Falsafah

Memahami Ajaran Filsafat Jiwa Ibnu Sina

4 Mins read

Kita tahu, definisi yang umum tentang jiwa adalah “kesempurnaan yang pertama dalam tubuh organik”, baik ketika ia dibentuk tumbuh dan diberi makan (seperti dalam kasus jiwa hewani), atau ketika ia memahami hal-hal universal dan bertindak berdasarkan pertumbuhan yang mendalam (seperti kasus dalam jiwa insani). Jiwa sebagai prinsip kehidupan, merupakan sebuah pancaran (emanasi) dari akal kecerdasan aktif.

Filsafat Jiwa Ibnu Sina

Pembagian jiwa menurut Ibnu Sina sama dengan Al-Farabi. Ia membagi jiwa ke dalam tiga bagian. Pertama, Jiwa nabati (ruh nabati), ia mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak. Kedua, jiwa binatang (ruh hayawani) yang mempunyai daya gerak pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan daya menangkap dengan panca indra.

Misalnya pendengaran, penglihatan, perasa, peraba. Juga indra yang ada di otak. Misalnya menerima pesan indra, pengingat (memory) yang mengkode (menyimpan) arti-arti. Ketiga, Jiwa manusia (ruh Insani), mempunyai satu daya, yaitu berpikir yang disebut akal.

Rupanya, pada akal terbagi dua: Akal praktis (al-Aql al-Fa’al) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dari jiwa binatang. Akal teoritis (al-aql al-Nadhari) yang menangkap arti-arti murni yang tak ada dalam materi seperti Tuhan, ruh dan Malaikat.

Menariknya, akal ini memungkinkan manusia membentuk konsep-konsep universal, memahami berbagai macam makna dan saling hubungan antara berbagai hal, melibatkan diri dalam diskusi argumentatif dan memiliki pemikiran abstrak secara umum.

Tentu saja ini sebagai bahan komparasi dalam Piaget’s Cognitive-Stage Theory (teori tingkatan kognitif Jean Piaget) dikenal dengan istilah “Formal Operational Period”. Yaitu, periode manusia yang sudah mampu menggunakan akalnya untuk berpikir logis, sistematis dan berpikir abstrak (akal teoritis).

Sedangkan Akal praktis lebih memusatkan perhatian kepada alam materi, lalu akal teoritis kepada alam metafisik. Akal teoritis ini terdiri dari, akal potensial (al-aqlu al-hayulani), akal manusia dalam bentuknya yang belum diaktifkan. Akal aktual (al-aqlu bil-fi’li) akal aktif yang melalui pancaran yang diterimanya dari akal pendorong (al-aqlul-fa’al) diaktifkan menjadi pemikiran terhadap bentuk-bentuk, dan objek-objek universal maupun konsep tertinggi. Akal aktual lebih banyak menangkap arti-arti murni. Akal perolehan (al-aqlu al-mustafad), akal tetap atau disebut juga al-aqlu bil-malakah, yaitu akal yang memiliki pemahaman terhadap bentuk universal, akal tertinggi dan telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.

Baca Juga  Eksistensi Tuhan: Argumentasi Ontologis dan Kosmologis

Dan yang paling puncak adalah Akal tingkat keempat. Inilah akal yang tertinggi dan dimiliki filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui akal ke-10 ke bumi. Karakter dan sifat seseorang banyak tergantung kepada yang berpengaruh pada dirinya.

Artinya, jika jiwa nabati dan hewani yang berpengaruh terhadap dirinya, maka ia menyerupai binatang. Tetapi, jika jiwa insani yang berpengaruh terhadap dirinya, ia menyerupai malaikat. Oleh karena itu, dalam dunia ini (alam tubuh spiritual), manusia bisa menjadi malaikat, syaitan, binatang-binatang yang makan sesama binatang.

Syahdan, pada prinsipnya, disebutkan bahwa jika pengetahuan dan rasa hormat lebih mendominasinya, ia akan menjadi malaikat. Jika kemunafikan, kelicikan dan kebodohan yang berlipat ganda (ia sendiri tidak sadar akan kebodohan yang sebenarnya) lebih mendominasinya, maka ia akan menjadi syaitan.

Sebaliknya, jika ia dikuasai oleh efek-efek nafsu indrawiyah, ia akan menjadi binatang. Dan jika ia ditaklukan oleh efek-efek amarah dan keagresifan, ia akan menjadi binatang yang memakan binatang yang lain. Sebab, anjing menjadi anjing karena bentuk kebinatangannya bukan karena materi tubuhnya. Di antara beragam binatang banyak yang termasuk dalam sifat karakteristik jiwa yang ganas, seperti singa, serigala, dan lain-lain.

Jika Jiwa Mendominasi

Dari sini kita tahu bahwa, kebiasaan dan keadaan karakter yang bisa mendominasi jiwa manusia, ia akan bangkit dengan sesuatu bentuk tertentu. Manusia akan menjadi bermacam-macam spesies di hari akhir.

Sebagaimana dalam al-Qur’an dinyatakan: “Di hari itu mereka (manusia) menjadi bergolong-golongan.” (QS. [30]: 14). Mengenai metamorfosa yang telah diuraikan, al-Qur‘an menyebutkan: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu.” (QS. [6]: 38).

Dan ayat lain: “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. [24]: 24). Dan juga firman-Nya: “Hai golongan jin (syetan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia.” (QS. [6]: 128).

Imam ash-Shadiq berpendapat: “Manusia akan dibangkitkan sesuai dengan bentuk-bentuk amalnya.” Atau “sesuai dengan bentuk-bentuk niatnya.” Versi lain berkata: “Beberapa manusia akan dihidupkan kembali sesuai dengan perilaku mereka, seperti laba-laba pengisap darah manusia.” Inilah bagaimana seseorang bisa menafsirkan kata-kata Plato, Pythagoras dan orang-orang zaman dulu yang bahasanya memberi gambaran simbolis dan mempunyai hikmah yang diambil dari miskat kenabian para Nabi.

Baca Juga  Tasawuf: Cara Mencegah Krisis dalam Diri Manusia Modern

Tak hanya itu, Mulla Shadra, di mana dinyatakan dalam buku the Philosophy of Plato, karya Al-Farabi: bahwa kebangkitan manusia dalam bentuk malakuti atau yang lebih rendah dari hewani, diambil sebagai pernyataan alegori bagi keadaan sifat yang berbeda-beda dari jiwa-jiwa individu.

Gerbang Menuju Tuhan

Di dalam jiwa merupakan gerbang terbesar kepada Tuhan, yang dengan melewatinya seseorang dapat dibawa ke kerajaan tertinggi. Namun, jiwa juga mempunyai suatu bagian tertentu dari seluruh gerbang-gerbang neraka. Jiwa merupakan pembagi yang berada diantara dunia ini dan dunia lain.

Kenapa demikian? Karena ia merupakan bentuk dari tiap potensi dalam dunia ini dan materi dari setiap bentuk dunia lain. Maka, jiwa merupakan pertemuan antara dua lautan. Yakni lautan jasmaniah dan ruhaniyah. Kenyataan bahwa ia adalah akhir dari realitas jasmaniyah merupakan tanda kenyataan bahwa ia adalah awal dari realitas ruhaniyah.

Intinya adalah, prinsip dari seluruh daya (kekuatan-kekuatan) tubuh, yakni seluruh bentuk-bentuk kebinatangan, ketumbuhan dalam aktivitas jiwa. Sedangkan substansinya dalam dunia intelek pada mulanya, adalah “potensi murni” tanpa bentuk apa pun di dunia tersebut.

Namun, ia mempunyai kemampuan untuk bergerak dari potensi keaktualitas (al-aqlu bi al-fi’li) awalnya dengan dunia intelek adalah seperti benih dengan buahnya atau seperti embrio suatu binatang dengan binatang itu sendiri. Bahwa suatu embrio secara aktual adalah sebuah embrio, dan suatu binatang hanya secara potensial, maka (pada mulanya) jiwa dalam aktualitas tidak lebih dari manusia biasa.

Mengenai hal ini, dalam al-Qur‘an dijelaskan:

قُلْ اِنَّمَاۤ اَنَاۡ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰۤى اِلَيَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمْ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahf [18]: 110).

Diserupakannya jiwa Nabi Saw dengan jiwa manusia biasa merujuk kepada keadaan awal jiwa. Akan tetapi, ketika melewati ilham Ilahiyah (emanasi), jiwanya bergerak dari potensialitas (al-Aqlu al-hayulani) menuju aktualitas (al-Aqlu bil-fi’li), ia menjadi yang termulia dari seluruh makhluk dan lebih dekat kepada-Nya.

Baca Juga  Eros & Agape: Konsep Cinta yang Ditawarkan Kierkegaard

Dibandingkan dengan nabi-nabi yang lain atau malaikat, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda beliau yang mulia: “Saya mempunyai waktu dengan Allah Swt. Dimana aku tidak bersama-sama dengan malaikat-malaikat tertinggi ataupun Nabi (lain).” Wallahu a’lam bisshawab.

Editor: Soleh

Salman Akif Faylasuf
58 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds