Akhlak

Memaafkan Tak Berhenti pada Momen Lebaran

3 Mins read

Momentum hari raya biasa dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia, terkhusus umat Islam. Tujuannya adalah untuk menjalin silaturrahmi sekaligus menjadi momen untuk saling minta maaf dan memaafkan bersama orang-orang terdekat di sekitarnya.

Meskipun di tengah kondisi pandemi yang masih berlangsung ini, tidak sedikit masyarakat yang tetap menjalin silaturrahmi atau sekadar meminta maaf melalui ucapan “Mohon maaf lahir dan batin”. Hal ini sering dilakukan, baik secara tatap muka langsung maupun via sosial media.

Konflik Intrapersonal dan Interpersonal

Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri. Maka, selain menjalani hari-hari dengan melaksanakan tugas sebagai individu, manusia juga tak bisa lepas dari berinteraksi dan membutuhkan orang lain.

Dalam hubungannya dengan sesama, tentu tak jarang seseorang akan mengalami konflik. Konflik yang terjadi dalam diri individu itu sendiri bisa disebut dengan konflik intrapersonal. Sebagaimana konflik interpersonal yang cenderung berpengaruh pada kesahatan psikis individu, maka konflik interpersonal pun tak kalah besar pengaruhnya terhadap kesehatan mental manusia.

Bukan hal yang mengejutkan jika manusia berbuat suatu kesalahan, karena sejatinya manusia tidak luput dari kesalahan dan lupa.

Konflik interpersonal pun dapat bermula dari kesalahan individu yang tidak disengaja, hingga menimbulkan rasa kecewa, marah, dendam, sakit hati, dan perasaan negatif lainnya. Dalam mengatasi konflik ini, tak jarang meminta maaf dan memaafkan menjadi alternatif yang sudah biasa dilakukan.

Kerusakan Sistem Emosi, Dampak Kegagalan Pemaafan

Kata maaf sudah tidak asing lagi kita dengar dan ucapkan. Namun, terkadang kita lupa bagaimana memaknai dan seperti apa seharusnya kita memaafkan orang lain. Bukan hanya sekadar maaf dalam perkataan, tetapi juga bagaimana kita dapat menghilangkan seluruh perasaan dan persepsi negatif terhadap orang lain.

Baca Juga  Akui Sajalah, Kita Memang Kurang Mengenal Rasulullah SAW

Bahkan, beberapa orang justru masih sangat sulit untuk memaafkan atau melupakan kesalahan orang lain yang telah dilakukan terhadapnya. Bagaimana ini bisa terjadi? Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan?

Beberapa pekan yang lalu, saya mengikuti seminar daring dengan seorang psikolog klinis, yaitu Bu Pihasniwati. Tema seminar tersebut adalah pemaafan. Beliau menyebutkan bahwa memaafkan akan berdampak pada kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan hubungan interpersonal/sosial.

Sikap tidak memberi maaf, akan dihadapkan pada 2 pilihan, yakni:

Pertama, mempertahankan kemarahan secara diam-diam, akan membuat individu menderita, hingga ia mampu membalas pelaku dengan tindakan tertentu.

Kedua, mengubah diri dengan memaafkan dan mengakhiri semua perasaan marah, benci, dan keinginan membalas serta menggantinya dengan emosi positif.

Teringat salah seorang tokoh, yaitu David A. Seamand yang menulis dalam bukunya berjudul “Healing for Damage Emotion”, menyebut dua sumber rusaknya emosi, yakni kegagalan memafkan orang lain (fail to forgive) dan kegagalan menerima permintaan maaf dari orang lain (fail to receive forgiveness). Kegagalan kita di dua hal itu menyebabkan kebencian dan kedendaman yang terus berlanjut, sehingga merusak sistem emosi.

Bayangkan jika sistem emosi kita rusak, betapa banyak keberuntungan yang akan terhambat, betapa banyak keputusan kita di masa mendatang yang akan tercemar, dan banyaknya situasi kondisi yang akan semakin semrawut, karena emosi kita yang tidak stabil.

Tahap Pemaafan

Ahli psikologi pemaafan, Enright (2002), ia membagi empat tahap pemaafan, yaitu:

Pertama, Uncovering Phase, yaitu suatu tahap di mana seseorang merasa sakit hati dan dendam.

Kedua, Decision Phase, suatu tahap di mana seseorang mulai memikirkan kemungkinan untuk memaafkan. Pemahaman akan ajaran agama, ajaran moral, serta umpan balik dari orang lain akan banyak membantu seseorang untuk memikirkan kemungkinan memaafkan.

Baca Juga  Kewajiban Menjaga Lisan dalam Islam

Ketiga, Work Phase, yaitu suatu tahap di mana secara rasional seseorang menyadari penting untuk dimaafkan.

Keempat, terakhir, Deepening Phase, yaitu suatu tahap di mana terdapat internalisasi kebermaknaan dari memaafkan.

Setelah melewati fase keempat itu, individu dapat benar-benar memaafkan orang lain yang menjadikannya bebas dari marah, benci, sakit hati, dendam, dan sejenisnya. Intinya adalah pemaafan yang diberikan oleh seseorang membutuhkan suatu proses, dari sakit hati hingga membebaskan diri dari belenggu peristiwa yang menyakitkan itu, dan berakhir pada tindakan kebaikan hati kepada pelaku.

Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Frederick Luskin yang menemukan bahwa orang yang memaafkan; hidupnya akan jauh lebih bahagia, tidak mudah marah dan tidak mudah tersinggung, dapat membina hubungan yang lebih baik dengan sesama, dan semakin jarang mengalami konflik dengan orang lain.

Oleh karenanya, kita harus senantiasa menjadi individu yang berani meminta maaf, memberi maaf, dan saling memaafkan, agar dapat memperoleh kualitas hidup yang baik.

Editor: Lely N

Avatar
7 posts

About author
Asisten Dosen Psikologi UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds