Oleh: Anisa Kurniarahman*
Ketika berbicara mengenai saluran media Islam, tentu benak kita akan melayang pada ribuan konteks ceramah para Da’i dan ratusan postingan meme Islami di instagram. Tidak dipungkiri media menjadi salah satu yang berperan penting dalam penyebaran ajaran-ajaran islam kepada masyarakat.
Tidak perlu datang ke kajian masjid atau halaqah-halaqah, anak muda sekarang yang memang lebih suka pada hal-hal berbau instan memilih mengorbankan beberapa giga kuotanya untuk mengakses konten-konten islami via aplikasi ponsel bawaan atau hasil download. Antusiasme anak muda ini kemudian dimanfaatkan oleh banyak kelompok untuk mencari jamaah sebesar-besarnya. Dimulai dari kelompok yang liberal, progresif, moderat, konservatif hingga radikal.
Fenomena hijrah pun tak terhindarkan. Laki-laki mendadak memanjangkan jenggotnya, memilih untuk tidak isbal dan rajin membagikan ceramah-ceramah Islami dari ustadz kenamaan. Para perempuan pun tak jauh beda, mereka berlomba-lomba mengenakan jilbab besar, menghapus foto masa kelam, serta tiba-tiba lebih menutup diri dari pergaulan.
Apa hal itu buruk ? Tidak, tentu saja tidak. Namun mari kita lihat konteks sosial yang terjadi.
Wacana Patriarki Dalam Media Mainstream
Secara garis besar, media Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu media moderat dan media konservatif. Media moderat memuat konten ajaran islam yang relevan dengan perkembangan zaman.
Memaknai setiap ayat dan hadis dari berbagai sudut pandang aspek kehidupan termasuk politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Contoh media ini adalah media yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Sedangkan media konservatif memuat konten rigit (ketat) dari ajaran Islam, dan tidak menampilkan perempuan sedikitpun di dalamnya.
Contoh dari media ini adalah Yufid TV, Muslim.or. id dan masih banyak lagi. Dari perbandingan keduanya, konten yang dihasilkan oleh media konservatif ternyata jauh lebih banyak daripada konten yang diproduksi oleh media moderat.
Ini mengindikasikan bahwa, media konservatif mungkin saja bertanggung jawab terhadap meningkatnya domestifikasi muslimah perhari ini. Dugaan ini kemudian memancing berbagai banyak pihak untuk membuat kajian lebih dalam.
Sebut saja salah satunya kelas diskusi mingguan yang diisi oleh aktivis Gusdurian, Kalis Mardiasih. Aktivis perempuan ini memang sejak lama telah fokus pada kajian tentang gender dan keperempuanan.
Teringat jelas kala itu, Sabtu 18 Mei 2019 pukul 14.30, Kalis yang menjadi pemantik diskusi dalam acara “Kelas Muslimah dan Media Islam” melontarkan kalimat yang cukup menarik bagi penulis, “Ulama atau Da’i yang turut serta dalam produksi konten-konten di media Islam konservatif hanya bertugas sebagai penjawab ‘boleh atau tidak’, dan ‘halal atau haram’ saja, tidak lebih. Semua orang juga bisa seperti itu kalau mau menghafal ayat dan hadits”.
Lebih jauh Kalis Mardiasih mengatakan, jika penjelasan para Da’i terkait surat An-Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan, ayat poligami, lalu hadits-hadits misoginis seperti; perempuan tidak boleh diserahi urusan memimpin, perempuan tidak boleh bepergian sendiri tanpa mahram, dan seorang istri lebih utama untuk tinggal di rumah, cukup membuat perempuan (muslimah) merasa posisinya lebih rendah daripada laki-laki dan memilih absen dari peran ranah publik.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus perempuan karir yang berhenti bekerja pasca menikah, meningkatnya kasus pernikahan dini hingga membuat pendidikan terbengkalai, dan keminderan perempuan terhadap laki-laki dalam kontestasi pemilihan pemimpin. Tiga contoh tadi semakin menjadi-jadi karena ada iming-iming surga di belakangnya.
Konservatisme Konten Dakwah
Sering kita dengar alasan seorang Da’i mengatakan perempuan tidak boleh bepergian sendiri karena alasan keselamatan dan perempuan lebih baik tinggal di rumah dengan alasan karena dimuliakan. Namun konteks sosial sekarang berbeda, dunia saat ini jauh lebih aman jika dibandingkan dengan zaman hadits tersebut diturunkan. Pun di luar sana masih banyak posisi-posisi mulia yang harus diisi oleh perempuan.
Tidak salah memang jika alasannya adalah karena keselamatan dan kemuliaan, namun akan menjadi masalah ketika ayat-ayat serta hadits-hadits tersebut digunakan untuk membungkam pendapat perempuan, membatasi pikiran perempuan, dan mereduksi peran perempuan.
Lebih jauh lagi, media Islam mayoritas sekarang seolah hanya menampilkan Da’i yang bisa mengafirmasi namun tidak mampu memberikan solusi. Sebut saja, ketika ada jamaah yang bertanya terkait poligami, Da’i mengafirmasi boleh.
Ketika ada yang bertanya hukum pernikahan dini, dengan alasan sudah aqil baligh dan Rasulullah pun melakukannya, Da’i mengafirmasi boleh. Ketika ada yang bertanya terkait keutamaan istri tinggal di rumah, pun Da’i mengafirmasi dengan positif. Memang tidak ada yang salah dari jawaban para Da’i, yang menjadi masalah adalah tidak ada penjelasan lebih lanjut atau implikasi yang terjadi jika seseorang melakukan itu.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, Nazarudin Umar mengatakan bahwa angka perceraian akibat poligami terus meningkat tiap tahun. Poligami juga menjadi penyebab penelantaran istri dan anak. Selain itu, kasus ibu muda meninggal pasca melahirkan pun meningkat tiap tahunnya.
Menurut dr. Detty Siti Nurdiati, MPH, Ph.D, menikah muda dan hamil di bawah usia 20 tahun setidaknya menyumbang lebih dari 60% prosentase kematian ibu pasca melahirkan. Hal ini membuat ajaran agama yang harusnya menjadi solusi atas permasalahan sosial, terlihat seolah menjadi penyebab masalah sosial itu sendiri. Bukan, bukan ajarannya yang salah, namun kesiapan masyarakat yang belum matang saat menerimanya.
Setelah membaca pemaparan di atas, harapannya para Da’i yang berdakwah di saluran media Islam menjadi lebih rasional dengan memaparkan implikasi dari ayat dan hadits yang disampaikan dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya. Selain itu, penulis berharap agar pembaca mampu memilih konten media secara selektif.
Percayalah, media dengan konten Islami itu bagus, namun menjadi kurang bagus ketika pasca menonton membuat diri kita merasa lebih tinggi aatu lebih rendah dari lawan jenis, dan atau malah memicu masalah sosial yang tak berkesudahan.
Kita harus percaya, Allah itu Maha Adil dan menciptakan segala sesuatu dengan berpasangan seperti langit dan bumi, malam dan siang, laki-laki dan perempuan. Menjadi pasangan adalah sejajar dan saling melengkapi, itu artinya mereka memiliki kedudukan yang sama dan saling membutuhkan.
Ketika diri kita merasa perempuan memiliki kedudukan di bawah laki-laki atau bahkan sebaliknya bukankah sama saja artinya kita meragukan keadilan Allah ? Wallahu a‘lam bishshawab.[YFR]
*Ketua Bidang IMMawati PC IMM Sukoharjo 2019