Inspiring

Melampaui Kartini (1): Rahmah El-Yunusiyah, Mewujudkan Kesetaraan Perempuan Lewat Pendidikan

9 Mins read

Tanah Minang tak pernah sepi dari kelahiran tokoh, entah laki-laki maupun perempuan. Adalah Rahmah el-Yunusiyah, perempuan asal Padang Panjang, Sumatera Barat, yang tak menginginkan kaumnya tertinggal dari laki-laki, apalagi lantaran perempuan segan bertanya. Karenanya, ia dirikan sekolah perempuan, Diniyah Putri, yang membuat orang terkagum dan mengantarkannya beroleh gelar syaikhah dari Universitas Al-Azhar, Kairo, salah satu universitas terbaik Islam Dunia.

Rahmah El-Yunusiyah

Rahmah, perempuan yang lahir pada tahun pertama abad 20, tepatnya Jumat pagi, 26 Oktober 1900 atau 1 Rajab 1318, di nagari Bukit Surungan, Padang Panjang. Ia putri bungsu dari lima bersaudara pasangan Syekh M Yunus bin Imanuddin—salah seorang ulama besar—dengan istrinya, Rafiah. Nenek moyangnya dari pihak ibu berasal dari nagari IV Angkat, Bukittinggi, Kabupaten Agam, yang turun ke Padang Panjang di Negeri Bukit Surungan sekitar abad 18.

Secara genetis Rahmah berasal dari suku Sikumbang dengan kepala suku bergelar Datuk Bagindo Maharajo. Ayahnya telah menjalankan ibadah haji, dan sebagaimana lainnya yang tidak lekas pulang ke kampung halaman, tapi menetap untuk belajar agama di Makkah selama 4 tahun.

Syekh M Yunus pernah menjadi qadli di Pandai Sikat Padang Panjang, sedangkan kakeknya, Imanuddin adalah seorang ahli Ilmu Falak dan pemimpin tarekat Naqsyabandiyah, yang masih berhubungan saudara dengan Haji Miskin, salah seorang Harimau Nan Salapan pada Perang Paderi. Tuanku Nan Pulang di Rao, seorang ulama Minangkabau yang hidup di masa Paderi juga masih memiliki tali keluarga dengan kakeknya.

Zainuddin Labay dan Diniyah School  

Keluarga Rahmah memang keluarga berlatarbelakang keagamaan kuat sekaligus termasuk golongan pembaru Islam Sumatera Barat, tempat agama diletakkan sebagai pasak hidup, yang amat mempengaruhi hidup Rahmah juga saudara-saudaranya. Zainuddin Labay el-Yunusi, pendiri sekolah Diniyah Padang Panjang, adalah abang Rahmah berselang 10 tahun, karena ia lahir pada 1890.

Abang Rahmah adalah seorang auto-didact, yang menjadi “orang“ dengan tenaga sendiri. Ia tidak pernah menempuh pendidikan yang sistematis, cukup hanya belajar dua tahun di sekolah negeri dan belajar agama dengan ayahnya selama dua tahun pula. Pengetahun banyak diperolehnya justru dari membaca yang diimbangi dengan kemampuan berbahasa asing (Arab, Inggris, Belanda) yang baik.

Tak jauh beda dengan kakaknya, Rahmah hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar selama 3 tahun di Padang Panjang. Kepada dua kakaknya: Zainuddin Labai dan Mohammad Rasyid, Rahmah belajar baca tulis Arab dan Latin. Selebihnya, ia memilih belajar sendiri dan berguru (pada sore hari) dengan Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah), orang yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau (1925), di suaru Jembatan Besi, tempat dahulu kakaknya sempat membantu mengajar.

Pendidikan Rahmah El-Yunusiyah

Bersama Rahmah, tiga perempuan lain ikut belajar, Rasuna Said, Nanisah, dan Jawana Basyir. Karena Haji Rasul pulang ke kampung halaman, di Maninjau, setelah gempa meruntuhkan surau Jembatan Besi (28 Juni 1926), Rahmah melanjutkan belajar agama pada Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (yang dijuluki Engku Mudo (asisten guru besar) oleh Haji Rasul, dan pernah menjadi kepala Madrasah Sumatra Thawalib menggantikan Haji Rasul), Syekh Abdul Latif Rasyidi (pemimpin Nomaal School), Syekh Mohammad Jamil Jambek (pendiri surau Inyik Jambek), dan Syekh Daud Rasyidi.

Selain itu, Rahmah bersekolah di perguruan Diniyah School, Padang Panjang, pimpinan kakaknya, Zainuddin Labay. Kakaknya mendirikan Diniyah School pada 1915, setelah membantu mengajar pada beberapa tempat, antaranya, selama enam tahun ia membantu Syaikh Haji Abbas, seorang ulama tradisional di Padang Jepang, Payakumbuh, dalam bidang kegiatan praktis, dan mengajar di surau Jembatan Besi (embrio lembaga pendidikan berpengaruh, Sekolah Thawalib), pada 1913.

Sekolah diniyah yang akan didirikannya, sebagian adalah perkembangan dari surau Jembatan Besi. Abang Rahmah memilih berbeda dengan pembaru lain yang lebih tertarik berkiblat pada Abduh atau Rasyid Ridha, dengan cenderung menyukai kegiatan kaum nasionalis, seperti Mustafa Kamil Pasha di Mesir.

Saat mendirikan sekolahnya, Labai menawarkan sesuatu yang tergolong baru pada zamannya, dengan mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur dan tidak hanya mencakup ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum, seperti, bahasa, matematika, sejarah, dan ilmu bumi. Labai juga menerapkan sistem ko-edukasi (laki-laki dan perempuan belajar bersama dalam satu kelas) sebagaimana berlaku di sekolah pemerintah, meski masih menjadi perdebatan di masyakat.

Baca Juga  Gus Yahya dan Pak Haedar, Dua Kepak Sayap Moderasi Islam di Dunia Global

Labai bahkan mengorganisir klub musik untuk muridnya, padahal musik masih kurang diterima oleh golongan tradisi agama. Di sekolah inilah Rahmah mengail ilmu, sekolah yang menginspirasi munculnya 15 sekolah lainnya dengan nama yang sama di daerah Minangkabau, meski tidak memiliki pertalian kecuali jiwa dan semangat. Pantaslah, Rahmah terkagum pada Labai, kakak sekaligus gurunya, serta sekolah yang dikelola abangnya kisaran waktu 9 tahun.

Selama belajar di Diniyah School, Rahmah merasa tidak puas dengan mekanisme pendidikan sekolahnya dalam menyantuni kebutuhan murid perempuan. Murid perempuan kurang mendapat penjelasan ajaran agama yang mendalam tentang persoalan perempuan. Dalam pandangan Rahmah, memang terdapat masalah-masalah yang hanya berlaku khusus bagi kaum perempuan dan hanya bisa diberikan oleh perempuan saja. Guru laki-laki tidak menjelaskan secara gamblang dalam membahas persoalan tersebut, sedangkan murid perempuan malu bertanya hal ihwal perkara perempuan yang rumit dan kompleks. Padahal, perempuan memiliki peran signifikan dalam kehidupan terutama dalam pendidikan anak.

Terkait hal ini, Rahmah menganalogikan bahwa rumah tangga adalah tiang masyarakat, dan masyarakat adalah tiang negara. Maka tiada alasan untuk menyangkal perlunya peningkatan kualitas dan kedudukan perempuan. Sebagaimana tokoh perempuan lain pada awal abad 20, Rahmah melihat bahwa pendidikan adalah jawaban, dan sebaiknya pendidikan khusus perempuan yang diampu oleh perempuan. Apalagi beberapa masyarakat masih belum bisa menerima kebersamaan laki-laki dan perempuan, belajar dalam satu ruang kelas.

Mendirikan Diniyah School Putri

Rahmah berniat mengakhiri ketertinggalan kaumnya, dan menginsyafkan perempuan dari kepasrahan dengan berinisiatif mendirikan sekolah khusus untuk perempuan dengan nama al-Madrasah al-Diniyah li al-Banat, pada 1 November 1923. Untuk menarik minat masyarakat, sekolah ini juga disebut Diniyah School Putri, dan pada masa penjajahan Jepang dikenal sebagai Sekolah Diniyah Putri, sedangkan kini akrab dengan nama Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang.

Sebelum mendirikan sekolahnya, Rahmah terlebih dahulu menyampaikan maksudnya pada Labai, kakaknya. Labai tahu sulitnya melawan arus, sehingga ia tanyakan, “apakah amah benar-benar siap dan sanggup mendirikan sekolah putri yang amah cita-citakan? Apakah engkau tidak takut menghadapi tantangan kaum perempuan dan ninik mamak yang ingin berpegang teguh pada adat di nagari ini?”

Dengan tegas Rahmah menjawabnya, “Insya Allah amah siap dan sanggup… Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut…“ Rahmah meyakini, “Jika kakanda bisa, kenapa saya, adiknya tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak.”

Pendirian sekolah ini dibantu oleh Persatuan Murid-murid Diniyah School, yang didirikan atas anjuran kakaknya pada 1922. PDMS, sebuah perkumpulan untuk melatih murid-murid berorganisasi. Melalui perkumpulan ini pula, murid-murid dapat menyalurkan kegiatan ekstrakurikuler, baik musik maupun kerajinan tangan.

Madrasah Diniyah dipimpin oleh Rahmah sendiri yang akrab dipanggil Kak Amah. Bertempat di masjid Pasar Usang, dimulai kegiatan belajar selama 3 jam dengan murid angkatan pertama yang terdiri dari ibu muda, berjumlah 71 orang. Pada permulaan, menggunakan sistem  halaqah, hanya mempelajari ilmu agama dan gramatika bahasa Arab.

Pembaruan Pendidikan Diniyah Putri

Setelah Labai wafat, 10 Juli 1924, Rahmah semakin mewarisi semangat pembaruan Labai. Melalui rapat pengurus sekolah, disepakati untuk mengembangkan sistem pengajaran, memberikan pengajaran secara klasikal, mengusahakan sarana pengajaran seperti, meja, bangku, papan tulis, dan sebagainya.

Secara perlahan, Rahmah membenahi kurikulum, dan lima tahun kemudian (1928) mulai menerapkan sistem pendidikan modern yang mengintegrasikan pengajaran ilmu agama dan umum secara klasikal— meski ilmu agama tetap menjadi materi pokok—di samping kegiatan ekstrakurikuler seperti, bertenun,  menganyam, renang, dan bermusik. Kurikulum ini semakin berkembang rentang tahun 1931-1938, sehingga bisa didapati materi bahasa Indonesia, menulis Latin, berhitung, kesehatan, ilmu bumi, menggambar, ilmu tumbuhan, ilmu binatang, kerja tangna, bahasa Inggris, hitung dagang, tata buku, ilmu tubuh manusia, ilmu alam, dan bahasa Belanda.

Rahmah serius menggarap pengembangan sekolahnya, sehingga ia melakukan studi banding ke sekolah di Sumatera dan Jawa (1931). Rahmah juga menambah program pendidikan lain seperti Menjesal School (1926) untuk pemberantasan buta aksara dengan sistem kelas, yang diikuti 125 siswa perempuan dewasa, menyelenggarakan kelas tambahan tingkat menengah disamping madrasah berkelas tujuh (1930), dan mendirikan Taman Kanak-Kanak, Frobel School, pada 1934.

Baca Juga  Ahmad Ath Thayyeb, Grand Syekh Al Azhar Pembela Islam Wasathiyah

Diniyah School mulai melebarkan sayap dengan membuka cabang di Kwitang, dan Tanah Abang (1935). Usaha ini memperoleh jalan setelah Rahmah mengikuti Kongres Perempuan Indonesia ketiga, mewakili Kaum Ibu Sumatera Barat (1935). Di sela-sela kegiatan itu, ia melontarkan ide membuka cabang Diniyah School yang segera mendapat sambutan berupa bantuan dari pedagang yang berasal dari Minangkabau dan para alumni lembaga pendidikan agama Padang Panjang. Sedangkan tenaga pengajar Cabang Diniyah School diampu oleh lulusan Diniyah School Padang Panjang. Pada 1950, bertambah lagi dua sekolah cabang yang bertempat di Jatinegara dan Rawasari.

Semakin besar dan dikenallah Diniyah School, sampai-sampai mulai mendapat permintaan guru bagi sekolah di Riau, Jambi, Tapanuli, Singapura, dan Malaysia. Untuk kepentingan meningkatkan kualitas lulusan terutama memenuhi kebutuhan tenaga pengajar, maka Rahmah mengusulkan perlunya sekolah lanjutan berupa sekolah guru. Pada 1 Februari 1937, didirikanlah Kulliyatul Mu’allimat al-Islamiyah (putri), dengan masa belajar tiga tahun. Selang 1 tahun, berdiri pula Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah, untuk Diniyah School Putra.

Guna menunjang pengembangan madrasahnya yang pada tahun pertama bertempat di Masjid Pasar Usang, Rahmah mencari tempat yang sesuai untuk kegiatan belajar, berupa rumah batu bertingkat dua dekat masjid Pasar Usang (1924). Lantai atas digunakan untuk asrama yang ditinggali sekitar 60 murid (1925), sedangkan lantai bawah untuk kelas. Pada tahun itu pula, ia berencana membangun gedung yang dapat menampung seluruh murid.

Sayangnya, terjadi gempa bumi yang menghancurkan sekolah dan asrama. Empat puluh hari setelah gempa, Rahmah membangun asrama dan kelas di atas tumpak tanah yang diwakafkan dari ibunya, Ummi Rafiah. Untuk menyempurnakan pembangunan gedung sekolah yang masih terbuat dari bambu dan berlantai tanah, selama tiga bulan Rahmah berkeliling menggalang dana beserta pamannya yang berdagang ke Sumatera Utara dan Aceh melalui Semenanjung Melayu, pada 29 Agustus 1927. Dalam perjalanannya, ia melakukan promosi tentang sekolahnya, yang membuat murid Diniyah School bertambah dan berasal dari pelbagai daerah. Selain itu, Rahmah juga sempat mengajar agama putra-putri sultan.

Peran Agus Salim

Pembangunan gedung dimulai Desember 1927, untuk menutupi kekurangan biaya dipinjamlah uang kepada Engku H Abdul Gani yang ternyata bermasalah di kemudian hari sehingga mesti berurusan dengan pengadilan. Persoalan bermula saat Abdul Gani mengajukan pihak sekolah ke pengadilan karena dianggap tidak cukup membayar uang pinjaman, padahal sekolah terus membayar cicilan setiap bulan sesuai perjanjian.

Sayang sekali sidang berlangsung singkat dan rahmah tak diberi kesempatan menjelaskan, sehingga Diniyah School mesti melunasi sisa pinjaman 1.300 gulden hanya dalam tempo tiga hari. Bila tidak ditunaikan, maka gedung sekolah akan di beslaag.

Untuk menyelesaikan sengketa ini, dibentuklah Komite Penolong Diniyah School Putri yang disusul munculnya komite lain seperti Komite Penolong Usaha Rahmah Minangkabau yang dipimpin Agus Salim dan tokoh Minangkabau lainnya di Batavia. Alhasil, gedung sekolah bisa dibebaskan, bahkan terdapat sisa uang untuk melanjutkan bangunan Sekolah Tenun Diniyah School Putri (1936).

Agresifitas pemerintah dalam menyikapi sengketa ini terpaut dengan memanasnya situasi politik akibat diberlakukan Ordonansi Sekolah Liar, pada 1932. Sedangkan Rahmah adalah orang yang getol menolak peraturan tersebut bahkan menjadi Panitia Penolak Ordonansi Sekolah Liar di Padang Panjang dan Panitia Penolak Ordonansi Kawin Tercatat di Bukittinggi (1933).

Independensi Pendidikan Perempuan

Perihal sekolah, Rahmah memegang prinsip agar sekolah berdiri independen, bebas berafiliasi denagn organisasi politik maupun organisasi masyarakat manapun. Ini dibuktikannya saat Rasuna Said, mengajarkan politik di sekolahnya (1930) dan dianggap menempatkan Diniyah School di bawah partai politik tertentu yang bisa membahayakan sekolah.

Karena kukuhnya prinsip Rahmah, sampai-sampai ia bersitegang dengan Rasuna, sahabatnya sendiri, dengan menentang kegiatan tersebut. Kedua sahabat ini berbeda pandangan, Rasuna berpendapat bahwa murid-murid perlu berpolitik dan ambil bagian di dalamnya. Sedangkan bagi Rahmah, politik untuk murid adalah kecintaan pada tanah air berlandas iman yang kokoh, karena tanpa iman politik sekadar jadi bumerang.

Baca Juga  Djarnawi Hadikusuma: Sang Otodidak Multi Talenta

Akibat konflik yang terus memanas, Rahmah merasa perlu duduk bersama Rasuna, tetapi tidak mendapat penyelesaian. Akibatnya dibentuklah tim perantara yang dipimpin Inyik Basa Bandaro, dan akhir dari perselisihan berujung hengkangnya Rasuna mengajar ke Padang.

Keteguhan prinsip independensi Diniyah School kembali teruji saat Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) meletakkan semua sekolah golongan pembaru di Minangkabau berada di bawah naungan Permi, sesuai keputusan konferensi Guru-guru Islam di Padang Panjang (1931). Diniyah School tidak menyepakati keputusan tersebut bahkan menolak supervisi Permi. Rahmah melihat, bahwa supervisi justru menghambat kemajuan sekolah karena ketergantungan pada maju mundur organisasi ini.

“Biarlah perguruan ini terasing selamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungna orang banyak. Sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya,” tegas Rahmah.

Terhadap kehendak politik kawan satu bangsa saja, Rahmah berani mengambil sikap netral, apalagi pada pemerintah kolonial. Diniyah School menunjukkan independensinya dengan selalu menolak tawaran subsidi pendidikan dari pemerintah. Rahmah khawatir pemberian subsidi bakal mengikat dan memberi kesempatan pada pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan sekolah, sebagaimana dialami Sekolah Adabiyah yang mau menerima subsidi dari pemerintah pada 1915.

Nasionalisme Rahmah El-Yunusiyah

Rasa kebangsaan Rahmah tidak perlu diragukan, ia termasuk salah seorang yang berpendapat perlunya memanfaatkan pemerintah Jepang untuk memperoleh kemerdekaan. Ia terlibat dalam Gyu Gun Ko En Kai (Laskar Rakyat), dan menjabat ketua Haha no Kai di Padang Panjang (organisasi perempuan masa pemerintahan Jepang). Semua Rahmah lakukan guna menanam kekuatan dengan orientasi Indonesia merdeka.

Tapi saat pemerintah Jepang bermaksud menjadikan perempuan Minang sebagai perempuan penghibur tentara Jepang “di Rumah Kuning”, Rahmah bersama Perkumpulan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang dibentuk Kaum Ibu Sumatera Tengah, beramai-ramai menentangnya. Hasilnya, tentara Jepang mendatangkan perempuan penghibur dari Korea dan Singapura. Konon, Rahmah adalah salah seorang yang mengibarkan bendera merah putih pertama kali di Sumatera Barat (di halaman depan Perguruan Diniyah Putri), setelah ia mendapat kabar tentang Proklamasi Kemerdekaan, dari Engku Sjafe’i (ketua Chuo Sangi In).

Pasca kemerdekaan Rahmah mempelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia juga melindungi Laskar Sabilillah dan Hizbulwathan, yang dibentuk organisasi Islam, sehingga pemuda pejuang menamakannya “bundo kanduang” barisan perjuangan. Rahmah juga memimpin dapur umum hingga menyingkir ke Singgalang ketika Belanda masuk Padang Panjang (1948). Ia bahkan ikut ditangkap saat bergerilya di sekitar gunung Singgalang (17 Januari 1949), dan dikenai tahanan rumah lalu berubah menjadi tahanan kota hingga Oktober 1949.

Dan saat Indonesia sungguh-sungguh merdeka, Rahmah menjadi anggota Dewan Partai Masyumi, di Jakarta (1952-1954). Ia pernah juga menjadi anggota DPR RI dari partai Masyumi untuk daerah pemilihan Sumatera Tengah, yang berlangsung hingga 1958, karena Rahmah menentang sikap politik pemerintah Soekarno masa itu.

Gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azhar

Tak ada yang tak mengakui totalitas Rahmah bergiat mengelola pendidikan perempuan, sekolahnya tak sedikit melahirkan tokoh perempuan, sampai-sampai Syaikh Abdurrahman Taj, Rektor Universitas Al-Azhar mengadakan kunjungan ke Diniyah Putri (1955). Kemudian hari berdirilah Kulliyat al-Banat, pendidikan khusus perempuan milik Universitas Al-Azhar yang sedikit banyak terinspirasi dari Perguruan Diniyah Putri, Padang Panjang.

Setelah beribadah haji, Rahmah melakukan kunjungan balasan, dan ia mendapat anugerah gelar Syaikhah oleh Universitas Al-Azhar yang sangat jarang diperoleh perempuan. Sebuah penghargaan puncak yang bermula dari maksud sederhana Rahmah.

“Diniyah School Putri ini akan selalu mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuan kepada perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya daripada kaum lelaki lantaran kebanyakan perempuan segan bertanya kepadanya. Inilah yang menyebabkan terjauhnya perempuan Islam daripada penerangan agamanya sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan,” papar Rahmah dalam sambutannya.

Editor: Arif

Avatar
2 posts

About author
Anggota LPPA, Wakil Pemimpin Redaksi Suara Aisyiyah
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds