Pada bagian pertama dari tulisan ini, telah saya uraikan –meskipun sesungguhnya masih sangat sederhana–tentang peradaban digital dengan berbagai determinannya. Manfaat dan problematiknya. Pada tulisan bagian kedua ini fokus pada solusi, atau upaya untuk menyikapinya.
Pada substansinya, solusi yang ingin saya tawarkan untuk meng-counter problematika yang ditimbulkan oleh teknologi digital adalah “Menjadi Manusia Digital”.
Frasa ‘manusia digital’ adalah frasa yang masih terasa sangat asing di telinga dan di mata. Artinya jarang didengar dan dibaca. Tetapi frasa ini bukan hal baru, bisa ditemukan dalam karya spektakuler –saya menyebutnya demikian– dari Ary Ginanjar Agustian. Tepatnya dalam buku keduanya yang berjudul Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan. Selain dari pada itu bisa ditemukan dalam karya Erbe Sentanu.
Sebelum lebih jauh mengurai tentang manusia digital terlebih dahulu yang harus dipahami bahwa teknologi berkembang karena teknologi digital. Teknologi digital memiliki basis bilangan biner. Bilangan biner adalah bilangan yang hanya memiliki angka 0 (nol) dan angka 1 (satu).
Sederhanya menjadi manusia digital itu berarti menderiviasi dan sekaligus menginternalisasi nilai atau angka biner tersebut ke dalam diri manusia. Dalam paradigma, pemikiran, sikap dan perilaku manusia.
Derivatif (bersifat makna turunan) menjadi manusia digital adalah bagaimana manusia melandaskan segala paradigma, pikiran, sikap dan perilakunya pada bilangan biner yaitu angka 0 (nol) dan angka 1 (satu).
Dalam konteks menjadi “manusia digital” sebagaimana dijelaskan oleh Ary Ginanjar Agustian –pakar dan pencetus kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) di Indonesia– angka 0 (nol) berarti lambing kesucian hati dan pikiran. Sedangkan angka 1 (satu) dalam perspektif Ary Ginanjad adalah Lambang Tuhan (Allah). Meksipun tentunya ini tidak sedang bermaksud memberikan makna bahwa Allah itu berbilang. Karena satu berarti ada 2.
Berprinsip kepada Allah
Sebagaimana saya pahami dari Ary Ginanjar menjadi manusia digital berarti manusia berprinsip kepada Dia Yang Maha Esa. Atau dengan kata lain : Laa (0) ilaha illallah (1). Manusia digital senantiasa mengedepankan ketulusan dan keikhlasan (0) karena berprinsip kepada Allah (1) dan tidak menuhankannya ang lainnya (0). 0/1 = 1 apalagi jika 1/0 = ∞ (satu dibagi 0 jawabannya tak terhingga atau tak terdefenisikan)
Manusia digital yang berjiwa jernih, tulus dan ikhlas (0) maka akan mampu menemukan potensi mulia dirinya, sekaligus menemukan siapa Tuhannya (1). Sebagaimana dalam hadits –meskipun menuai banyak kontroversi apakah itu dha’if bahkan palsu– Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Rabb-Nya”.
Sebagaimana dalam perspektif Ary Ginanjar Agustian, saya memahami bahwa menjadi manusia digital itu akan senantiasa mengedepankan spiritualitas Ihsan. Jika merujuk pada buku pertamanya manusia digital adalah manusia yang telah melakukan penjernihan hati dari belenggu hati.
Manusia digital hatinya telah terbebas, bersih dan jernih (0) dari prasangkat negatif; prinsip hidup materialistik, pragmatis dan hedonistik; mengutamakan kepentingan pribadi, sesaat dunia semata; trauma dengan pengalaman masa lalu; pembanding yang hanya bersifat duniawi, kasat mata dan dangkal; sudut pandang yang sepihak dan memihak; dan dari literatur yang dangkal, tidak otoritatif, tidak valid dan informasi hoax.
Dengan hati yang bersih dari 7 (tujuh) belenggu hati tersebut, maka manusia digital akan senantiasa mengedepan prasangka positif baik terhadap diri, orang lain, perkembangan kehidupan, kemajuan teknologi dan terutama berprasangka positif atas setiap cobaan dan musibah yang Allah turunkan kepadanya.
Manusia digital memiliki prinsip yang kokoh. Sebagaimana prinsip kokoh yang pernah saya rumuskan dan saya istilahkan dengan “benteng psiko-religius-spiritualistik”
Benteng ini sebagaimana saya sering buktikan sangat kokoh karena aspek mental dilandaskan pada paradigma apresiatif untuk selalu mengambil sisi hikmah dan positifnya dan pada kekuasaan Allah.
Bahwa Allah punya hak prerogatif termasuk punya kemampuan mengintervensi sunnatullahnya sendiri. Bagi Allah tidak ada yang mustahil. Segala sesuatunya datang dari Allah.
***
Manusia digital, selalu mengambil pelajaran atas pengalaman hidup, memiliki sudut pandang yang luar sehingga memiliki pemikiran yang jernih. Ia akan senantiasa melihat ke bawah untuk urusan dunia dan melihat ke atas untuk urusan akhirat. Terutama umat Islam akan menjadi Al-Qur’an dan Sunnah sebagai literatur utama dalam hidupnya.
Ia, yang dalam dirinya telah terbangun spritualitas ihsan akan senantiasa berpikir maju, mengedepankan kualitas dalam setiap apa yang dikerjakannya. Bekerja, menulis, berbagi ilmu bukan untuk orientasi materi tetapi memberikan manfaat bagi orang lain, membangun kerajaan surga sejak dari dunia.
Termasuk akan senantiasa memilik ketenangan dalam kondisi terdesak. Sekalipun karena ingatannya yang senantiasa tertuju kepada Allah akan memantik kesadaran fundamental dalam dirinya, bahwa tidak ada kejadian yang terjadi pada diri tanpa seizin Allah. Dan sebaik-baik penolong dan pelindung adalah Allah.
Kejernihan hati dan dzikir kepada Allah menjadi pemantik untuk senantia berbagi kebenaran, kebaikan. Juga mengedepakan empati tanpa kecuali di dunia virtual. Sehingga senantiasa menjadi penebar informasi yang benar (baik dan bermanfaat). Bukan sebaliknya, meproduksi dan mereproduksi hoax dan ujaran kebencian.
Berdasarkan apa yang saya pahami dari buku Quantum Learning karya Bobbi DePorter & Mike Hernacki bahwa suasana hati (ketenangan, kesenangan dan kebahagiaan) merupakan pemantik utama untuk membangunkan “raksasa tidur” dalam diri.
Yang dimaksud raksasa tidur adalah otak yang luar biasa. Sehingga menjadi manusia digital yang senantiasa menjernihkan hati dan mengingat Allah merupakan instrumen psiko-spritualistik yang akan menjaga suasana hati untuk tetap tenang, senang dan bahagia.
Manusia digital akan senantiasa berdoa sebelum mengawali suatu pekerjaan termasuk dalam belajar atau menggali ilmu, sehingga akan memantik fungsi otak yang baik dan maksimal.
Aktivisi otak yang baik dan maksimal akan memicu lahirnya karya dan ide yang cemerlang. Termasuk dalam merumuskan visi dan misi masa depan. Di sinilah signifikansi doa tentang fungsi dan manfaatnya dalam apapun aktivitas kehidupan.
***
Menghadapi era disrupsi yang sarat dengan destruktif (menghancurkan, merombak), inovasi dan kompetisi sangat dibutuhkan karena manusia digital akan memiliki benteng pertahanan yang kokoh, semangat kompetisi yang baik, dan memiliki kesadaran dalam dirinya bahwa telah built-in bibit kreativitas. Allah telah meniupkan ruh ke dalam dirinya dan Allah pula telah mengajarkan pengetahuan tentang segala sesuatu kepada manusia
Menjadi Manusia Digital dalam Peradaban Digital akan memberikan penegasan bahwa manusia tetap memiliki kemampuan, superioritas untuk menundukkan teknologi. Bukan justru sebaliknya manusia tunduk pada kekuatan teknologi. Semoga tulisan ini bermanfaat meskipun masih sangat sederhana tentang gambaran manusia digital
Editor: Dhima Wahyu Sejati