Perspektif

Masjid Sebagai “Penangkal” Virus Corona

2 Mins read

Dua pekan sudah Jumatan di berbagai wilayah ditiadakan sementara, sebagai ikhtiar umat muslim untuk memotong mata rantai penyebaran virus corona. Karena salat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Salat Jumat diganti dengan salat Zuhur di tempat kediaman masing-masing.

Bukan hanya salat Jumat, jamaah salat lima waktu/rawatib dan segala agenda ibadah yang melibatkan orang banyak seperti majelis taklim dan pengajian umum pun ikut diliburkan sementara. Seperti yang difatwakan oleh MUI nomor 14 tahun 2020 tentang Penyelenggalaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.

Lafaz azan pun ikut berubah, diganti sementara. Pada kalimat hayya alashsholah yang berarti mari kita salat diganti dengan lafaz sholluu fii buyutikum yang artinya salatlah di rumah kalian. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena sempat terjadi di zaman para sahabat Nabi Muhammad. Yang pada saat itu, terjadi hujan lebat serta jalananyang berlumpur. Sangat beresiko serta menyulitkan para muslimin yang hendak menunaikan salat bersama-sama di masjid. Beberapa masjid di jazirah Arab dan negara-negara mayoritas muslim, juga telah menghentikan sementara aktivitas di ‘bangunan masjid’.

Berbagai peniadaan kegiatan keagamaan yang melibatkan jamaah mengakibatkan ‘bangunan masjid’ mendadak sepi dan kosong mlompong. Hilang aktivitas orang-orang khusyuk beribadah. Juga puji-pujian kepada Allah pun menguap. Menghilangnya ritus keagamaan di ‘bangunan masjid’ tidak serta merta ikut menghilangkan keberadaan Allah dalam ‘masjid’ yang inheren pada hati manusia.

Kita Apakan ‘Bangunan Masjid’ yang Sepi?

Dengan maraknya penyebaran pandemi virus corona serta dikutkan dengan fatwa MUI, secara matematis berimpilikasi langsung pada sepinya bangunan masjid di berbagai wilayah. Padahal bangunan masjid merupakan elan vital untuk menjadi bagian melawan pandemi corona.

Baca Juga  Masa Pandemi untuk Masjid Kottabarat: Pembukaan Kembali?

Di mana kasus positif virus corona di Indonesia terus meningkat setiap harinya. Hal ini masih dapat bertambah. Karena menurut berbagai prediksi, puncak pandemi corona di Indonesia sekurang-kurangnya pada akhir Maret. Dan paling ekstrem sekitar akhir Juni dan akhir Juli.

Setiap takmir masjid mesti memutar otak secara aktif dan kreatif agar peran vital masid tidak terdegradasi. Bangunan masjid yang merupakan epitome kerajaan surgawi tuhan di muka bumi yang berarti mewujudkan surga Allah dalam kehidupan, kini dan di sini, mesti ikut ambil bagian dalam menangani permasalahan kemanusiaan.

Mempersipkan transformasi bangunan masjid sebagai tempat ibadah dan zikir yang mengeksploitasi air mata, memanjatkan doa, dan pertobatan spiritual, menjadi bangunan masjid siaga  untuk menghadapi puncak pandemi dengan menjadi tempat koordinasi satgas penanganan covid-19. Dengan mendirikan posko informasi, sarana edukasi masyarakat, layanan psikologis keluarga terdampak, dan bahkan kalau boleh bangunan masjid kita jadikan tempat isolasi atau karantina bagi pasien corona. Ataupun tenaga medis yang ditolak oleh lingkungan masyarakatnya seperti yang banyak diberitakan oleh media masa.

Bukankah bangunan masjid sebagai pranata sosial Islam sekaligus media rahmatan lil alamin hanya bisa terwujud jika masjid menjalankan peran dan fungsinya? Seperti dalam sirah nabawi bawasanya Rasulullah mendirikan masjid di Madinah mempunyai fungsi ganda; sebagai tempat ibadah dan juga sebagai pusat kegiatan sosial. Kita mesti mengejawantahkan kembali nilai profetik-transformatif dalam bentuk solidaritas komunitas sosial-keagamaan kekinian.

Hal itu dapat terealisasi apabila kita mencelupkan diri (sibghah) dalam perjuangan konkrit melawan pandemi corona sehingga kita benar-benar mampu memahami kesulitan yang dialami oleh para pejuang kemanusiaan, dalam hal ini petugas kesehatan dan relawan.

***

Bermodalkan bangunan masjid itulah, umat Islam dapat berkontribusi pada peradaban mendatang. Seperti yang dilakukan oleh suri tauladan kita baginda Nabi Muhammad, dalam mulai membangun dunia melalui bangunan masjid kecil. Sehingga kota kecil yang menjadi tempat beliau membangun dunia, benar-benar menjadi Madinah yang arti harfiyahnya adalah “pusat peradaban”. Atau paling tidak, dari tempat tersebut lahirlah benih peradaban baru masyarakat madani umat manusia.

Baca Juga  Covid-19, Tawakal dan Sikap Keras Kepala

Akhirnya, mari bersama-sama kita jadikan pandemi corona sebagai momentum kebangkitan solidaritas keumatan. Sembari menjadikannya bahan tafakur menyelami makna kemanusiaan kita. Karena risalah keagamaan terasa kering jika tidak bersentuhan dengan realitas sosial.

Editor: Yahya FR

Avatar
3 posts

About author
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, berbisnis buku di @cintaiotakmubook
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds