Multikulturalisme Masyarakat Indonesia
Dusun Sarapati – Indonesia memiliki masyarakat dengan kepercayaan berbeda-beda (pluralisme) dan beraneka ragam budaya (multikulturalisme). Hal itu-lah yang menjadi salah satu faktor Indonesia memiliki kekayaan luar biasa.
Akan tetapi, untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan, butuh kerja keras antar semua golongan masyarakat.
Apabila kita tidak bisa merawat atau menjaga keselarasan antar golongan, maka sangat mudah menimbulkan konflik, bahkan perpecahan antar umat bahkan bangsa kita.
Diskriminasi Akibat Gagal Paham
Bersamaan diturunkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, berbunyi “Semua warga negara Indonesia memiliki hak untuk memilih pemahaman atau agama yang dianutnya”.
Namun, tak sedikit masyarakat Indonesia yang masih belum paham apa tafsirannya, pasalnya terjadi diskriminasi terhadap umat antar agama. Salah satunya pada aliran Kejawen. Aliran Kejawen ialah aliran yang menganut pemahaman nenek moyang atau para leluhurnya.
Sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila, seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Sesuai isi dari UUD 45 pasal 28 E tentang kebebasan memeluk agama dan peribadatan. Salah satu penyebab terjadinya intoleran dan radikal adalah kurangnya “pemahaman” terhadap kepercayaan-kepercayaan aliran-aliran atau agama di Indonesia.
Maka, perlunya diadakan peneliatan atau kajian membahas kepercayan-kepercayaan agama di Indonesia. Dengan begitu, stigma negatif masyarakat Indonesia terhadap umat antar agama terselesaikan sehingga perdamaian bisa tercapai.
Masyarakat Puring: Penganut Kejawen
Salah satu masyarakat yang masih bertahan menganut aliran Penghayat Kepercayaan (Kejawen) hingga saat ini adalah Kecamatan Puring Kabupaten Kebumen di daerah Jawa Tengah. Tepatnya, di Dusun Sarapati Desa Surorejan. Letak Geografis desa ini terletak tepat utara samudra pasifik.
Oleh karena itu, desa ini memiliki beberapa bibir (baca; pantai) dan dihimpit oleh tiga desa yaitu desa Banjareja dari arah utara, desa Tambakmulya dari arah barat, dan desa Waluhyorejo dari arah timur.
Bukan hanya pemahaman yang turun dari leluhur, namun, karakter dan perilaku-pun diwariskan. Salah satu warisan dari leluhur yang sampai saat ini masih berlaku ialah menyiapkan sesaji pada waktu tertentu.
Profesi masyarakat Desa Surorejan mayoritas menjadi petani dan nelayan. Namun, pada kesempatan ini, penulis tidak akan menjelaskan panjang lebar tentang perekonomian masyarakat Dusun Sarapati, melainkan pada segi nilai sosial masyarakat.
Setiap agama pada dasarnya memiliki esensi untuk menghubungkan antara pencipta, manusia, dan alam semesta. Dari esensi ketiga tersebut, dalam ajaran aliran Penghayat Kepercayaan atau Kejawen dikenal dengan istilah Tri Tangtu. Kali ini penulis akan memberikan pembahasan tentang bagaimana esensi ajaran agama dapat diterapkan melalui budaya.
Implementasi Tri Tangtu Masyarakat Dusun Sarapati
Aliran yang sering dipandang aliran tak punya Tuhan, animisme bahkan dinamisme ini justru mengkolaborasikan antara ajaran Islam dengan budaya yang telah mendarah daging, sehingga sangat berpotensi untuk mewujudkan sebuah keharmonisan.
Konsep aliran penghayat kepercayaan atau kejawen mengandung sebuah keseimbangan hidup yaitu Habluminalloh, Habluminannas, dan Habluminal’alam.
Seorang muslim belum sempurna peribadatannya ketika belum bisa mengamalkan 3 hal tersebut. Al-Qur’an menjelaskan tentang Hablumminallah dan Habliminannas pada QS. Ali Imran ayat 112, kemudian Hablumminal-‘alam pada QS Al Kahfi (anjing), Al-Naml (semut), dan An-Nahl (lebah). Selaras dengan konsep Tri Tangtu dalam aliran Penghayat Kepercayaan.
Pertama, konsep Tri Tangtu adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan. Masyarakat penghayat tidak sepenuhnya mempercayai bahwa Allah sebagai Tuhan, namun mereka mengakui Dzat Yang Maha Kuasa dengan segala sifat-Nya seperti: Gusti Sikang Sawiji-Wiji, Gusti Nu Maha Uninga, dll.
Semua itu sifat dari Tuhan, mereka tidak memberi nama khusus untuk Tuhan, karena menurutnya tidak ada kuasa untuk menamakan Dzat Sang Pencipta. Cara mereka beribadah (Sembahyang) tidak mengenal waktu, melainkan setiap waktu harus mengingat Sang Pencipta.
Kepercayaan aliran Kejawen meyakini bahwa sembahyang itu bukan hanya kepada Tuhan saja, namun dengan manusia dan alam sekitar juga. Kemudian didasarkan dengan isi ajaran konsep Tri Tangtu yaitu tata wayah, tata lampah, dan tata wilayah.
Jadi, bukan hanya sembahyang kepada Tuhan, melainkan sembahyang pada manusia dengan muhasabah diri. Dan kepada alam (tafakur) memahami ke-Esa-an Tuhan.
Upaya Pelestarian Lingkungan
Selanjutnya dalam menjaga kelestarian alam, masyarakat penghayat kepercayaan membagi beberapa tata wilayah ada tanah larangan, tanah tutupan, dan tanah pertanian. Ketiga tanah tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Tanah larangan adalah tanah yang sakral dan tidak ada orang yang diperbolehkan menyentuh kecuali orang tertentu. Tanah tutupan adalah tanah yang boleh diambil manfaatnya dengan syarat harus menggantinya (tumbal). Tanah pertanian adalah tempat masyarakat untuk bercocok tanam.
Sebuah Negara akan terjaga kelestarian alamnya, apabila menggunakannya sesuai porsinya. Seperti sawah dimanfaatkan untuk ladang pertanian, perkebunan dijadikan untuk penghijau alam, dan tidak banyak lahan yang digunakan untuk membangun gedung-gedung menjulang. Hal tersebut tidak lain untuk menjaga keseimbangan kelestarian alam sebagai kekayaan yang luar biasa.
Selain itu, masyarakat penghayat menjalin hubungan dengan alam berdasarkan ajaranya “mugio akur rukun repeh rapuh sareng seasama hurip”. Mereka juga mempunyai keyakinan bahwa ada 3 jenis makhluk yaitu makhluk cicing (tumbuhan), makhluk nyaring (hewan), dan makhluk eling (manusia). Pada dasarnya, manusia mempunyai tingkatan yang lebih tinggi maka sudah sepantasnya untuk menjaga keharmonisan dan kelestarian sesama makhluk hidup.
Hubungan Sesama Manusia
Selain hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam, konsep terakhir dalam Tri Tangtu adalah hubungan sesama manusia. Keharmonisan masyarakat Dusun Sarapati penganut aliran kepercayaan ditandai dengan kegiatan seperti kerja bakti, pesta pernikahan mengundang seluruh warga antar aliran untuk sama-sama merayakan.
Ada juga suatu kegiatan keagamaan muslim yaitu muludan dan rajaban. Penganut kepercayan lainnya pun turut membantu dalam mensukseskan acara tersebut. Dalam acara tersebut, semua elemen masyarakat terlibat.
Negara yang maju dalam penataan atau pemerintahannya itu ditandai dengan sejahtera dan kerukunan antar umat dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Sehingga, persatuan di antara mereka pun bisa terjalin. Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa mereka (kelompoknya sendiri) ialah yang paling benar. Sehingga, muncullah sifat intoleran terhadap suatu perbedaan. Yang mana seharusnya, dari perbedaan itu, muncul lah ide-ide baru terkait bagaimana cara memaksimalkan terealisasinya sila ke-3 yaitu “Persatuan Indonesia”.
Masyarakat aliran Penghayat Kepercayaan Dusun Sarapati Desa Surorejan sangat menjunjung tinggi nilai saling menghormati dan saling menghargai sesame. Sehingga, terwujudlah perdamaian dan persatuan. Maka, hal seperti itulah yang seharusnya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berawal dari diri kita sampai membekas dalam hati dan menjadi budaya dalam masyarakat. Maka terjalin lah sebuah kerukunan dan kemajuan sebuah Negara.
Editor: Yahya FR