Perspektif

Melihat Model Amar Ma’ruf Nahi Munkar Versi FPI

3 Mins read

Nama Front Pembela Islam itu sendiri memiliki arti disebut “Front” karena berorientasi pada kegiatan yang bersifat tindakan konkrit berupa aksi frontal yang dengan jelas menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga mereka merasa berada di garis terdepan dalam memerangi kebathilan pada segala sektor (termasuk politik).

Ketidakpuasan terhadap sikap aparat keamanan yang seharusnya bertugas memberantas kemaksiatan justru menjadi bagian dari proses kemaksiatan dengan menjadi backing. Kondisi ini menjadikan krisis kepercayaan terhadap aparatur negara, sehingga umat Islam dirasa perlu mengambil tindakan tegas membasmi kemungkaran.

Pembacaan Tekstual

Menurut Muhammad Rizieq Shihab, imam besar (baca: ketua umum) FPI, gerakan ini adalah suatu keharusan. Bahkan ini adalah kewajiban dunia Islam secara keseluruhan. Menurut Rizieq, sebagai negara muslim terbesar di dunia, gerakan nasional anti-kemaksiatan dicanangkan sebagai bukti bahwa kita tidak akan pernah menyerah pada kemungkaran.

FPI menggunakan hadis Nabi Saw untuk melegitimasi cara amar ma’ruf nahi munkar yakni yang berbunyi: “Barang siapa di antara kamu melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman”.

Penjelasan menurut FPI mengenai hadis di atas adalah lafal “barang siapa” (man) adalah lafal ‘am (umum) yang pengertiannya mencakup siapa saja; ulama, pejabat, maupun rakyat. Sehingga hadis tersebut menuntut semua pihak yang melihat kemungkaran harus merubahnya.

Lafal “di antara kamu” (minkum) membatasi bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” hanya terbatas pada orang Islam. Jadi, Muslim manapun yang melihat kemungkaran berkewajiban untuk merubahnya. Lafal “dengan tangannya” (biyadih) mengarah pada makna hakiki. Artinya merubah tangan pada makna sebenarnya, yaitu anggota tubuh dari ujung jari hingga batas ketiak.

Baca Juga  Tantangan Menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Makna hakiki ini diperkuat dengan pengertian man di atas, sehingga mencakup tangan ulama, pejabat, dan rakyat biasa. Ditambah lagi dengan lafal lisan dan qalb (hati), keduanya menunjukkan organ tubuh, sehingga menguatkan lafal “tangan” sebagai organ tubuh.

Model pemahaman FPI tentang hadis amar ma’ruf nahi munkar bisa dikategorikan pemahaman tekstual karena hanya melihat apa yang tersurat tanpa menggunakan analisa asbab al-wurud, memperhatikan konteks kapan dan di mana hadis tersebut disabdakan atau dengan kata lain yang dikatakan lebih didahulukan atas yang dipahami. Bisa juga diambil keumuman lafal dan bukan kekhususan sebab.

Berbeda dengan pemahaman Gus Dur─mengatakan dalam buku Ilusi Negara Islam (2009)─ “merubahnya dengan tangannya” atau aksi secara fisik adalah hak pemerintah/aparat, bukan individual. Sedangkan dengan lisan (termasuk tulisan) adalah wilayah individu yang alim, para ulama, sarjana, atau yang memiliki pengetahuan mendalam. Sedangkan dengan hati adalah tanda ketidakmampuan atas kekuasaan maupun pengetahuan.

Menurut FPI, tidak masuk akal bila kekerasan secara mutlak divonis sebagai sesuatu yang tercela atau dilarang. Kekerasan yang menjadi keharusan demi melindungi kedamaian dan kebenaran. Bahkan ada dalil-dalil yang mengacu kepada dibolehkannya bersifat keras, seperti dalam QS. Al-Fath: 29, QS. At-Taubah: 73, dan at-Taubah: 123 yang tentu dimaknai secara tekstual.

Tidak heran kajian Islam yang simple, tekstual, dan hitam-putih masih digemari dan ramai jamaah. Sehingga adanya aksi konfrontatif yang mengatasnamakan dakwah Islam akan mendapat pembelaan seolah-olah itu jalan kebenaran.

Kematangan Beragama

Setiap Muslim pada hakikatnya memiliki kewajiban yang sama untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, strategi pemaksaan dan kekerasan FPI perlu ditelaah kembali sehingga kemaksiatan dapat terkikis tanpa adanya kekerasan. Strategi kekerasan justru menambah stigma negatif terhadap FPI sendiri.

Baca Juga  Perempuan Kunci Kehidupan

Jalan nahi munkar yang diambil FPI lebih mengarah kepada kesimpulan bahwa model beragama khususnya dalam konteks sosial, menunjukkan adanya ketidakdewasaan atau kurang matangnya beragama. Merasa bahwa pemahaman dan penghayatannya terhadap agama adalah yang paling benar.

Mengedepankan konflik dan konfrontasi terhadap yang lain sebagai dalih untuk membela agama. Sikap ini dapat ditimbulkan berasal dari asumsi bahwa yang berada di luar sulit untuk ditoleransi. Memaksa kepada yang lain untuk mengikuti gaya beragama seperti dirinya.

Erich Fromm membahas kematangan beragama dengan membandingkan keberagamaan yang otoriter dan keberagamaan yang humanis. Keagamaan otoriter adalah yang diperoleh dari orang lain (luar) dan bersifat tirani, sedangkan keagamaan yang humanis adalah yang muncul dari pendirian dan keyakinan terdalam, kerinduan akan nilai agama dalam dirinya yang bersifat humanis. Keberagamaan tipe kedua inilah yang dimaksud Fromm sebagai keagamaan yang matang. Tingkatan kematangan dalam beragama pada gilirannya akan membentuk inklusif dan pluralis.

Seorang ahli psikologi agama, Walter Houton Clark menyatakan ciri keberagamaan yang matang adalah; kritis, kreatif, dan otonom dalam beragama. Selanjutnya, ia akan memperluas perhatiannya terhadap hal-hal di luar dirinya.

Gustave le Bon juga menyatakan bahwa manusia seperti binatang yang memiliki kecenderungan untuk ikut-ikutan. Gustave le Bon tidak percaya bahwa para pelaku kekerasan itu bergabung karena pilihan yang rasional, namun lebih didominasi oleh emosi atau tindakan tidak sadar. Provokasi yang masif di media sosial sudah terbukti sebagai alat mendapat dukungan. Terlebih lagi longgarnya aturan dalam internal FPI membuat kaderisasi juga begitu longgar.

***

Berbeda dengan gerakan Islam yang terlebih dahulu eksis di Indonesia. Gerakan Islam seperti NU, Muhammadiyah dianggap mewakili gerakan Islam moderat. Gerakan Islam moderat adalah gerakan Islam yang menjunjung tinggi tasammuh, tawazun, tawasuth, menghargai perbedaan (toleran), menjunjung perdamaian, santun dan terbuka dalam berdakwah di masyarakat.

Baca Juga  Nilai-Nilai Kesehatan Mental dalam Ibadah Kurban

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
8 posts

About author
Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Malang, Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds