamaan tradisional untuk mengejar ketertinggalan umat Islam.

Kita harus akui dengan setulus hati, bahwa dalam banyak hal umat Islam memang jauh tertinggal oleh umat lain. Misalnya dalam hal Indeks Pengembangan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) pada level rendah ditempati oleh negara-negara yang dihuni oleh mayoritas Muslim (Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqaṣid Syari‘ah, 2015: 23).

Atas alasan yang demikianlah para sarjana Muslim yang memiliki perasaan “sadar” akan posisinya sebagai pemikir untuk menawarkan gagasan, ide, bahkan pembaharuan (ijtihād).

Di Indonesia, kita mengenal Harun Nasution yang gagasannya pernah meramaikan wacana pemikiran keislaman Tanah Air tentang “teologi rasional”-nya. Sehingga ia disebut-sebut sebagai pelopor kebangkitan “Neo-Mu’tazilah”. Lalu ada Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang mencanangkan ide “liberalisasi” dan “sekularisasi”, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan pemikirannya pada gerakan “sosio-kultural” atau yang ia sebut sebagai “Pribumisasi Islam”.

Kesadaran tentang perlunya membangun kerangka pemikiran yang transformatif itu tidak hanya muncul di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Muslim lainnya. Kita bisa menyebut Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Kiri Islam (al-Yasar al-Islami). Ia menulis karya monumental Min al-Aqidah ila al-Tsaurah (dari Teologi ke Revolusi) sebanyak 5 jilid.

Ada juga Ziaul Haque (Pakistan) yang menulis buku cukup provokatif, Revelation and Revolution in Islam (Wahyu dan Revolusi dalam Islam). Selain itu, harus pula disebut Asghar Ali Engineer (India), yang menulis buku Islam and Its Relevance to Our Age, yang terkenal dengan gagasan “Teologi Pembebasan”-nya.

Baca Juga  Mengapa Konflik Sesama Kelompok Muslim Masih Terjadi?

Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

Saya akan fokus pada nama yang disebutkan belakangan, Asghar Ali Engineer. Asghar bukan hanya seorang pemikir, melainkan juga seorang aktivis. Ia merupakan pemimpin salah satu kelompok Syiah Ismailiyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi), yang berpusat di Bombay, India.

Melalui wewenang keagamaan yang ia miliki, Asghar berusaha menerapkan gagasan-gagasannya. Kendati, ia harus berhadapan dengan generasi tua yang cenderung bersikap konservatif, mempertahankan kemapanan (Djohan Effendi dalam Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, 1987: xi).

Untuk memahami latar belakang keagamaan Asghar Ali, ada baiknya diketahui sepintas lalu kelompok Daudi Bohras ini. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh seorang imam sebagai pengganti nabi yang dijuluki amir al-mukminin. Mereka mengenal 21 orang imam. Imam yang terakhir, Maulana Abu al-Qasim al-Thayyib, menghilang pada 526 H. akan tetapi, mereka masih percaya bahwa sang imam masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinan seorang Imam dilanjutkan oleh dai yang selalu berhubungan dengan imam itu.

Untuk diakui sebagai seorang dai tidaklah mudah. Ia harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4 kelompok: 1) kualifikasi-kualifikasi Pendidikan; 2) kualifikasi administratif; 3) kualifikasi moral dan teoretikal, dan; 4) kualifikasi keluarga dan kepribadian. Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi-kualifikasi itu, seorang dai harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Dan Asghar Ali adalah salah seorang da’i tersebut.

Sebagai aktivis, Asghar tampil sebagai pembela umat tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Ketika gagasan Teologi Pembebasan muncul di kalangan gereja Katolik di Amerika Latin, yang ternyata tidak direstui oleh Vatikan, Asghar Ali menulis artikel “Teologi Pembebasan dalam Islam.” Dengan gagasan Teologi Pembebasan inilah di antara faktor sosok Asghar dikenal.

Baca Juga  Islam itu Rasional (3): Akal Punya Porsi Besar dalam Agama!

Lalu, apa yang dimaksud oleh Asghar dengan Teologi Pembebasan? Bukankah teologi yang sering dipahami umum cenderung justru mengikat dan mengekang, tidak membebaskan?. Mari coba kita bahas.

Berdasarkan telaah kesejarahan terhadap dakwah dan perjuangan Nabi Muhammad di masa-masa permulaan, Asghar Ali berkesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner, baik dalam ucapan maupun tindakan, dan beliau berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat zamannya.

Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan masyarakat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial.

Islam bangkit dalam setting social Makkah, bukan hanya sebagai gerakan keagamaan. Namun lebih dari itu, agama ini juga sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial-ekonomi yang sangat mendalam. Dengan kata lain, Islam menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Makkah. Agama ini lahir, bukan hanya mengajak masyarakat Arabia berhenti menyambah berhala, untuk hanya menyembah kepada satu Tuhan (tauid) (Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, 1980: 41).

Islam Melawan Kaum Monopolis

Harus dicatat, kaum hartawan Makkah bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi—sebatas ajaran tauhid kepada satu Tuhan. Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Akan tetapi, yang merisaukan mereka justru implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu.

Seperti diketahui, di sana telah berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Dan, kaum monopolis sadar bahwa dalam risalah nabi terdapat sesuatu yang mengancam akumulasi kekayaan mereka, yang selama ini berjalan tanpa rintangan (HAR.Gibb, Mohammadanism, 1969: 9).

Akan tetapi, sekarang ayat-ayat Al-Qur’an mencela penumpukan kekayaan itu. Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an tentang ancaman Tuhan terhadap siapa saja yang suka mengakumulasi kekayaan. Di saat bersamaan acuh dan tidak mementingkan kebutuhan orang-orang lemah, tertindas, dan hidup dalam kemiskinan.

Baca Juga  Ziauddin Sardar dan Penafsiran Ulang Terhadap Wahyu

Di antara ayat-ayat yang mencela hal itu yang diturunkan di Makah pada awal-awal Islam adalah Qs. al-Humazah ayat 1-7 dan Qs. al-Mā’ūn ayat 1-7.

Asghar juga melakukan pembongkaran, reinterpretasi, rekonseptualisasi tentang berbagai terma keagamaan. Term yang ia bongkar antara lain adalah konsep mukmin dan kafir, ia merevisi dua term itu secara berbeda dengan apa yang umum umat Islam pahami sekarang.

Ia menulis: “… orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan…”

Menjadi Mukmin Egalitarian

Dengan demikian, bagi Asghar Ali, seorang mukmin sejati bukanlah yang sekadar percaya kepada Allah. Justru ia menilai, bahwa mukmin sejati juga harus seorang mujahid yang berjuang menegakkan keadilan, melawan kezaliman dan penindasan.

Jadi, seorang yang mengaku sebagai Muslim harus berjuang menegakkan keadilan dan melawan kezaliman serta penindasan. Bukan justru mendukung sistem dan struktur masyarakat yang tidak adil. Walaupun ia percaya kepada Tuhan, namun orang itu termasuk kafir dalam pandangan Asghar.

Itulah Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali, yakni membebaskan umat dari ketidakadilan, penindasan, monopoli kaum elit terhadap masyarakat kelas bawah, dan memperjuangkan hak-hak kaum lemah.

Dengan demikian, jika itu terlaksana dengan baik, akan tercipta masyarakat yang egaliter; masyarakat yang sama-sama mencicipi hak kemerdekaan sebagai manusia. Dalam konteks dunia kita hari ini, saya kira mempertimbangkan Teologi Pembebasan Asghar penting dilakukan. Sekian!

Editor: Soleh

Muhammad Anwar Lubis
1 posts

About author
S2 di Universitas PTIQ Jakarta dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) angkatan 3.0, 2023. Minat kajian saya meliputi Qur’anic Studies, Islamic Theology, dan Islamic Philoshopy.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *