Dalam suasana Rabiul Awal atau yang kita kenal bulan maulid (kelahiran) Nabi Muhammad Saw (w. 632), umat Islam bergembira merayakan hari lahir nabinya. Dalam suasana kegembiraan ini, menarik kiranya kita menyegarkan kembali risalah kemanusiaan yang diperjuangkan Nabi Muhammad Saw, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi bagi umat manusia.
Misi Kenabian
Bagian penting dari misi nabi yakni mengajarkan ketundukan kepada Tuhan (tauhid) dan yang tak kalah penting adalah mengeluarkan manusia dari feodalisme, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial-ekonomi (Muhammad dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas, 2008, karya Munir Che Anam).
Rasulullah Saw lahir (570 masehi) ketika Makkah mengalami krisis kemanusiaan; moral maupun sosial (jahiliah), realitas ini bahkan diakui oleh sejarawan Barat (orientalis) misalnya Montgomery Watt (w. 2006) dalam bukunya Muhammad: Prophet and Statesman (terbitan dalam bahasa Indonesia Melihat Sang Nabi sebagai Negarawan, 2020).
Pada masa itu, subjektivitas kultural merupakan tumpuan pembenaran atas segala tindakan hidup menyimpang, dalam arti antitesa terhadap nilai-nilai luhur perikemanusiaan. Di tengah realitas yang demikian, kehadiran Nabi Muhammad Saw menjadi pelopor utama mereformasi sistem keyakinan kaum pagan Makkah menuju tauhid serta membentuk tatanan sosial baru yakni masyarakat berkeadaban (islamiah).
Masyarakat Ideal Madinah
Setelah fase Makkah, perjalanan hijrah ke Madinah (tahun 622 masehi) memiliki arti penting dalam karir kenabian, yakni perjalanan menuju kemapanan. Negeri Madinah merupakan role model dalam sejarah umat manusia untuk merumuskan tatanan sosial yang ciri utamanya adalah taat kepada hukum atau nilai, bukan kepada penguasa.
Konsep ini kemudian yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan nabi. Bahwa selama kekuasaan dilekatkan pada nilai bukan pada penguasa, maka keadilan ataupun kesetaraan dapat ditegakkan. Dalam Islam, kita menyebutnya sebagai konsep rahmatan lil ‘alamin (QS. al-Anbiya’: 107).
Prinsip Dasar Kemanusiaan
Komitmen purna dari penyampaian misi suci ini dapat dilihat dari pernyataan nabi yang paling fenomenal dalam pidato perpisahan (khutbah wadâ’) ketika menyelenggarakan ibadah haji dan merupakan satu-satunya yang beliau lakukan setelah tahun ke-10 hijrah atau 632 masehi. Begitu pentingnya pidato ini sampai nabi menegaskan pertanggungjawaban pada umatnya bahwa beliau benar-benar telah melaksanakan risalahnya.
Dalam pidatonya, Rasulullah Saw mengungkapkan prinsip dasar yang sekarang biasa kita sebut sebagai hak asasi. Beliau menegaskan rangkaian tiga hak asasi manusia yang dalam bahasa nabi dinyatakan sebagai; dimâ’, amwâl, dan a’râdh (darah atau kehidupan, harta, dan kehormatan).
Bahwa darah (life), harta (property), dan kehormatan (dignity) manusia itu suci, dan akan senantiasa suci sampai kelak manusia bertemu Rabb-nya (Allah Swt). Oleh karena manusia itu suci, ia tidak boleh dilecehkan. Dari pernyataan ini, Rasulullah Saw ingin menegaskan gagasan Islam tentang kemanusiaan.
Nabi dan Humanisme
Menurut Cak Nur (w. 2010), pidato Rasulullah Saw inilah yang kemudian menginspirasi para pemikir Renaisans di Eropa, mengantarkan mereka keluar dari keterpurukan; rasisme, perbudakan, diskriminasi perempuan, dan sebagainya.
Misalnya tokoh Renaisans dari Italia, Giovanni Pico (w. 1494) mendeklarasikan human dignity yang diinsafinya dari kaum Saracen (sebutan untuk orang Arab muslim pada masa perang Salib), hari ini prinsip tersebut dikenal humanisme. Walau di Barat dikembangkan sebagai humanisme sekuler yang lahir akibat perlawanan terhadap absoluditas gereja, bahwa agama tidak lagi berwajah humanis (dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid, 2020).
Humanisme Religius
Dalam Islam kita mengenal humanisme religius, melalui pidato nabi ini, Islam menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk tertinggi dan terhormat. Bahkan Allah Swt menghormati kedudukan manusia (Qs. al-Isra’: 70).
Setiap cara pandang yang membedakan antara manusia satu dengan manusia lain berdasarkan kriteria normatif sosiologis merupakan pengingkaran dari ketundukan kepada Allah Swt.
Keyakinan kepada Tuhan merupakan kebutuhan mendasar manusia atau bersifat alamiah. Karena itu, praktis tidak ada manusia yang tak bertuhan. Kenyataan bahwa risalah tauhid yang dibawa Nabi Muhammad Saw ditolak masyarakat Makkah pada saat itu bukan karena mereka tidak meyakini adanya Tuhan, tapi karena justru mereka takut jika sistem ketuhanan mereka (paganisme) tereliminasi sistem tauhid yang dibawa nabi.
Sistem tauhid melahirkan kesetaraan, dalam tatanan sosial baru yang dibangun nabi, manusia berkedudukan sama rata, yang memiliki kekuasaan hanya Dia Yang Maha Tinggi (Allah Swt). Bahwa dominasi kekuasaan; ekonomi, sosial, dan budaya yang semula dimiliki oleh segelintir orang dipaksa melebur. Itulah yang tidak diinginkan oleh para pemuka kaum pagan.
Memurnikan keyakinan terhadap ke-Esa-an Allah Swt merupakan puncak tertinggi kebebasan atau kemerdekaan manusia. Sebab, jika tidak, manusia bisa saja menggugurkan dignitasnya, dalam arti manusia masih memberikan ruang terhadap sesuatu selain Allah Swt yang notabene berkedudukan sebagai sesama makhluk, sehingga menghalangi akses manusia sendiri kepada Sang Khalik.
Keistimewaan manusia dapat dibenarkan sejauh tingkat ketundukannya atas ke-Esa-an Allah Swt semata. Perwujudan atas ketundukan itu dapat terlihat dari sejauh mana tingkat pengabdian manusia kepada-Nya. Pengabdian ini disebut dengan takwa (QS. al-Hujurat: 13).
Sosiologi Islam
Jadi, agama Islam mengajarkan kita untuk menerapkan prinsip sebagaimana dalam ilmu sosiologi disebut achievment orientation atau orientasi prestasi.
Soal keturunan, ras, suku, etnis, atau semacamnya merupakan atribut keniscayaan lahiriah yang tidak boleh dijadikan alat ukur superioritas-inferioritas, karena semua itu tidak bisa dipilih. Yang menjadi pilihan manusia adalah amalnya, achievment atau prestasinya, pengabdiannya, ketakwaannya. Dalam bahasa Cak Nur mengutip Schuon (w. 1998), aku beramal maka aku ada.
Pluralisme Islam
Semua ini menjadi dasar bagi pandangan tentang pluralisme, yakni pengakuan terhadap kenyataan pluralitas secara positif. Kejahatan tertinggi manusia adalah pelecehan terhadap pluralitas kemanusiaan.
Pluralitas bukan untuk dilecehkan, tetapi dipandang sebagai aset untuk memperkaya relasi antarbudaya dan golongan. Kalau kita sanggup memaknai yang demikian, maka kita telah menerapkan pluralisme. Islam mengajarkan pandangan seperti ini dalam rangka fastabiqul khairât (mengamalkan kebaikan yang beragam).
Kesimpulan
Nabi Muhammad Saw merupakan rasul yang berjuang untuk dan tentang manusia (kâffatan linnâs). Sosok yang membebaskan manusia dari belenggu fanatisme dan subjektivitas kultural. Nabi merupakan sosok inspiratif, konsep dan aksi-aksi kemanusiaannya menjadikan umat Islam dan manusia pada umumnya merasa lebih dekat dengannya. Sebab berbagai tantangan dan perjuangannya senantiasa relevan bagi siapa pun dan di mana pun.
Menyemai nilai-nilai kemanusiaan tanpa belenggu, penjajahan, dan penindasan adalah bentuk lain dari kesyukuran atas kehadiran nabi. Kegembiraan merawat pluralisme, kesetaraan, dan hak asasi manusia merupakan bagian penting dari merayakan maulid Nabi Muhammad Saw.
Allah Swt dan para malaikat-Nya berselawat kepada Nabi Muhammad Saw. Maka kita pun membaca selawat kepada beliau sesuai perintah Allah Swt. Selawat adalah bentuk untaian penghargaan kita kepada nabi, karena beliau telah datang membawa rahmat yang begitu besar untuk umat manusia.
Editor: Soleh