Perspektif

Manusia, Media Sosial, dan Pengakuan

2 Mins read

Di zaman yang semakin berkembang, manusia hidup seperti dikejar kematian. Padahal, alih-alih menyiapkannya, mengingatnya saja sesempatnya. Sibuk berpindah dari satu pencapaian ke pencapaian yang lain, seakan tidak pernah ada ujungnya. Sebuah lirik karya band kenamaan Hindia selalu berhasil menyinggung manusia hari ini:

“Tak sadar menimbun yang lebih berharga

Berdiri di atas yang lebih bermakna

Anak tangga yang berlebihan jumlahnya

Mendaki terus entah mau ke mana?”

Adiksi terhadap sosial media, mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Platform-platform yang menyediakan informasi secepat kilat, seolah menjadikan apa yang dilakukan manusia seperti lambat.

Berdiri di atas pijakan idealisme, nampaknya juga bukan hal ideal lagi. Makna ‘ideal’ sudah bergeser. Standar-standar hidup hari ini banyak yang dipaksa berubah. Belum lagi, terminologi-terminologi media sosial menjadikan kehidupan manusia diatur oleh khalayak. Sementara kita, hari ini dengan kesadaran paling sadar seolah mengamini fenomena ini.

Tapi inilah yang terjadi, semakin riuh dunia, semakin kita harus teriak lebih kencang. Sebab, faktanya dunia menyediakan panggung-panggung untuk unjuk gigi, siapapun berhak beratraksi. Meskipun, sayangnya sebagian menganggap itu sebagai ajang kompetisi.

Stoikisme dan Filsafat Ketenangan

Marcus Aurelius, seorang Filsuf Stokisme pernah berkata: “Jika anda terganggu oleh sesuatu yang eksternal, rasa sakit itu tidak berasal dari hal itu sendiri, tetapi dari penilain anda terhadap hal itu”.

Persis sekali dengan apa yang terjadi hari ini. Manusia sering terpengaruh dengan apa yang disuguhkan oleh media sosial. Asmara yang ranum-ranumnya, pernikahan yang harmonis, prestasi yang mentereng, dan masih banyak manipulasi-manipulasi media sosial lainnya.

Tidak ada yang salah dengan postingan orang lain, yang salah adalah kita yang memaksakan standar kita sama dengan orang lain. Akhirnya, yang terjadi adalah, menuntut pasangan, mengurangi keikhlasan bekerja, patah hati, dan hal-hal buruk yang dapat mempengaruhi hidup kita.

Baca Juga  Mengenal Nama Lain Manusia dalam Al-Qur'an

Di antara berisiknya media sosial, manusia semakin jauh dari ketenangan. Berapa banyak di antara kita yang siangnya menjadi manusia ramai, upload sana-sini, tetiba malam jiwanya dirundung sepi dan sunyi. Lalu, untuk siapa sih postingan dan instastory?

Kata Hujjatul al-Islām, Imam Ghazali, ketenangan dan kebahagiaan bisa diraih dengan mudah. Salah satunya, cukup beri makan akalmu dengan ilmu. Sayangnya, akal kita lebih mudah dipuaskan dengan fenomena dan peristiwa! Akhirnya, kita lebih mudah mengeluh ketimbang belajar.

Di dunia ini, ada yang terlihat ramai tapi jiwanya sepi. Hari-harinya berkalang puji, riuh tepuk tangan, dan terbisa dengan kata ‘selamat’. Namun, yang terasa hanya nda-nada sumbang pencapaian. Sebab, sehari saja tidak dipuji, hari-harinya seperti hampa dan kosong. Sebaliknya, ada juga yang terlihat sepi, tapi jiwanya ramai dikunjungi. Jauh dari pengakuan, tidak haus pujian. Tapi jiwanya tak pernah sepi, sebab, dia melakukan atas dasar apa yang diinginkan, bukan tuntutan orang. Baginya, terlihat baik hanya berlaku di mata Tuhan, bukan manusia!

Kata seorang guru, “Siapa yang memulai hari fokusnya bukan untuk mencari pengakuan dan pujian manusia, maka hari itu ia adalah manusia yang sangat bahagia. Siapa yang hidup hatinya jauh dari rasa dengki, tidak fokus pada kenikmatan orang lain, maka dia hidup sangat damai pada hari itu. Siapa yang meletakkan kepalanya di atas bantal dengan hati yang bersih, fokusnya adalah Syukur atas pemberian Tuhan pada hari itu, maka malam itu adalah surga baginya sebelum Tuhan berikan surga yang sesungguhnya”.

Maka hiduplah dengan dengan damai, dengan tidak fokus pada kebersihan namamu itu, tapi fokuslah pada kebersihan hatimu. Niscaya, jiwamu akan tenang, sebab ia diselimuti prasangka-prasangka baik yang melahirkan hal baik.

Baca Juga  Krisis Air di Perkotaan, Fikih Air Solusinya!

Kurang lebih 13 abad yang lalu, seorang sahabat Nabi, Uwais al-Qarni berkata di hadapan dua sahabat Nabi, “Aku, menjadi debu di tengah kehidupan orang ramai, lebih aku sukai daripada dikenal banyak manusia!”.

Barangkali, Uwais tidak sedang berbicara kepada sahabat Nabi secara personal. Ucapan Uwais lebih tepat untuk kita pakai hari ini, di saat manusia letih mengejar komentar dan pandangan manusia. Gaya hidup, pengakuan, validasi, semuanya bermuara pada lelah batin yang mengerikan. Hiduplah dengan mengejar pengakuan Tuhan! Tidak penting manusia menilaimu sebutir debu, jika di hadapan Tuhan engkau adalah permata.

Editor: Soleh

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Internasional Indonesia, Anggota Tim Penulis Tafsir At-Tanwir
Articles
Related posts
Perspektif

Makna al-Qadar dan Salam Menurut Quraish Shihab

3 Mins read
Sepuluh malam terakhir selalu dijadikan sebagai malam ‘special’ kaum muslimin baik untuk berburu pahala dengan meningkatkan kualitas ibadah, khataman al-Qur’an ataupun sebagai…
Perspektif

Zakat untuk Korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

4 Mins read
Di bulan Ramadan, ada dua kewajiban yang sepaket yaitu puasa dan zakat. Keduanya bisa dilaksanakan jika yang akan melaksanakannya istitha’ah (mampu secara…
Perspektif

Pasca Al-Assad, Bagaimana Nasib Komunitas Alawi?

4 Mins read
Setelah mantan pemimpin Suriah, Bashar Al Assad lengser nasib komunitas Alawi masih belum pasti. Sebelumnya, mereka didukung oleh rezim. Namun, kini kelompok…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *