Oleh: M. Izzul Muslimin
Sekitar tahun 1990an, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengundang Budayawan Mohamad Sobary untuk berceramah di kantor PP Muhammadiyah, Jl KH Ahmad Dahlan 103 Yogyakarta. Di hadapan para pimpinan dan kader Muhammadiyah, M Sobary menyampaikan kekagumannya kepada para aktivis Muhammadiyah. M Sobary menyebutkan bahwa para aktivis Muhammadiyah ini setia menempuh jalan sepi di bidang keagamaan dan sosial. Sementara pada saat itu orang kebanyakan tengah ramai menempuh jalur politik dan bisnis. Semua itu, menurut M Sobary, tidak mungkin bisa dilakukan tanpa dilandasi rasa ikhlas dan jiwa berkorban.
Apa yang disebut M Sobary saat itu sebagai jalan sepi, kini telah menghasilkan buahnya. Ribuan amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, pemberdayaan ekonomi ummat, dan masih banyak kegiatan lainnya saat ini sudah cukup mapan dan terus tumbuh dan berkembang. Jika dinominalkan maka amal usaha Muhammadiyah bisa bernilai ratusan triliun rupiah.
Muhammadiyah yang berbasis keagamaan dan sosial sudah bertransformasi menjadi organisasi yang memiliki nilai bisnis. Ratusan ribu bahkan jutaan orang menggantungkan hidupnya dari amal usaha Muhammadiyah, baik sebagai pimpinan, pegawai, hingga pemasok kebutuhan amal usaha Muhammadiyah.
Saya pernah mendapatkan informasi dari teman yang bekerja di sebuah Bank BUMN menyebutkan bahwa perputaran uang rekening atas nama Muhammadiyah tidak kurang dari 2 triliun rupiah per bulan. Ini baru satu Bank, belum Bank yang lain. Besarnya nilai aset dan bisnis Muhammadiyah menyebabkan pemerintah melalui Dirjen Pajak melirik Muhammadiyah sebagai obyek pajak yang potensial akan memberi pemasukan yang cukup besar bagi negara.
Menariknya, hingga saat ini menjadi pengurus atau pimpinan organisasi Muhammadiyah dari tingkat paling bawah (ranting) hingga tingkat pusat sama sekali tidak digaji atau atas dasar sukarela. Bagi orang di luar Muhammadiyah mungkin ini dianggap aneh dan sekaligus ironi. Bagaimana mungkin Muhammadiyah dengan aset dan nilai bisnis sebesar itu dijalankan oleh pengurus atau pimpinan yang tidak bergaji alias sukarela. Tapi itulah realitasnya. Sampai saat ini tidak dibenarkan pengurus atau pimpinan Muhammadiyah menerima gaji.
Dulu, waktu zaman kepemimpinan KH AR Fachruddin, anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah hanya mendapat subsidi beras 20 kg per bulan. Itupun setelah zaman Prof. Amien Rais menjadi ketua PP Muhammadiyah dihentikan karena dianggap merepotkan secara teknis. Memang pernah ada usulan dari Drs. H. Lukman Harun saat itu supaya pimpinan Muhammadiyah mendapatkan gaji untuk mengganti biaya aktifitasnya. Namun usulan itu tidak disetujui oleh sebagaian besar pimpinan dan akhinya tidak terwujud.
Benarkah pimpinan Muhammadiyah tidak menerima uang sama sekali dalam aktifitasnya? Tentu tidak demikian kenyataannya. Ada beberapa aktivitas yang disupport organisasi seperti biaya transport, akomodasi, dll. Tapi memang sifatnya sekedar pengganti biaya operasional. Pimpinan Muhammadiyah tidak mungkin menjadikan aktivitas organisasi untuk menghidupi diri dan keluarganya. Oleh karena itu pimpinan Muhammadiyah mendapatkan maisyah (pendapatan) dari aktifitas lain di luar pengabdiannya sebagai pengurus atau pimpinan Muhammadiyah.
Memang ini juga menjadi perdebatan. Bagaimana mungkin Muhammadiyah yang sangat besar itu dikerjakan oleh mereka yang tidak secara full time bekerja untuk Muhammadiyah. Apakah tidak akan kedodoran dalam mengawal dan mengawasi gerak Muhammadiyah? Ibaratnya amal usaha Muhammadiyah berlari dengan kecepatan 60 km perjam, sementara pimpinan hanya melaju 20 km perjam. Apakah nanti tidak ketinggalan?
Memang perlu ada kajian atas hubungan organisasi Muhammadiyah dengan amal usahanya. Menggaji pimpinan Muhammadiyah untuk bisa mengimbangi gerak amal usahanya sepertinya belum menjadi pilihan yang tepat. Yang paling mungkin dilakukan adalah mensupport organisasi Muhammadiyah dengan tim administrasi dan kesekretariatan yang kuat dan profesional.
Idealnya jika ada 13 pimpinan Muhammadiyah, maka mestinya disupport oleh tim minimal dua kali lipatnya yang bekerja secara profesional, bahkan mungkin bisa lebih, tergantung kebutuhan dan kemampuannya. Jika tim administrasi dan kesekretariatan ditangani secara profesional maka kemungkinan untuk mengimbangi gerak amal usaha Muhammadiyah bisa dilaksanakan.
Muhammadiyah saat ini memang bukan lagi jalan sepi. Jika dulu dibutuhkan keihlasan dan pengorbanan dalam memimpin Muhammadiyah, sekarang memimpin Muhammadiyah juga dibutuhkan keihlasan dan tahan godaan. Bagaimana tidak? Menjaga aset dan bisnis triliunan rupiah memang membutuhkan orang yang tidak mudah silau dan mudah tergiur godaan maupun rayuan baik dari dalam maupun dari luar Muhammadiyah. Wallahu a’lam.
Bekasi, 23 Nopember 2019