Perspektif

Masih Adakah Buta Aksara di Negara Kita?

3 Mins read

Oleh: Muhammad Ramadhansyah*

Buta aksara terdiri dari dua kata yakni buta dan aksara. Buta diartikan sebagai tidak dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna dengan cara melihat. Sedangkan aksara secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata “a-“artinya ‘tidak’ dan “kshara” artinya termusnahkan.

Jadi, aksara adalah sesuatu yang tidak termusnahkan/kekal/langgeng. Dikatakan sebagai sesuatu yang kekal karena peranan aksara dalam mendokumentasikan dan mengabadikan suatu peristiwa komunikasi dalam bentuk tulis.

Adapun dalam pengertian lain aksara adalah sistem tanda grafis atau sistem tulisan yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Dengan sistem tulisan ini, manusia dapat menyimpan kekayaan akal budaya serta mengingat berbagai peristiwa.

Karena daya ingat manusia pada dasarnya sangat terbatas, dapat dikatakan bahwa tulisan memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam pencatatan sejarah dan berbagai macam peristiwa dalam kehidupan manusia. Tanda-tanda grafis yang digunakan untuk pencatatan tersebut adalah huruf.

Buta Aksara di Indonesia

Buta aksara yang dimaknai Indonesia dengan istilah “buta huruf”, sebenarnya memuat arti luas. Jika ditinjau pengertiannya, Wikipedia menyatakan buta huruf atau tuna aksara adalah ketidakmampuan manusia untuk menggunakan ketrampilan membaca, menulis serta kemampuan berhitung.

Akan tetapi memasuki abad 21 ternyata definisi buta huruf telah berubah. Menurut Gordon More, pendiri Intel, buta huruf di abad 21 bukanlah orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Tetapi orang yang tidak mampu untuk belajar, tidak mau belajar, dan tidak mau belajar lagi tentang segala sesuatu yang sudah dipelajarinya.

Buta aksara adalah masalah yang sangat serius. Karena jika seseorang tidak berkemampuan untuk membaca dan menulis tentunya akan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. UUD 1945 mengamanatkan kepada semua warga negara untuk memberantas buta aksara sesuai dengan tujuan Negara.

Baca Juga  Ibadah Ritual Harus Jadi Spirit Mengamalkan Kebajikan

Pemberantasan ini tertuang didalam pembukaan UUD 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Juga terdapat pada BAB XIII Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.

Masyarakat Indonesia pada umumnya masih sangatlah bersahabat dengan buta aksara/buta huruf. Sebagai anak bangsa yang hidup di zaman teknologi informasi saat ini, tentunya kita sangat prihatin melihat masih banyak penduduk Indonesia yang buta aksara. Negara ini tidak akan berkembang selama angka buta aksara masih tinggi. Tentunya kita tidak ingin negeri tercinta ini terus-menerus tertinggal dari negara-negara maju.

Dua Juta Penduduk

Usaha juga upaya dalam pemberantasan buta huruf sudah terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia. Dimulai sejak zaman kepemimpinan Bung Karno-Bung Hatta hingga Pak Jokowi sudah terlalu banyak program kerja juga tuntutan yang dikerahkan oleh pemerintah. Mulai dari program wajib belajar sembilan tahun, kejar paket A,B, maupun C. Program BOS, beasiswa pendidikan dan lain sebagainya. Tapi tingkat jumlah putus sekolah pun juga tidak ada habisnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Survei Sosial Market Ekonomi Nasional 2018, terdapat 1,93 persen atau 2.390.490 orang yang masih buta aksara. Di mana penyebab dari buta aksara adalah kemiskinan penduduk, putus sekolah atau bahkan tidak pernah bersekolah sama sekali. Hal ini disebabkan oleh faktor budaya, sosial, politik, dan gender.

Di antara faktor tesebut, faktor yang paling utama yang membuat seseorang menjadi buta aksara yaitu faktor kemiskinan. Sejak lama kemiskinan, kebutakasaraan, ketertinggalan, dan keterbelakangan serta ketidakberdayaan masyarakat, memang sudah ditahbiskan sebagai masalah sosial yang kompleks dan multidimensional.

Adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga saat ini sangat mempengaruhi usaha pemerintah dan masyarakat untuk mensukseskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Banyak anak Indonesia yang terancam buta aksara, yang diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan ekonomi keluarga. Selain itu, wilayah yang jauh dengan layanan pendidikan juga menjadi faktor seseorang menjadi buta aksara. Contohnya saja didaerah pedalaman atau daerah terpencil.

Baca Juga  Djazman: Kolektivitas adalah Kunci Kemajuan Organisasi

Bagaimana Seharusnya Peran Negara?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan peranan Negara terhadap keaksaraan, pertama, perlu diadakan revisi terus menerus program pemberantasan buta aksara. Karena buta aksara orang dewasa antara satu wilayah dengan lain tentunya berbeda karakteristiknya, sehingga program pembelajarannya bisa berbeda. Selain itu, pendidikan keaksaraan merupakan pembelajaran yang terus menerus atau berkelanjutan, bukan proyek yang sekali jadi.

Kemudian yang kedua, Negara selayaknya mengalokasikan anggaran yang cukup bagi program pemberantasan buta aksara. Dan yang terakhir, dengan keterbatasan dana misalnya, pemerintah sejatinya dituntut untuk bekerja sama dengan kelompok masyarakat atau organisasi non-pemerintah yang melakukan pendidikan keaksaraan (dengan model pendidikan alternatif), supaya saling melengkapi. Bila perlu, pemerintah mengidentifikasi kelompok masyarakat yang selama ini melakukan pendidikan, kemudian membiayainya.

Akan tetapi seberapapun usaha pemerintah jika kemauan yang ada pada tiap jiwa belum ditumbuhkan tentunya tidak akan berhasil, karena kegigihan dalam proses pemberantasannya pun tidak akan semudah mengecat rumah biasa. Harus dikerahkan jihad dari nol hingga tak terbatas jumlah pengorbanannya.

Kemudian jiwa miskin dalam ekonomi tidak boleh menjadi halangan impian untuk maju, semua sisi harus bergerak segesit mungkin. Terakhir, tahapan pengenalan belajar membaca dan menulis harus dikenalkan oleh semua kalangan pendidikan sedini mungkin.

Para ahli psikologi dan syaraf menyatakan, pada masa bayi berada dalam kandungan, maka pertumbuhan otaklah yang paling cepat diantara bagian tubuh lain. Pada bayi dilahirkan sel-sel otak telah mencapat 25% dari otak orang dewasa serta mengandung 100 miliar sel otak. Kemudian pada saat anak berumur 3 tahun, pertumbuhan otak sudah mencapai 90% dari otak orang dewasa.

Setelah memasuki usia 3 tahun keatas tinggal fase pembesaran dan pematangan neuron. Oleh sebab itu dalam usia dini anak perlu dikenalkan dengan dunia membaca.

Baca Juga  Masjid Harus Menjadi Tempat Ibadah yang Inklusif dan Ramah Penyandang Disabilitas

*) Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyah Shabran

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds