IBTimes.ID – Di dalam gerakan ekstrimis Islam, perempuan tidak dilihat sebagai supporter namun sebagai aktor. Misalnya, ada kasus bom bunuh diri di Bekasi yang dilakukan oleh Dian Yulia Novi. Sekitar 30-40% kombatan terdiri dari perempuan. Pada tahun 2017, ada 420 returnees dari Suriah, 70% di antaranya adalah perempuan dan anak. Dan paling tidak 45 pekerja perempuan terlibat kegiatan ISIS. Hal ini disampaikan oleh Alimatul Qibtiyah dalam kegiatan International Conference on ‘Aisyiyah Studies 2020 pada Sabtu (24/10). Di antara 671 warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS, 147nya adalah perempuan.
Alim, panggilan akrab Alimatul Qibtiyah, menjelaskan ada 3 alasan keterlibatan perempuan dalam kasus ekstremisme kekerasan. Pertama, menurunnya jumlah kombatan laki-laki. Kedua, adanya persepsi secara tradisional yang mempersepsikan bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif. Sehingga seolah-olah perempuan tidak mungkin melakukan kekerasan. Maka, menjadi suatu strategi yang efektif jika sebuah kelompok melibatkan perempuan dalam melakukan kegiatan ekstremisme kekerasan.
Ketiga, pekerja migran perempuan biasanya menghadapi persoalan psikologi dan fisik yang sangat berat. Untuk menyalurkan kegalauannya, mereka butuh pelarian. Kelompok ekstrim menjanjikan kenyamanan bagi pekerja migran yang seperti ini.
“Clay Shirky mengatakan bahwa kekuatan sosial media mempengaruhi netizen dengan menekankan perasaan-perasaan lebih dari pemikiran. Lebih menekankan pada stereotip gender bahwa perempuan lebih emosional daripada rasional,” ujar Alimatul Qibtiyah.
Selain itu, teroris mengkampanyekan bahwa dunia Islam sedang ditekan, didiskriminasi, dan muslim lain perlu saling menolong dalam melawan musuh-musuh teroris.
***
Menurut Alimatul Qibtiyah, peran perempuan dalam melawan ekstremisme kekerasan sangat signifikan. Ada korelasi yang sangat positif antara kesetaraan gender dengan pencegahan ekstrimisme kekerasan. Semakin tinggi nilai kesetaraan dalam masyarakat, maka semakin rendah angka ekstrimisme kekerasan.
Konter terhadap ekstremisme kekerasan paling efektif adalah dengan pendidikan, pemikiran kritis, dan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk melakukan pemberdayaan. 3 hal ini sangat penting untuk menjadi strategi di dalam melakukan upaya-upaya perdamaian.
Anggota Komnas Perempuan ini menyebut bahwa di Indonesia, paling tidak ada 23 organisasi yang berkontribusi terhadap upaya pencegahan ekstrimisme kekerasan. Salah satunya adalah ‘Aisyiyah. ‘Aisyiyah adalah salah satu ormas perempuan terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh sangat besar dengan pengalamannya yang lebih dari 1 abad.
“Upaya pencegahan kekerasan oleh ‘Aisyiyah salah satunya adalah melalui Madrasah Perempuan Berkemajuan (MPB). Madrasah Perempuan Berkemajuan menawarkan pemikiran-pemikiran yang progresif. Misalnya materi-materi seperti no takfiri, darul ‘ahdi was syahadah, 15 karakteristik perempuan berkemajuan, isu gender dalam Islam, feminisme, dan keluarga sakinah,” imbuhnya.
Ada beberapa peserta MPB yang menyampaikan bahwa ia merasa tercerahkan. Karena selama ini yang ia ketahui selama ini hanya khilafah. Ada juga yang mengatakan bahwa sebelum mengikuti ‘Aisyiyah, ia mengganggap bahwa ‘Aisyiyah sangat kolot. Namun setelah mengikuti MPB baru mengetahui bahwa ‘Aisyiyah adalah organisasi yang progresif.
Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes.ID dan INFID dalam program Kampanye Narasi Islam Moderat kepada Generasi Milenial.