Perspektif

Manusia Modern: Terlalu Fokus ke Hal-Hal Material, tapi Lupa Cinta

2 Mins read

Manusia Cinta – Di masa pandemi, imunitas tubuh manusia secara drastis terus menurun. Beberapa rumah sakit kolaps. Sedangkan, badai pandemi terus menggempur tubuh manusia secara konstan.

Covid-19 tidak hanya menyerang manusia secara fisik, tapi juga psikis, kognitif, dan moral. Kesehatan sosial dan moral manusia sedang dipertaruhkan.

Problem Manusia Modern

Manusia modern kewalahan dalam mengontrol keresahan dan kepanikan diri. Belum lagi, maraknya informasi mencekam yang mengguncang pikiran dan imun. Perlu disadari bahwa imunitas tubuh manusia tidak hanya bersumber dari makanan, minuman, dan obat-obatan.

Rasa bahagia, kecewa, sedih, dan gundah gulana ikut andil besar dalam mengontrol stabilitas imun. Maka dari itu, kebahagiaan secara emosional dan sosial perlu ditinjau lebih jauh untuk membangun imunitas yang tangguh.

Namun, manusia modern seringkali terlalu sibuk dengan kekejaman antar manusia. Fokus pada tindakan-tindakan yang berporos pada logika egosentris. Sehingga, mereka lupa pada zat cinta dan kasih yang mengakar kuat dalam dirinya.

Berlomba-lomba memborong makanan, minuman, dan obat-obatan yang sedang viral menjadi bentuk lain dari keserakahan. Keserakahan akhirnya mempertebal tembok bersatunya cinta sebagai penguat imunitas tubuh. Keserakahan berdampak pada tindakan saling tunjuk dan menyalahkan.

Cinta Menurut Eric Fromm

Padahal, cinta menggugat keserakahan yang menggerogoti moralitas manusia. Fromm (2018) menyebut cinta sebagai upaya penyatuan diri dengan objek-objeknya. Cinta erotis, cinta keibuan, cinta diri, dan cinta Tuhan, adalah objek utama cinta yang memerlukan penyatuan untuk bisa merangkul kebahagiaan. Kebahagiaan berjalan seiring dengan kuatnya imunitas dan kesehatan tubuh.

Cinta menjadi manifestasi paling sempurna dari Tuhan yang ada dalam diri manusia. Tuhan adalah cinta (Tedjo, 2020). Imunitas tubuh manusia perlu disuplai secara konstan dengan cinta yang utuh. Cinta diri menjadi manifestasi seni paling dibutuhkan manusia di era pandem inii.

Baca Juga  Makna Religius: Tak Sekadar Percaya kepada Tuhan

Cinta diri mensyaratkan keadilan dalam orientasi kepentingan diri dan orang lain. Rasa empati antar manusia menjadi kunci keberhasilan cinta diri. Cinta diri tidak bergerak menuju egoisme ataupun individualisme.

Sebab, egoisme terlalu berpusat pada kepentingan diri dan mengabaikan kepentingan orang lain. Itulah yang banyak terjadi di era pandemi. Berbeda dengan cinta diri, Ia menggugah pikiran diri untuk kepentingan sosial dengan memposisikan dirinya sebagai subjek sekaligus objek.

Sebagai, subjek dan objek, manusia mampu secara mandiri memproduksi sekaligus mendistribusikan cinta untuk dirinya dan orang lain.

Saling menolong, berdialog mesra dengan nada asosiatif, dan mengontrol kepanikan dengan kasih sayang menjadi siklus terjaganya imunitas tubuh dengan cinta.

Cinta diri tidak berorientasi hanya pada kekasih hidup yang sering kita sebut istri. Cinta diri berporos pada kita sebagai makhluk bernama manusia. Dan, setiap manusia mampu memproduksi cintanya sendiri.

Manusia Modern: Terlalu Sibuk pada Hal-Hal Pragmatis

Namun, Fromm meragukan kemampuan mengolah cinta manusia modern yang terlalu sibuk dengan orientasi pragmatis yang dangkal. Sehingga, tantangan terbuka ditawarkan dengan mengajukan terapi cinta.

Menjauhkan diri dari gadget, rokok, koran, buku, dan segala hiruk pikik kehidupan mainstream saat ini. Duduk diam, berkontemplasi sekaligus bermeditasi. Menikmati denyut jantung, kedipan mata, dan hela nafas secara bersamaan tanpa menghitungnya.

Fokus pada gejolak rasa daripada pikiran yang cenderung membawa kecemasan. 30 menit, hanya 30 menit tantangan dari Fromm untuk mencoba terbiasa mengaktifkan kemampuan seni mencintai dalam diri manusia. Ini sungguh murah meriah untuk menjaga imunitas tubuh di tengah krisis keuangan dan kemanusiaan.

Pandemi memang menjadikan suasana semakin pelik. Namun, bagaimanapun kondisinya, manusia tetaplah makhluk yang penuh cinta, seperti Tuhannya.

Baca Juga  Melawan Penafsiran-Penafsiran Agama yang Bias Gender

Pandemi tidak seharusnya menghalangi keberlangsungan cinta yang sejak lama mengakar dalam diri masing-masing manusia. Ketika pandemi memicu kepanikan, cinta mampu menenangkannya.

Cinta adalah kekuatan khas manusia. Kekuatan cinta perlu dilatih untuk menopang kekuatan yang lain, seperti imunitas tubuh. Dengan cinta, kita mampu berbagi hidup bersama pandemi yang gagal pergi dari bumi.

Editor: Yahya FR

Naufalul Ihya' Ulumuddin
6 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds