Perspektif

Melawan Neo-Khawarij dengan Literasi

3 Mins read

Di era disrupsi sekarang ini, budaya literasi sebagai spirit intelektual seakan-akan hilang tergerus oleh berbagai aplikasi informatif yang justru membuat kita terlena.

Aplikasi tersebut seolah-olah mengendalikan kita ketika jari-jemari dengan lihai menari di atas layar gawai kita sembari merebahkan badan. Banyak, platform digital yang menyuguhkan berbagai informasi untuk kita serap yang kemudian menjadi pengetahuan akan suatu hal.

Pengetahuan dari berbagai aspek keilmuan dan berbagi informasi yang sifatnya lokal, nasional, dan transnasional dari genggaman kita. Juga, informasi yang sedang menjadi trending atau sedang hangat untuk dibicarakan yang dapat memicu berbagai pergolakan antar kelompok yang dipat kita lihat. Bahkan kita menjadi bagian dari kelompok tersebut untuk terlibat dalam trending tersebut. Maka, saling mengkritik, menghujat, dan menyalahkan di media sosial mengkristal menjadi “perang digital.”

Perbedaan pemahaman mengenai agama sah-sah saja terjadi khususnya di Indonesia mengingat semboyan negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika. Namun, perbedaan pemahaman tersebut menjadi ajang penjustifikasian keimanan seseorang maupun kelompok yang menjadi lawannya.

Saling mengkafirkan sesama umat Islam menjadi hal yang sangat ironis di masyarakat dan khususnya di jagat maya yang mana banyak sekali akun-akun media yang menjadi pemantik konflik keimanan yang dengan mudahnya mengkafirkan kelompok yang tidak sepaham dengannya. Kelompok semacam itu lazim kita sebut dengan kelompok fundamentalisme dan radikalisme Islam yang berakar dari Khawarij.

Sekilas Mengenai Khawarij

Berbicara soal kalam, tentunya kita berangkat dari peristiwa Perang Shiffin, yaitu perang saudara pertama antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawayyah bin Abu Sufyan. Setelah wafatnya Utsman bin Afan, rakyat Muawayyah menolak kepemimpinan Ali yang kemudian rakyat Muawayyah mengumandangkan perang kepada Ali dan pengikutnya.

Baca Juga  Kita Rindu Keteladanan dari Para Pemimpin

Awalnya, Ali mengadakan musyawarah kepada rakyat Muawayyah untuk mencegah pertumpahan darah sesama umat Islam, namun Muawayyah tetap membangkang.

Meletuslah perang di daerah bernama Shiffin di tepi sungai Efrat, Irak pada Mei-Juli 657 M. Ketika pasukan Ali hampir mencapai kemenangan, penasihat Muawayyah bernama Amr bin Ash memerintahkan pasukan Muawayyah untuk menancapkan Al-Quran ke tombak sebagai tanda gencatan senjata atas nama Al-Quran.

Ali memahami hal tersebut sebagai tipu daya dan Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak bertempur lagi, namun sebagian kelompok pasukan Ali menolak yang kemudian kelompok ini dikenal sebagai Khawarij.

Setelah perang berhenti, diadakanlah perundingan antara Ali dan Muawayyah yang pada akhirnya kekhalifahan umat Islam jatuh kepada Muawayyah. Melihat hal ini, ada tiga orang Khawarij, yaitu Abdurrahman bin Muljam, al-Burak bin Abdillah, dan Amr bin Bukair.

Mereka berkumpul di Mekkah untuk merencanakan pembunuhan kepada Ali bin Abi Thalib, Muawayyah bin Abu Sufyan, dan Amr bin Ash. Mereka sepakat bahwa Abdurrahman bin Muljam bertugas membunuh Ali bin Abi Thalib, al-Burak bin Abdillah membunuh Muawayyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Bukair membunuh Amr bin Ash. Namun, hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam.

Malam jumat, 17 Ramadhan adalah waktu yang direncanakan Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Sayyidina Ali. Ketika Ali berjalan keluar dari rumah untuk menunaikan shalat subuh, Abdurrahman bin Muljam menebaskan pedangnya kepada Ali yang tepat mengenai keningnya.

Memang peristiwa ini, Nabi Muahammad SAW telah berkata kepada Ali tentang kematiannya.  Nabi Muahammad SAW bersabda: “Orang yang paling binasa dari umat terdahulu adalah penyembelih unta (kaum Nabi Shalih). Dan, manusia yang paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu wahai Ali.” Seraya Nabi Muahammad SAW menunjuk kening Ali (Nunu Burhanuddin, 2016: 30-31).

Baca Juga  Pilpres 2019 dan Pertarungan Kaum Muda Milenial

Doktrin Khawarij dan Urgensi Literasi

Doktrin dari Khawarij, yaitu pertama khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Kedua, khalifah Ali adalah sah, namun setelah terjadinya tahkim, maka Ali dianggap menyeleweng. Ketiga, seorang yang berdosa besar adalah kafir, maka harus dibunuh. Keempat, seorang harus menghindar dari pemimpin yang menyeleweng. Kelima adanya wa’ad dan wa’id, yaitu orang baik harus masuk surga, sedangkan orang jahat harus masuk neraka (Abdul Rozak & Rosihan Anwar, 2016: 65-66).

Sekarang ini, lima persoalan diatas menjadi semakin kompleks. Hal ini berkenaan dengan munculnya kelompok-kelompok radikal ala Khawarij yang pada akhirnya lahirlah istilah Neo-Khawarij (Khawarij Model Baru).

Ciri-ciri dari Neo-Khawarij yang paling identik adalah mudah mengkafirkan sesama umat Islam yang tidak sepaham. Dan juga menganggap sesat ulama dan pemerintahan yang tidak sepaham dengan kelompok mereka.

Hal ini terjadi di media sosial yang memicu perselisihan sengit antar dua kelompok yang harusnya dapat kita bendung dengan mencari literatur yang terpercaya dan memperbanyak membaca dari berbagai referensi sebagai perbandingan agar kita menjadi inklusif.

Membendung Neo-Khawarij dengan Literasi

Kelompok-kelompok Neo-Khawarij ini sangat membahayakan negara-negara Islam bekembang. Sejalan dengan hal itu, menurut Fazlur Rahman, intelektual Islam modern asal Pakistan, kemunculan kelompok fundamentalisme Islam di negera-negara Muslim berkembang di seluruh dunia termasuk Indonesia yang berarkar dari Khawarij, tidak memberikan alternatif atau tawaran yang baik tentang masa depan Islam.

Karena mereka mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yaitu mendorong kita kepada pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap khazanah ke-Islaman klasik yang kaya dengan pemikiran alternatif (Abdurrahman Wahid, 2011: xxxii).

Baca Juga  Pergi Haji Saat Usia Muda, Siapa Takut!?

Maka sedari itu, semangat berliterasi perlu kita galakkan lagi ditengan era disrupsi yang mana berbagai informasi khususnya tentang khazanah keagamaan kita baca, namun perlu digarisbawahi bahwa tidak cukup kiranya membaca hanya satu referensi saja.

Butuh pemahaman secara obyektik mengenai persoalan agama agar kita dapat bersikap inklusif dan membendung doktri kaum Neo-Khawarij di masyarakat dan di media sosial menuju moderasi beragama di era disrupsi yang harus kita sikapi dengan memperkuat literasi.

Editor: Yahya FR

Fahrul Anam
6 posts

About author
Mahasiswa Manajemen Zakat Wakaf, Fakultas Syariah IAIN Surakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds