Feature

Agar Masjid Makin Dekat dengan Masyarakat

4 Mins read

Masjid yang Multifungsi

Dulu sewaktu kecil, tempat bermain favorit saya adalah di masjid. Ya gobak sodor. Ya kasti. Ya main pasar-pasaran. Ya main kelereng. Ya, lain-lainnya.

Jika waktu main tiba, anak-anak langsung menuju ke halaman masjid. Biasanya setelah pulang sekolah. Sehabis tidur siang.

Otomatis. Tidak perlu saling menunggu berbalas chat Whatsapp seperti sekarang.

Masjid menjadi tempat favorit bermain, karena masjid memiliki lahan yang paling luas di kampung.

Masjid di kampung kami adalah pusat kegiatan masyarakat. Tidak hanya sekadar tempat untuk shalat, mengaji, dan pengajian. Atau kegiatan ibadah lainnya.

Masjid juga sebagai pusat informasi dan pengumuman kepada seluruh warga. Jika ada warga yang meninggal dunia, Bapak kepala Dukuh mengumumkannya melalui pengeras suara di masjid.

Masjid juga sering dijadikan tempat pengambilan bantuan sembako kepada warga yang kurang mampu. Di kampung sering ada bantuan seperti ini dari pemerintah. Dan pendistribusiannya dilakukan di masjid.

Jika masuk bulan ramadhan seperti sekarang. Masjid lebih ramai lagi. Pagi, siang, sore, dan malam, selalu saja ada orang yang ‘nongkrong’ di masjid.

Apalagi, sewaktu zaman presiden Gus Dur itu. Ketika anak sekolah libur 40 hari. Hampir sepanjang hari, anak-anak menghabiskan waktu di masjid. Sampai, seringkali tidur pun di masjid. Setelah selesai tadarusan. Baru pulang ke rumah setelah keliling bersama. Bangunin orang sahur, pukul 3 dini hari.

Tapi, semua keasyikan itu saya alami dulu. Ketika saya masih tinggal di kampung, di ujung selatan kabupaten Bantul.

Masjid yang Tak Lagi Dekat dengan Masyarakat

Sekarang, setelah dewasa saya pindah. Saya tinggal di perumahan. Di kota Sragen. Di timur kota Solo dan berbatasan dengan kabupaten Ngawi, provinsi Jawa Timur.

Baca Juga  Mengembalikan Fungsi Masjid sebagai Tempat Kajian Keislaman

Kini, saya merasa kehilangan keasyikan dengan masjid sewaktu kecil dulu. Masjid zaman sekarang, kalau malam, selesai shalat Isya banyak yang langsung dikunci pintunya dan digembok gerbangnya.

Jika dalam perjalanan malam tidak sempat mampir di waktu shalat Isya dikerjakan berjamaah, kita akan kesulitan mencari masjid yang masih buka untuk nunut shalat.

Kalaupun ada, seringkali kita hanya bisa shalat di teras masjid. Tidak bisa masuk ke dalam. Itupun dalam keadaan lampu sudah dipadamkan.

Alasannya demi keamanan. Kerap, terjadi pencurian di masjid. Biasanya, speaker dan uang infaq. Yang paling sering menjadi incaran pencuri. Sehingga mengunci dan menggembok masjid adalah jalan keluar dari masalah tersebut.

Tapi, melihat kenyataan itu, justru menimbulkan pertanyaan lain. Kenapa ada orang sampai mencuri di masjid?

Apabila ada orang sampai mencuri di masjid karena alasan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, maka ini adalah kenyataan yang memprihatinkan. Apalagi jika pencurinya adalah warga sekitar yang tidak jauh dari keberadaan masjid.

Artinya, ajaran agama Islam tidak terimplementasi dengan baik. Ajaran berbagi kepada sema tidak terdistribusi dengan benar. Seperti zakat, infaq, dan sedekah. Mungkin, orang sudah membayarkan zakat, infaq dan sedekah dengan benar. Tapi, dibayarkan melalui lembaga/laziz yang pendistribusiannya jauh dari tempat tinggalnya. Padahal di sekitarnya, masih banyak warga lebih yang membutuhkan.

Sehingga masalah kesenjangan ekonomi di antara sesama umat tidak terselesaikan. Masalah seperti ini sebenarnya bisa mulai diselesaikan dari lingkaran umat terkecil. Dari masjid-masjid di tempat tinggal kita masing-masing.

***

Tapi, kenyataannya, umat Islam saat ini, menjadikan masjid lebih sebagai tempat untuk beribadah saja. Tempat shalat berjamaah, tempat pengajian, dan tempat untuk anak-anak mengaji TPA. Terbatas pada kegiatan seputar peribadatan.

Baca Juga  Masjid Mu’allimin Bernama Hajah Yuliana

Di luar kegiatan itu, jarang ada kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan di masjid. Yakni, kegiatan-kegiatan yang pernah saya alami sewaktu kecil itu.

Sehingga apa yang terjadi?

Umat Islam menjadi tidak akrab dengan masjid. Masjid ramai hanya ketika waktu shalat saja. Dan kembali sepi ketika shalat jamaah selesai dilaksanakan.

Dari pengalaman pribadi ketika mengajak beberapa teman untuk ke masjid, saya mendapatkan jawaban. Sebenarnya banyak orang yang ingin shalat berjamaah di masjid, tapi enggan berangkat.

Alasannya, sudah terlanjur tidak pernah ke masjid. Jadi malu kalau mau berangkat sekarang. Malu dilihat orang-orang, kok tiba-tiba jadi shalat jamaah di masjid.

Tentu ini adalah masalah persepsi pribadi. Akibat dari pikirannya sendiri. Tapi ini adalah alasan umum yang biasa terjadi di sekitar kita.

Nah, di sinilah peran pengurus masjid zaman sekarang. Bagaimana masjid bisa akrab dengan warganya sendiri. Bagaimana masjid menjadi penjawab masalah yang terjadi di sekitarnya. Bagaimana masjid berperan tidak hanya sebagai tempat beribadah saja. Tapi juga masjid sebagai pusat peradaban.

Mendekatkan Masjid ke Masyarakat

Sebenarnya, kesadaran pengurus masjid untuk ke arah itu sudah bermunculan. Sebut saja, masjid Jogokariyan, di Yogyakarta itu. Yang sudah terkenal sampai mancanegara. Menjadi tempat bagi para takmir-takmir masjid untuk belajar mengelola masjid.

Kita tahu, bagaimana masjid Jogokariyan menjadikan masjid berusaha agar dekat dengan masyarakat. Menjadikan masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja.

Tapi juga sebagai tempat untuk menyejahterakan masyarakat sekitarnya. Antara lain, program-program yang sudah terkenal, seperti infaq nol rupiah dan ATM beras.

Bagaimana sesegera mungkin infaq yang masuk kas masjid terdistribusi untuk kesejahteraan masyarakat. Juga ada beras yang bisa diambil sewaktu-waktu oleh warga yang memegang kartu ATM beras. Tentu, sudah dilakukan pemetaan kepada warga sekitarnya terlebih dahulu.

Baca Juga  Masjid Quba, Masjid yang Pertama Kali Dibangun oleh Nabi SAW

Dan memang sebenarnya, jika kita lihat dalam sejarah. Nabi Muhammad Saw sudah sejak dahulu menjadikan masjid memiliki banyak fungsi. Yakni, antara lain sebagai tempat ibadah dan belajar.

Tempat diskusi dan menyelesaikan perselisihan. Tempat informasi dan pertemuan umat. Serta juga tempat menginap bagi para musafir dan pembelajar.

Lalu saya membayangkan seandainya semua masjid melakukan hal yang sama dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Menjadikan masjid sebagai pusat peradaban masyarakat.

***

Tentu tidak harus semuanya. Kita sesuaikan dengan permasalahan dan budaya di masyarakat kita masing-masing. Kita bisa memulai dari langkah-langkah kecil. Misalnya, bisa dimulai dari bagaimana masjid menyelesaikan masalah permodalan usaha bagi warga yang ingin berdagang. Sehingga warga tidak harus ‘pusing’ mencari pinjaman ke bank. Juga bagi warga tidak mampu tidak hanya mengharapkan diberi bantuan dari hasil zakat dan sedekah. Tapi dilakukan pemberdayaan masyarakat sehingga menjadi lebih mandiri.

Atau seminimal-minimalnya yang harus dilakukan oleh pengurus masjid adalah mendekatkan masyarakat dengan masjidnya. Menjadikan masjid sebagai tempat yang terbuka untuk diakses. Siapapun itu. Sehingga anak-anak, remaja, sampai simbah-simbah kita tidak asing lagi dengan masjidnya sendiri.

Walaupun di masa pandemi seperti sekarang, kegiatan di masjid masih dibatasi. Tidak mengurangi semangat kita untuk mempersiapkan kembalinya masjid menjadi pusat peradaban di daerah kita masing-masing. Justru inilah momen untuk melakukan perencanaan itu di waktu kita yang lebih leluasa.

Dan nantinya tidak kita lihat lagi masjid yang pintunya terkunci dan tergembok gerbangnya.

Avatar
1 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds