Daniel L. Pals dalam Seven Theories of Relegion (1996) di awal bab ia menceritakan bagaimana agama dan sains dipertemukan. Kisah itu nun jauh beberapa abad yang lalu, tepatnya Februari tahun 1870, ada seorang profesor yang disegani memberikan kuliah umum di London. Dia adalah Friedrich Max Muller (1823-1900), ilmuan asal Jerman yang ahli membicarakan soal hinduisme kuno. Kuliahnya sebagaimana kuliah umum kebanyakan; dihadiri oleh tamu undangan, para ilmuan, dan akademisi lain.
Namun satu usulannya tetang agama dan ilmu (selanjutnya akan ditulis sains) menghebohkan ilmuan lain. Pada kesempatan itu, Max Muller mungusulkan satu istilah baru, ia menyebutnya dengan istilah scinece of relegion. Konsep mengawinkan agama dan sains ini cukup menggelitik nalar ilmuan pada waktu itu.
Perlu diingat, Max Muller menyampaikan gagasan scinece of relegion pada dekade 1870an. Dimana pada era itu terbit buku karya Charles Darwin, The Origin of Species (1859). Darwin memisahkan peran agama sekaligus Tuhan dalam proses penciptaan alam. Yang paling terkenal, ia membuat teori evolusi dengan dasar logika seleksi alam.
Pergolakan Gereja dan Ilmuan
Apalalgi, Eropa abad pertengahan pernah mengalami masa pergelokan serius antara gereja dan para ilmuan (filsuf). Para ilmuan menganggap gereja menjadi dalang utama penyebab kebudayaan dan sains tidak berkembang. Sebab waktu itu gereja memonopoli kebenaran, lalu menghilangkan budaya Yunani dan Romawi kuno yang disbut-sebut sebagai dasar kebudayaan Eropa. Gereja bahkan mengkafirkan kedua budaya tersebut.
Dari situ muncul pemisahan sains dan agama. Bahkan sampai muncul tren ateis, termasuk klaim bahwa pengaruh agama bisa berakibat buruk bagi perkembangan sains. Salah satu pendapat itu dikemukan Kalr Marx melalui istilah alineasi agama; bahwa agama hanya dijadikan pelarian bagi para buruh pabrik eropa semata. Saya tidak sedang mengatakan Kalr Marx yang menyebabkan tren ateisme, namun Kalr Marx menjadi salah satu contoh ilmuan yang kontroversial sebab konsepnya tetang agama yang cenderung provokatif.
Tak heran ketika Max Muller menyampaikan pidatonya, para ilmuan merasa ragu. Mereka meragukan sains yang didasarkan pada metode ilmiah; empiris dan logis, disandingkan dengan agama yang berdasar pada iman (wahyu). Dalam pemahan ilmuan barat, kebenaran agama bersifat dogmatis dan mutlak. Sedangkan kebenaran ilmiah, bersifat relatif, dalam artian bisa dibantah jika ada penemuan teori yang lebih mutakhir. Keduanya cukup silit untuk dikawinkan.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bisa kebenaran iman yang bersifat mutlak itu, ditelaah menggunakan metode ilmiah yang akrab dengan eksperimen (empiris)? Lalu bagaimana caranya mengkawinkan antara sains dan agama yang selalu ‘bermusuhan’, tanpa menghancurakan salah satu dari keduanya? Sederhananya, apakah bisa mengkaji agama sebagai sebuah ilmu?
Max Muller menjawab dalam kuliahnya yang berjudul Introduction to the Science of Religion (1873), ia optimis bahwa kajian tentang Agama akan turut memberikan sumbangan penting bagi sains sekaligus agama.
Bagi Muller sudah saatnya para ilmuan melaukan pendekatan baru, meneliti dari setiap detail agama secara ilmiah. Melanjutkan pekerjaan mengumpulkan fakta, adat, dan ritual dari agama di dunia. Lalu meramunya menjadi teori agama. Mirip ahli biologi, fisika, dan kimia menjelaskan cara kerja alam.
Mencari Definisi Agama
Dari masa setelah itu, muncul kajian agama yang berusaha mencari asal-usul agama itu sendiri. Bagi saya itu sangat sulit. Misal, bagaimana menjelaskan sistem kepercayaan Hindu dan Islam, sedang keduanya memiliki kompleksitas masing-masing.
Meskipun jika mau membicarakan konsep Tuhan, keduanya mengatakan ada “dzat yang menguasai alam semesta”, namun Islam dan Hindu mempunyai detail yang berbeda, bahwa rupa/bentuk dzat dan cara menyembahnya seperti apa sudah berbeda.
Meski demikian, beberapa ilmuan berusaha mendefinisikan dan mencari asal-usul agama. Serperti E.B Tylor, dalam Primitive Culture (1871) mengusulkan bahwa esensi agama adalah animisme (anima; berarti roh) yaitu kepercayaan terhadap kekuatun dibalik segala sesuatu.
Sedangkan Dukheim dan Eliade, mereka menggunakan kata the sacred (yang sakral) untuk melihat esensi agama. Segala sesuatu yang dipandang skaral bagi umat, disitulah letak agama. Misal ka’bah bagi umat muslim menjadi sakral, begitu juga tembok ratapan bagi umat Yahudi.
Definisi Durkhaim dan Eliade lebih mudah diterapkan. Sebab definisi ini mendekati pandangan umum (common sense). Intinya mendefinisikan agama sebagai sebuah ‘idea’ yang bersifat konseptual.
Scinece of Relegion Milik Muller
Pandangan-pandangan para ilmuan barat mengenai agama sudah jauh berkembang, setidaknya mereka sudah tidak lagi menganggap bahwa agama hanya sebatas kepercayaan takhayul dan roh, sebagaimana yang digambarkan pada abad pertengahan dulu (dark ages).
Melalui konsep scinece of relegion milik Muller, ia turut berperan mengubah padangan tersebut. Para ilmuan setelahnya berani mengambil langkah untuk mengkaji agama secara ilmiah.
Daniel L. Pals merangkum tujuh terori paling berpangaruh, termasuk teoritikus terkemuka seperti yang sudah disebutkan di atas; Karl Marx, Durkheim, E.B Tylor dan Elade. Bahkan Sigmund Freud yang terkenal di kalangan psikolog, juga memiliki pandangan tersendiri mengenai agama.
Meski dalam menyusun teori tentang agama, terdapat kesalah atau ketidakcocokan dengan tradisi keilmuan di sini. Kajian yang dilakukan tetaplah penting untuk dipelajari, sebab bisa menjadi stimulus bagi peneliti lain. Lalu merumuskan ulang teori keagamaan dan memformulasikan kembali masalah agar bisa diterima oleh tradisi keilmuan di timur, khususnya di Indonesia.
Editor: Dhima Wahyu Sejati