Report

Manusia Seperti Apa yang Diinginkan Oleh Pancasila?

2 Mins read

IBTimes.ID – Pancasila menghendaki perwujudan manusia yang berintegritas atau manusia seutuhnya. Islam menyebutnya dengan istilah insan kamil. Apa itu manusia seutuhnya?

Menurut Yudi Latief, manusia seutuhnya adalah manusia yang memenuhi kodrat-kodrat kemanusiaannya. Jadi, manusia yang tidak memenuhi kodrat kemanusiaannya tidak bisa menjadi manusia seutuhnya.

Kodrat berasal dari kata qodaro dalam Bahasa Arab. Artinya adalah takaran atau ukuran. Dalam Alquran, manusia disebut dengan tiga istilah. Pertama, basyar. Basyar adalah manusia dalam dimensi biologis yang perlu makan, minum, dan kebutuhan biologis lain. Secara biologis, manusia dan simpanse nyaris identik.

Kedua, insan. Insan adalah manusia dalam dimensi rohani. Dalam konteks ini, manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk. Manusia bisa mengembangkan spiritualitas, etika, dan estetika. Hal ini tidak dimiliki oleh binatang.

Ketiga, an-nas. An-nas adalah manusia dalam dimensi sosial. Istilah ini digunakan paling banyak di dalam Alquran. Maka dimensi sosial manusia dianggap sebagai dimensi yang paling penting.

“Manusia seutuhnya adalah manusia yang bisa mengembangkan dimensi biologisnya, dimensi rohaniahnya, serta dimensi sosialnya,” ujar Yudi Latief.

Sementara itu, menurut Pancasila, kodrat pertama manusia adalah rohani yang tercipta dari kristalisasi cinta kasih Sang Pencipta. Oleh karena itu, kodrat manusia adalah mengembangkan semangat ketuhanan yang welas asih.

Di dalam Islam ada 99 Nama Tuhan. Dari 99 itu, sifat Tuhan yang paling tingi adalah Rahman dan Rahim yang berarti kasih sayang. Doa-doa seluruh agama juga menyeru kepada sifat Tuhan yang sama.

“Kalau nama Tuhan diseru lalu yang muncul adalah semangat menghabisi yang lain, membunuh yang lain, itu pasti Tuhan jadi-jadian. Pasti itu Tuhan yang keluar dari kodrat kemanusiaannya. Keranjingan itu,” imbuh Yudi.

Baca Juga  Pak AR Fachruddin: Sejarah Pancasila di Muhammadiyah dan Peran Pak AR

Kedua, Pancasila mengatakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang adanya selalu bersama yang lain. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian. Anak manusia yang tidak diurus manusia lain tidak pernah menjadi manusia seutuhnya.

Menurut Yudi Latief, ada bersama yang lain juga hanya bisa terjadi jika ada bersama dengan cinta. Tidak bisa ada bersama dengan saling membenci. Ada bersama hanya bisa dibangun atas dasar saling mencintai. Benci adalah kata lain dari ketiadaan cinta.

Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial. Manusia perlu ruang hidup dan pergaulan. Tidak ada manusia yang universal. Ia selalu dibatasi oleh ruang hidupnya. Selama manusia punya ruang hidup, ia punya bias lingkungan. Setiap manusia punya subjektivitas ruang dan waktu.

Indonesia secara khas menyebut ruang hidupnya itu dengan tanah air. Luas air Indonesia lebih banyak daripada luas daratan. Sehingga kita dideterminasi oleh watak lautan. Dalam keluasannya, lautan itu menyerap dan membersihkan. Menyerap pengaruh dari India, menyerap pengaruh dari China, dari Arab, dari Barat, tanpa mengotori lingkungan kita,” ujar Yudi.

Sementara itu, pergaulan masyarakat Indonesia adalah majemuk. DNA masyarakat Indonesia adalah multikultural. Indonesia adalah konsepsi politik. Bukan konsepsi etnik atau ras.

Maka, imbuhnya, gagasan kekhalifahan itu non sense. Sejak zaman kekhalifahan dulu tidak pernah ada kepemimpinan tunggal. Karena manusia tidak bisa dicetak secara universal. Selalu ada perbedaan internal di dalam kekhalifahan Islam.

Keempat, menusia sebagai makhluk sosial dalam mengambil keputusan bersama harus dilandasi dengan semangat welas asih. Bukan dengan menang-menangan. Cara mengambil keputusan dengan kemenangan bersama disebut dengan musyawarah.

Untuk bisa bermusyawarah diperlukan kebijaksanaan. Orang yang bijaksana adalah orang yang melihat perkataan orang, bukan melihat orang yang mengatakan. Orang bijaksana juga orang yang mendengarkan perkataan dari siapapun, lalu mengambil yang terbaik.

Baca Juga  Saad Ibrahim: Karakter Islam Berkemajuan adalah Terbuka

Kelima, manusia adalah makhluk rohani tapi menjasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia perlu sandang, papan, dan pangan. Cara berbagi kasih terhadap manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniyah itu disebut dengan keadilan sosial.

Dalam hal berbagi kasih jasmaniyah harus dilandasi dengan semangat cinta kasih. Kebahagiaan material tidak boleh dinikmati oleh segelintir orang. Karena setiap manusia punya jasmani. Setiap orang berhak menemukan kebahagiaan jasmani.

Reporter: RH

Avatar
1420 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Hilman Latief: Kader Muda Muhammadiyah Harus Paham Risalah Islam Berkemajuan

2 Mins read
IBTimes.ID – Hilman Latief, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia menyebut, kader muda Muhammadiyah harus paham isi daripada…
Report

Ema Marhumah: Islam Agama yang Ramah Penyandang Disabilitas

1 Mins read
IBTimes.ID – Ema Marhumah, Dosen Tafsir dan Hadis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ramah terhadap…
Report

Salmah Orbayinah: Perempuan Penyandang Disabilitas Berhak Atas Hak Pendidikan

2 Mins read
IBTimes.ID – Salmah Orbayinah Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah (PPA) menyebut, perempuan penyandang disabilitas berhak atas hak pendidikan. Pendidikan menjadi hak dasar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds