Definisi Manusia
Kalau kita mencoba mengajukan pertanyaan tentang definisi manusia, kita akan memadatkan dafinisi manusia sebagai hewan yang berpikir (الانسان حيوان ناطق). Pengertian ini umum diketahui dan diterjemahkan secara taksonomi biologis saja.
Manusia adalah bagian dari kingkom animalia, kemudian memiliki tulang belakang, dan dia adalah bagian dari primata. Tapi, kita mampu mendapat makna lebih dalam daripada terjemahan harfiah (yang itupun direduksi dari makna semantiknya) saja.
Secara bahasa, kata حيوان bisa diterjemahkan menjadi hewan. Tapi kalau kita coba telusuri makna semantiknya, kata tersebut berasal dari kata حي yang berarti hidup. Manusia adalah bagian dari makhluk hidup yang terikat dengan hal-hal biologis. Manusia membutuhkan makan, bertumbuh, bernapas, serta berkembang biak.
Lalu apa yang menyebabkan manusia bergerak, bertumbuh dan merasakan rangsangan? Atau apa yang membuat ia bisa dikatakan hidup? Jawabannya karena adanya ruh.
Pembahasan tentang ruh adalah dimensi berikutnya selain yang fisik dalam manusia. Manusia tidak hanya berdimensi materi saja, maka ناطق adalah dimensi yang metafisiknya.
ناطق secara harfiah berarti berbicara dalam bentuk subjek yang berarti pelaku yang berbicara. Berbicara ini secara inheren melibatkan berberapa unsur: berbahasa, berpikir atau berakal, dan sadar.
Unsur Penciptaan Manusia
Unsur fisik manusia, sebenarnya tidak melulu dipelajari melalui pendekatan biologis, pendekatan yang cukup menarik dalam memahami ayat:
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ (المؤمنون 12-14)
Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. (Al-Mu’minun 12-14)
Ayat di atas menjelaskan tentang proses penciptaan manusia dari tanah sampai menjadi manusia yang utuh. Al-Attas dalam buku Risalah untuk Kaum Muslimin memberikan perenungan yang cukup baik, tentang ayat di atas.
Beliau tidak membicarakan secara detail tentang proses biologis dari penciptaan manusia, Al-Attas mengajak kita merenungkan ayat tersebut.
Faktanya setiap manusia lahir dari proses yang demikian itu. Bapak-ibu kita juga melalui proses yang sama, dan manusia-manusia lain di setiap jaman juga demikian. Kita melaui proses pertumbuhan tersebut, sampai pada kesempurnaan akal tanpa kita kendalikan, ada pihak lainlah yang mengendalikan itu semua. Hakikatnya, proses dari sebuah ketiadaan kemudian menjadi diri kita ini digerakkan oleh Allah.
Pertumbuhan fisik kita, kemampuan kita melihat, mendegar dan berpikir, tidak bisa kita lakukan dengan diri kita sendiri seperti kita membangun gedung. Maka, manusia sebenarnya sangat lemah dan tidak punya kuasa akan pertumbuhannya sendiri. Sangat tidak pantas bagi manusia jika mengingkari kehendak tuhannya.
Pembahasan tentang Ruh Manusia
Pembahasan tentang ruh adalah pembahasan yang menarik. Dalam psikologi modern, kata jiwa yang merupakan terjemahan dari ψυχή (psychē) yang berarti jiwa. Tapi, psikologi dalam kerangka positivisme tidak lagi peduli dengan kata tersebut. Psikolologi modern justru membicarakan tentang perilaku manusia, karena itu yang mampu dijangkau secara postivistik.
Dalam perkembangannya, psikologi digugat oleh Faucault yang tidak terima dianggap sakit jiwa, dan mencoba mencari jiwa atau kesadaran (consciousness) dalam kerangka neuroscience
Psikologi mencari di mana atom yang membuat manusia bisa memiiki kesadaran, dan membuatnya bisa berpikir, berkehendak, dan hal itu harus berupa fisik. Berbeda dengan kerangka kajian dalam Islam, pembahasan mengenai jiwa dikembalikan pada ayat-ayat Qur’an dan tidak berkutat pada pencarian ‘atom kesadaran’.
Ini bukan berarti kurangnya kemauan umat Islam dalam melakukan penelitian yang bersifat empiris, tapi, pembahasan tentang jiwa memang bukan ranah material, ruh adalah hal metafisik yang tidak bertempat dalam alam materi.
Ini telah tegas dalam Al-Qur’an: وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّي وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلٗا
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’ 85).
Jiwa dalam Islam, dipelajari dalam kerangka tazkiyatun nafs dan tashawuf. Jiwa dibagi menjadi dua: nafsul hayawaniyah (jiwa kebinantangan) dan nafsul insaniyah (jiwa kemanusiaan). Pembahasan terkait jiwa memang perlu diuraikan dalam tulisan tersendiri. Tapi, saya hendak memberikan uraian singkat tentang jiwa.
Jiwa hakikatnya adalah tempatnya manusia sadar, merasakan, dan berpikir. Perlu ditegaskan bahwa jiwa dan fisik bukanlah sesuatu yang bersifat dualistik seperti konsep Descartes, jiwa yang ditiupkan kepada jasad dalam rahim, adalah bentuk lain (خَلۡقًا ءَاخَرَۚ) (lihat: Al-Mu’minun 12-14).
Manusia dikaruniai dua potensi, fujur, atau taqwa. Di sinilah letak kehendak manusia. Ia bisa berlaku semena-mena untuk memuaskan nafsul hayawanyah-nya atau menempuh jalan fitrah, jalan taqwa yang membebaskan. Tapi jika manusia memilih jalan untuk memenuhi nafsu kebinatangannya, maka sejatinya ia tidak lebih dari hewan ternak, bahkan lebih buruk. (Al-A’raf 179).
Editor: Yahya FR