Falsafah

Masalah Peradaban Islam dan Keharusan Pembaruan Pemikiran

4 Mins read

Apakah ada masalah dengan peradaban kaum Muslim hari ini? Pertanyaan ini bisa jadi sudah sering diulang. Kenyataannya adalah, kita memang masih dilanda masalah peradaban. Seharusnya yang kita tanyakan adalah: Apa yang sudah kita lakukan untuk mengatasi masalah peradaban Islam?

Dalam dunia yang semakin global ini, Anda pasti juga sadar, ada yang menganggap bahwa tidak lagi relevan berbicara peradaban Islam. Seharusnya kita sudah bicara peradaban bersama; Islam, Kristen, Buddha, ateis, dan seluruh manusia.

Tapi, justru itulah yang dimaksud peradaban Islam. Bukan dalam arti peradaban yang isinya hanya orang Muslim, tapi sebuah peradaban yang dibangun oleh kerjasama semua pihak, salah satunya Muslim. Dan seorang Muslim akan bekerjasama sebab dorongan wahyu Al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad Saw. Tapi, sudah mampukah Muslim bekerjasama? Apakah hari ini ada alasan bagi kita untuk mengkhawatirkan sikap keagamaan kita yang bisa jadi justru merusak kerjasama?

Peradaban Islam dalam Masalah

Ada dua hal yang menguatkan pendapat kita bahwa peradaban Islam sedang mengalami kemunduran. Pertama adalah pengamatan kita sendiri atas fenomena sosial, politik, dan ekonomi hari ini.

Bukan hanya di Indonesia, hampir di seluruh dunia Islam, terjadi peningkatan kasus intoleransi, kekerasan atas nama agama, pemaksaan keyakinan, dan terorisme. Denny JA (2019) mencatat, tren politisasi agama yang berujung pada disintegrasi sosial, dan matinya kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi, juga adalah kenyataan pahit.

Sementara itu, sejak munculnya pandemi Covid-19, lingkungan sosial kita terpecah akibat narasi-narasi religius yang tidak rasional yang menolak fakta pandemi dan fakta keharusan menjaga protokol kesehatan secara ilmiah.

Kedua adalah indeks dan data empiris yang menunjukkan kenyataan dari keadaan sosial masyarakat Muslim. Dalam catatan Ahmet Kuru (2020), dalam satu dasawarsa terakhir banyak media melaporkan peningkatan signifikan dari fenomena kekerasan, konflik, dan peperangan di negara-negara seperti Irak, Nigeria, Afghanistan, dan Suriah.

Baca Juga  Bassam Tibi: Islamisme Berbeda dengan Islam
***

Sejak peristiwa 9/11, media dunia tidak bisa lepas untuk melaporkan keterlibatan pelaku Muslim dalam terorisme, konflik, dan peperangan yang terus berlanjut. Menurut Kuru (2020), menonjolnya Islam dan dunia Islam dalam data dan pemberitaan bukan lagi sekadar sensasionalisme jurnalistik dan bias belaka. Justru data ilmiah mendukung segala macam sorotan tersebut.

Dua pertiga dari semua perang dan konflik yang terjadi sepanjang 2009, misalnya, terjadi di negara mayoritas Muslim. Tidak berhenti di sana, laporan lembaga seperti Freedom House menunjukkan rendahnya tingkat demokratisasi negara Muslim.

Laporan lain, pada 2010, rata-rata Pendapatan Nasional Bruto per kapita, tingkat melek huruf, budaya literasi, lama masa sekolah, dan angka harapan hidup di semua negara mayoritas Muslim berada di bawah rata-rata dunia (Kuru, 2020; Denny JA, 2019).

Apa yang hendak disampaikan rangkaian data empiris di atas? Sederhana, sebenarnya. Ia hendak memberitahu kita bahwa ada yang tidak beres dalam cara hidup dan cara berpikir masyarakat Muslim dalam mengisi peradabannya hari ini.

Tentu saja ada banyak faktor lain yang ikut berperan dalam kenyataan mundurnya kualitas peradaban di dunia Islam. Tapi, faktor human capital seharusnya menjadi perhatian utama kita semua.

Beberapa Akar Masalah

Kegelisahan atas kondisi peradaban Islam ini dengan sangat baik disampaikan oleh salah satu intelektual Muslim modern yang juga mantan pejabat menteri di Irak, Ali Allawi, dalam The Crisis of Islamic Civilization (2009):

“… ini semua saya alami langsung dalam rangkaian konflik dan peperangan yang melanda kaum Muslim serta dunia Muslim sepanjang tiga puluh tahun terakhir. Perpecahan umat Muslim meledak dalam letupan-letupan kekerasan yang tak terbayangkan. Pelbagai kebencian sektarian, etnis, dan rasial mencampakkan idealitas persatuan Islam.”

Jika demikian itulah kenyataan yang harus kita hadapi, apa kira-kira solusi yang bisa diberikan? Dalam studi mendalamnya tentang masalah peradaban Islam, Allawi (2009) sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat Muslim telah kehilangan elan vital peradabannya, yang ia sebut dengan spiritualisme dan pemikiran filosofis Islam.

Baca Juga  Jika Mualaf Disenangi, Haruskah Murtad Dibenci?

Sebagai seorang intelektual cum politisi, Allawi amat paham bahwa dunia Islam hari ini mengalami overdosis politisasi agama. Politisasi agama hanya menciptakan tersingkirnya spiritualisme dan filsafat yang merupakan akar kreativitas dunia Islam.

Tidak jauh berbeda, Dawam Rahardjo (2012) juga mengajukan tesis bahwa ada masalah epistemologi yang diderita umat Islam. Menurut dia, selama rasionalisme dan pemikiran ilmiah tidak bisa tumbuh, maka selama itu pula corak Islam yang sektarian dan politis-lah yang aktif mengisi panggung.

Tesis yang sama dipertahankan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif (2018). Ia melihat dunia Islam belum bisa lepas dari belenggu masa lalunya yang terlalu sektarian dan tekstualis dalam memahami agama dan kehidupan.

Ma’arif (2018) bahkan mengkritik sangat tajam, dengan mengatakan bahwa Sunnisme dan Syi’isme yang hari ini mati-matian dibela oleh mayoritas umat Islam, adalah warisan belenggu sektarianisme tersebut.

Solusinya, Pembaruan?

Diakui atau pun tidak, gerakan pembaruan pemikiran Islam telah berdampak pada penyelesaian beberapa masalah peradaban di atas. Masalah seperti sektarianisme, eksklusivisme, dan konservatisme beragama menemui penantang tangguh bernama pluralisme, inklusivisme, dan moderatisme yang digagas dan diperjuangkan oleh gerakan pembaruan Islam.

Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Jalaluddin Rakhmat adalah beberapa nama yang mewakili pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Di samping mereka juga ada Mukti Ali, Harun Nasution, Dawam Rahardjo, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif.

Pembaruan dan ide-ide mereka yang dilembagakan kemudian menjadi mercusuar bagi bangsa Indonesia untuk menemukan Islam yang lebih rasional, humanis, bebas, moderat, dan berorientasi kemajuan.

Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, sebagai dua organisasi Islam terbesar, juga menjadi lembaga-lembaga yang serius mengakomodasi serta membumikan ide-ide pembaruan di masyarakat.

Singkat cerita, sejarah Indonesia modern juga dibentuk oleh para pembaru tersebut. Apa yang mereka bentuk? Tentu saja hal yang langsung berkaitan dengan human capital negara ini. Mereka membentuk pemikiran keagamaan yang rasional dan modern, mengikis pemikiran keagamaan yang mitologis, antikemajuan, dan antidemokrasi.

Baca Juga  Ibnu al-Haitham, Ilmuwan Muslim Pencetus Kamera Obscura dan Ilmu Optik
***

Menurut Allawi (2009), tidak ada tanda-tanda kesulitan bagi umat Islam dalam menjalankan kewajiban ritual dari agamanya. Sebagai bagian dari masyarakat global, dunia menjamin hak-hak beribadah umat Islam.

Masalah yang kita alami memang bukan dalam urusan ibadah tersebut. Tetapi, lagi-lagi menurut Allawi, masalahnya kita tidak cukup mampu menciptakan dunia Islam yang harmonis dan humanis. Kita terpecah bahkan sejak dari akidah.

Yang dilakukan gerakan pembaruan bukan mengubah aspek-aspek ibadah mahdhah dari ajaran Islam, melainkan memformulasi ulang pemikiran kemanusiaan, sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan di dunia Islam.

Pertanyaannya sekarang: Apakah pembaruan sudah selesai? Apakah pembaru dari generasi terdahulu sudah berhasil mencapai tujuannya? Bukti empiris berkata, kita masih mengalami masalah peradaban.

Jika demikian, apakah kaum muda Muslim Indonesia, di mana pun ia berada, turut menyadari bahwa pembaruan belum selesai? Apakah kita sudah cukup terpanggil untuk melanjutkan dan mengembangkan warisan pemikiran Jalaluddin Rakhmat yang baru saja meninggalkan kita?

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds