Dalam tulisan saya Teori Keadilan Sekuler Belum Menjawab Problem Kemiskinan, saya telah mengurai keadilan sosial yang masih senjang dari tujuan-tujuan shariah Islam (maqasid al-shari`ah). Tentu saja ini mendorong kita untuk mengkaji kembali bagaimana prinsip-prinsip keadilan sosial dapat diterjemahkan ke dalam formula yang lebih layak dan manusiawi.
Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan muatan-muatan dalam maqasid al-shari`ah; merekonstruksi formula keadilan sosial dengan memanfaatkan pendekatan maqasid al-shari`ah. Dengan basis dan sorotan maqasid al-shari`ah saya berharap dapat menunjukkan pandangan yang distingtif mengenai bagaimana ketidakadilan sosial dapat dipahami secara multidimensional serta dijawab secara praksis.
Maqasid al-Shari`ah dan Usaha Pengembangannya
Maqasid al-shari`ah sebagai prinsip-prinsip utama risalah Islam memiliki peluang untuk memberikan alternatif dalam dikusi ini. Secara teoretik, maqasid al-shari`ah telah berhasil dirumuskan dalam karya-karya al-Ghazali dan al-Shatibi.
Al-Ghazali (1937, 1, p. 287) dan al-Shatibi yang menggunakan pendekatan induksi (istiqra’) (n.d., 2, pp. 29-39) berkontribusi melahirkan lima prinsip utama shariah (al-dharuriyyat al-khams) yaitu: menjaga agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-`Aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal).
Shihab al-Din al-Qarafi (d. 684/1285), seorang faqih Maliki telah menambahkan prinsip keenam, yaitu menjaga kehormatan (al-’ird), meskipun menurut al-Sulami, sebagaimana dikutip Qardhawi (1990, p.73), menjaga kehormatan dipandang telah tercakup dalam prinsip “menjaga keturunan”.
Selain itu, Qardhawi (1990, p. 75) telah menambahkan “kesejahteraan dan jaminan sosial” sebagai bagian dari maqasid al-Shari`ah. Namun prinsip ini sejatinya masih bisa dinaungi oleh prinsip “menjaga harta/kepemilikan”.
Kamali (1999, pp. 193-209; 2008) menambahkan prinsip “menjaga pertumbuhan ekonomi” dan “penguatan riset dan pengembangan (RD) dalam sains dan teknologi” dalam struktur maqasid. Menurut penulis, dua prinsip ini masih bisa dicakup dalam prinsip “menjaga harta” dan “menjaga akal”.
Audah (2007, p. 146) menyajikan kajian multidisiplin yang bertujuan untuk mengembangkan maqasid al-shari`ah melalui pendekatan sistem yang hendak melihat persoalan secara utuh (Wholeness), selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan perbaikan dan penyempurnaan (Openness), salingketerkaitan antar nilai-nilai (Interrelated-Hierarchy), melibatkan berbagai dimensi (Multidimensionality) dan mendahulukan tujuan pokok (Purposefulness).
Dan hasilnya adalah pengembangan al-dharuriyyat al-khams dalam ruang reformasi dan pembangunan yang sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Di sini saya mencoba menghubungkan isu keadilan sosial dengan maqasid al-shari`ah. Seraya melanjutkan gagasan Qardhawi (1990) dan Sway (n.d.) yang telah menambahkan prinsip hifz al-bi’ah (menjaga lingkungan) pada maqasid al-shari`ah. Yang selanjutnya dapat disebut sebagai al-kulliyyat al-sittah atau al-dharuriyyat al-sittah, yaitu menjaga lingkungan (hifz al-bi’ah), menjaga agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-`Aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal).
Hifz al-Bi’ah: Konservasi dan Kenyamanan Lingkungan
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, hifz al-bi’ah merupakan tujuan shari`ah tertinggi. Hifz al-bi’ah mengandaikan kepedulian akan lingkungan secara menyeluruh –kemanusiaan dan alam– demi terpeliharanya kesinambungan generasi dan menyelamatkan masa depan melalui tindakan pemakmuran bumi dan mencegah kerusakan baik secara de facto maupun de jure.
Karena itu, hifz al-bi’ah merupakan prasyarat utama yang mesti ada bagi pemenuhan lima prinsip lainnya dalam maqasid.
Di dalam hifz al-bi’ah terkandung kebutuhan-kebutuhan antara lain: Pertama, kepedulian atas kehidupan makhluk manusia dan non-manusia. Kedua, menegakkan kesinambungan generasi dan memastikan masa depan. Ketiga, membangun kemakmuran bumi dengankesejahteraan secara berkeadilan. Keempat, mengeliminasi tindakan-tindakan perusakan alam dalam bentuk penegakkan hukum atas kriminalitas lingkungan dan sumber daya alam.
Hifz al-Din: Hak dan Kebebasan Beragama
Agama dipandang sebagai kebutuhan dasar atau hak fundamental bagi setiap individu. Seseorang harus bebas menjalankan agama sesuai dengan pilihannya. Tidak ada paksaan dalam bentuk apa pun dalam memilih agama, tidak ada halangan atau hambatan untuk menjalankannya (QS al-Baqarah 2: 256).
Memang sulit mengukur hak dan kebebasan beragama. Namun setidaknya kita bisa menggunakan norma-norma yang berlaku secara internasional sebagaimana disebut Lindholm Lindholm, Durham, Lie, eds. (2004, pp. xxxvii-ix) sebagai berikut: kebebasan internal (memilih dan mempertahankan agama), kebebasan eksternal (menjalankan dan mempraktikkan agama), tanpa paksaan, perlakuan adil dan non-diskriminatif, hak orang tua/wali memilihkan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak, hak berjamaah dan memperoleh status hukum, pembatasan kebebasan eksternal untuk melindungi keselamatan publik, tatanan publik, kesehatan publik, moralitas publik, dan hak-hak orang lain, dan non-derogability.
Ketidakmampuan memenuhi norma-norma di atas bisa disebut kemiskinan. Maqasid al-shariah, dengan demikian, mempertimbangkan komponen agama sebagai bagian dari keadilan sosial.
Hifz al-Nafs: Kesucian Jiwa
Kehidupan itu suci. Menjaga kehidupan merupakan jihad di jalan Allah. Membunuh satu jiwa sama dengan membunuh seluruh seluruh umat manusia; menghidupi satu jiwa sama nilainya dengan menghidupi seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah 5: 32).
Pemenuhan kebutuhan untuk menjaga kehidupan mencakup: kebutuhan dasar bagi fisik meliputi pangan, sandang, papan, dan jaminan bagi pemeliharaan kesehatan. Untuk mengukur kemiskinan dalam pemenuhan kebutuhan ini, kita bisa menggunakan beberapa indikator yang relevan dalam Human Development Index antara lain: angka harapan hidup pada kelahiran, angka kematian anak-anak, penduduk kurang gizi, penduduk hidup dengan HIV/AIDS/Malaria, kelahiran yang ditangani oleh tenaga medis terampil, dokter/perawat per seratus ribu penduduk, dan prosentase penduduk yang diimunisasi. Namun indeks HDI masih belum cukup untuk memastikan pemeliharaan kehidupan.
Di sini juga diperlukan akses kepada makanan, perumahan, dan pakaian. Karena itu, hal ini membutuhkan informasi lebih rinci dari data survei rumah tangga menyangkut asupan kalori, tingkat keamanan makanan, informasi rumah tangga berkaitan dengan kualitas rumah, asset-asset tetap, belanja untuk barang-barang tahan lama seperti belanja makanan, produksi rumah tangga, belanja non-makanan, dan penduduk tanpa akses pada sumber daya air bersih.
Hifz al-`Aql: Jaminan atas Pendidikan
Islam mengelompokkan pengetahuan ke dalam dua macam: pengetahuan dasar yang harus dipenuhi setiap individu; dan pengetahuan spesifik yang harus dipenuhi hanya oleh sekelompok orang dalam masyarakat; dan kebutuhan akan riset dan pengembangan bidang-bidang sains, teknologi dan seni yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pengetahuan dasar dapat dilihat dengan ukuran-ukuran sederhana berkaitan dengan tingkat literasi orang dewasa, tingkat literasi perempuan, partisipasi sekolah dan akses kepada pendidikan pra sekolah, pendaftaran sekolah dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
Jika kita menerima bahwa pengetahuan dasar itu adalah ketrampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, maka kita dapat mengatakan bahwa kemiskinan terjadi pada mereka yang buta huruf, dan gagal mencapai setidaknya pendidikan dasar secara penuh.
Hifz al-Nasl: Jaminan atas Kesinambungan Generasi
Islam melihat masalah keturunan sebagai kebutuhan yang ada dalam setiap orang, sarana untuk mengembangkan ras manusia, dan memelihara kehormatan keluarga. Memang tidak mudah mengukur kemampuan untuk menjalankan kehidupan seks sebagai suatu kebutuhan. Setidaknya kita dapat memaknainya sebagai suatu kemampuan untuk memiliki dan membesarkan anak-anak yang terdidik dan sehat. Di sini kita bisa mengikuti beberapa kriteria dalam Human Development Index atau Human Property Index, meliputi akses kepada fasilitas pendidikan, pemeliharaan dan pelayanan kesehatan pra dan pasca kelahiran, tahapan-tahapan imunisasi bagi bayi, angka kematian bayi, anak-anak yang memiliki berat badan di bawah normal dari umurnya, dan sebagainya.
Jika seorang individu tidak dapat memiliki dan melahirkan keturunan atau anak-anak yang terdidik dan sehat, maka ia dapat dikatakan sebagai orang miskin. Karena itu, kita dapat mendaftar sejumlah kriteria kemiskinan antara lain: mereka yang tidak memiliki akses kepada pemeliharaan dan pelayanan kesehatan pra dan pasca kelahiran (kesehatan reproduksi dan birth control); mereka yang memiliki bayi yang tidak memperoleh imunisasi untuk melawan penyakit-penyakit berbahaya umumnya; mereka yang memiliki anak-anak dengan berat badan kronis; mereka yang pendapatan/konsumsinya berada di bawah kebutuhan non-makanan minimum, dan sebagai akibatnya kita berasumsi bahwa mereka tidak memiliki cukup bekal untuk keturunan mereka.
Hifz al-Mal: Jaminan atas Kesejahteraan
Kekayaan jelas merupakan kebutuhan manusia yang fundamental. Kekayaan di sini dapat ditafsirkan sebagai stok atau arus. Dengan kata lain, kita dapat membahas perihal harta yang dimiliki yang dapat menghasilkan pendapatan atau pekerjaan yang menghasilkan imbalan atau penghasilan.
Kita bisa mengadopsi beberapa criteria dalam Human Property Index atau Human Development Index untuk mengukurnya melalui beberapa data tentang pendapatan/konsumsi per kepala baik mencakup kebutuhan makanan yang paling pokok dan kebutuhan non-makanan pokok, jenis pekerjaan, asset rumah tangga tetap, asset rumah tangga tidak tetap, informasi rumah tangga meliputi daftar anggota keluarga, sumber-sumber penghidupan, akitivitas-aktivitas pekerjaan berupah, pekerjaan jangka panjang, gaji pegawai, bisnis perdagangan, kiriman uang, pekerjaan dan migrasi yang mencakup upah dan jenis pekerjaannya.
Seorang individu jelas dapat dikatakan sebagai miskin apabila ia memiliki tingkat kekayaan di bawah kecukupan untuk mempertahankan hidup, yaitu jika konsumsi atau pendapatannya berada di bawah kebutuhan non-makanan minimum; pekerjaannya rentan dan upahnya di bawah upah minimum nasional; rumah tangga yang sangat tergantung kepada uang kiriman; asset rumah tangga kurang dari 50% dari rata-rata nasional.
Simpulan
Untuk meredefinisi dan merekonstruksi keadilan sosial serta mengembangkan formulanya, kita dapat mempergunakan pendekatan maqasid al-shari`ah. Melalui perluasan dan kontekstualisasi maqasid al-shari`ah, teori al-dharuriyyat al-khams dapat dikembangkan menjadi al-dharuriyyat al-sittah. Hifz al-bi’ah sebagai prasyarat utama atau prasyarat yang niscaya terpenuhi (necessary conditions) bagi jaminan hak dan kebebasan beragama, pemeliharaan kesucian hidup, jaminan pendidikan dasar dan seumur hidup, kesinambungan generasi dan kehormatan keluarga, dan kesejahteraan ekonomi berkeadilan.
Karena keadilan sosial perlu dioperasionalkan agar mudah diukur, maka dibutuhkan studi lanjut untuk menerjemahkan al-dharuriyyat al-sittah menjadi indeks keamanan sosial dan lingkungan (social-environmental security and safety index).