Kasus Saiful Jamil
Duta – “Kita buat surat, kita mengecam glorifikasinya, enggak boleh. Yang kedua, dia bisa tampil untuk kepentingan edukasi, misal: dia hadir sebagai bahaya predator, kan bisa juga dia ditampilkan seperti itu. Kalau untuk hiburan belum bisa di surat yang kami kirim ke lembaga penyiaran”, jawab Agung, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat ditanya Deddy Corbuzier tentang rencana kembalinya Saipul Jamil tampil di TV.
Pertanyaan tersebut mewakili unek-unek seluruh netizen Indonesia, karena diketahui seluruh platform media digital saat ini sedang ramai aksi pemboikotan kepada Saiful Jamil (SJ) untuk tayang di televisi. Masyarakat menilai, sosok SJ tak pantas lagi menjadi publik figur, mengingat statusnya adalah mantan pelaku kejahatan seksual.
“Setiap manusia kan tak luput dari dosa dan kesalahan, lagian dia juga sudah menyelesaikan masa hukumannya di penjara”, mungkin ada dari kalian yang berpikir seperti itu.
Memang betul, tapi sepertinya masalah ini tidak bisa dianggap sepele seperti itu. Sebagaimana api, tak akan berkobar jika tidak disulut. Puncak kekesalan netizen dipicu ketika detik-detik keluarnya SJ dari penjara, ia disambut dan diagungkan bak pahlawan yang pulang dari medan perang.
Ditambah statement SJ kala itu seakan-akan ia memposisikan dirinya sebagai korban. Padahal ia tak lebih hanyalah seorang mantan penjahat yang baru bebas dari masa hukuman.
Oke, kita kembali kepada jawaban ketua KPI ketika ditanya Deddy Corbuzier di podcast Youtube miliknya itu.
Mantan Kriminal yang Menjadi Duta
Pertama kali saya mendengar kalimat tersebut, saya jadi teringat artikel berita di CNN Indonesia bulan Maret lalu yang berjudul “KPK Sebut Napi Koruptor Penyintas Korupsi, Bisa Jadi Penyuluh“.
Dan ketika menyelaraskan esensi dari kedua berita tersebut, entah mengapa kemudian muncul nama Ade Londok dalam kepala saya. Tentu kalian pasti sudah tau Ade Londok, ia adalah satu di antara sekian orang yang diangkat menjadi “Duta” karena sikap yang kurang terpujinya. Tepatnya setelah video promosi makanan dengan bahasa umpatan dan kasar itu viral.
Karena penasaran dengan fenomena tersebut, saya pun googling, munculah berbagai berita tentang pengangkatan seseorang menjadi duta setelah bikin perkara. Ternyata, sudah banyak yang mendapat perlakuan seperti itu.
Mulai dari seorang Kades yang diangkat menjadi Duta Vaksin setelah memaki-maki pejabat terkait kebijakan PPKM darurat; pemuda anti masker yang menjadi Duta Masker; Pemotor ugal-ugalan yang menjadi Duta Keselamatan Lalu Lintas. Dan masih banyak lagi yang lain.
Duta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai orang yang diutus oleh pemerintah atau raja untuk melakukan tugas khusus/misi, biasanya ke luar negeri untuk mengurus kepentingan negara yang diwakilinya, membantu dan melindungi warga negaranya yang tinggal di negara itu.
Secara sederhananya, duta adalah kepanjangan tangan dari pemerintah. Di mana ia diberi tugas tertentu untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya selektif dalam pemilihannya, yakni seseorang yang terbaik di bidangnya. Bukan malah asal-asalan.
Pola yang Mirip
Kembali lagi ke persoalan, dari sekian kasus di atas kalau ditarik benang merah, semua polanya memiliki kesamaan. Di mana seseorang yang berbuat kesalahan justru diberi panggung, diagungkan dan mendapat sorotan berlebih.
Padahal sebetulnya, mengutus mantan pelaku kejahatan sebagai duta, entah itu duta bahaya tindak kejahatan atau duta yang lain, memiliki berbagai mudarat dalam banyak sudut pandang, antara lain:
Pertama, bagi pelaku kejahatan, akan merasa tindakannya mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga seluruh tindak kejahatannya seakan mendapat legalitas. Meskipun sudah terbayar dengan hukuman penjara tapi ketika ia terus mendapat dukungan; baik sedang atau pasca melewati hukuman, ia akan tetap merasa terbela.
Sehingga, besar kemungkinan rasa penyesalan dan pertaubatan terhadap tindakannya itu sukar dilakukan. Bahkan, besar kemungkinan justru ia akan merasa sebagai korban, bukan pelaku.
Kalau sudah begini, ketika ia bebas dari penjara, akan tetap melakukan tindak kejahatannya lagi, namun dengan cara yang lebih bersih dari sebelumnya, sehingga akan terhindar dari lacakan polisi.
Kedua, dari sudut pandang korban, tentu dimensi psikis korban akan bergejolak manakala mengetahui sang pelaku justru menjadi pusat sorotan massa, bukan untuk dihujat, tapi malah dipuja.
Rasa trauma, jengkel, benci, marah, seluruhnya bercampur aduk dirasakan oleh korban dan keluarganya. Tentu hal tersebut bisa berbahaya bagi kesehatan mental mereka.
Ketiga, dalam sudut pandang orang awam, akan memunculkan dampak pergeseran ideologi dalam diri mereka. Di mana, awalnya terdapat keyakinan bahwa kejahatan pasti akan mendapatkan sanksi; berupa cacian dan hukuman dari masyarakat serta aparat hukum.
Namun kemudian, berubah menjadi sebuah keyakinan bahwa tindak kejahatan akan menghasilkan dukungan atau penghargaan (reward) dari masyarakat. Hal ini sangat berbahaya, jika dibiarkan akan memicu tindakan-tindakan kejahatan berikutnya.
***
Saya kira, pihak-pihak yang mengusulkan ide tersebut perlu mengkaji ulang keputusannya. Mereka harus bisa bijak dalam bertindak, dan tepat dalam bersikap, tanpa harus mengusik sensitivitas hati masyarakat.
Karena masalah ini sudah masuk dalam ranah kemanusiaan, pun harus mengedepankan sikap kemanusiaan. Jadi jangan heran jika sensitivitas terusik, maka masyarakat akan berisik.
Toh, stok orang berbudi, pintar dan bersih dari kriminal masih ada banyak di Indonesia. Alumni perguruan-perguruan tinggi Islam yang tersebar di penjuru negeri misalnya, masa iya tidak ada yang cocok sama sekali? Sudah seharusnya pemerintah mengedapankan kualitas dan moralitas, bukannya hanya sebatas viralitas.
Akhir kata, mungkin kita harus mengingat kembali kalimat mutiara dari Pramoedya Ananta Toer yang syarat akan makna itu, “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.”
Editor: Yahya FR