Hadis merupakan sumber hukum dan ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. hadis terhadap Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai bayan atau penjelas, yaitu bayan taqrir, bayan tafsir, takhshish al-‘am, dan bayan tabdila.
Oleh karena itu, apa yang disampaikan Nabi baik berupa ucapan dan perilaku harus diikuti dan diteladani oleh umat Islam, sebab hadis merupakan penjabaran dari firman Allah.
Oleh karena itu, memahami hadis sangatlah penting. Hadis tidak bisa dipahami secara literal saja tetapi juga harus melalui pemahaman teks-konteks. Sehingga, dapat dijadikan sebagai acuan yang kompatibel dan sesuai zaman.
Untuk memahami hadis, diperlukan analisis yang tepat bagaimana memahami makna tekstual dan kontekstual hadis atau apa maksud dari hadis tersebut. Diskusi terkait memahami hadis ini terus diwacanakan oleh banyak tokoh hadis. Salah satu tokoh yang mendiskusikan permasalahan ini ialah Muhammad Syuhudi Ismail.
Pemikiran Syuhudi terkait memahami hadis meliputi prinsip-prinsip penting dalam memahami hadis. Dalam pemikirannya itu, Syuhudi lebih menekankan pada peran akal atau ijtihad. Karena menurutnya, situasi di masa Nabi dengan masa kini sangatlah berbeda. Berikut langkah yang ditempuh Syuhudi Ismail dalam memahami hadis:
Pertama, Analisis Teks Hadis Menurut Syuhudi Ismail
Langkah pertama yang ditempuh ialah melakukan analisis teks hadis dengan mengidentifikasikan bentuk matan hadis, yang terdiri dari jami’ al-kalim (ungkapan singkat padat makna), tamsil (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa percakapan atau dialog, analogi (qiyasi), dan lain sebagainya.
Sebagai contoh adalah hadis Nabi yang bersabda الْحَرْبَ خُذْعَةً “Perang itu adalah tipu muslihat”. Hadis ini mengandung jami’ al-kalim atau ungkapan yang singkat namun padat makna. Hadis ini berlaku secara universal karena tidak terikat ruang dan waktu. Artinya, perang dengan jenis apapun atau kapan pun pasti memerlukan adanya siasat.
Pemahaman pada hadis tersebut sejalan dengan makna teksnya. Dengan demikian, hadis tersebut bisa dipahami secara tekstual saja sebab mengandung makna sesuai teksnya.
Sedangkan, contoh tamsil dalam hadis Nabi yang artinya, “dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir”. Hadis ini dapat dipahami secara kontekstual pada kata “penjara” memiliki petunjuk bahwa kehidupan orang mukmin tidaklah bebas, ada perintah dan larangan.
Hadis tersebut jika dipahami secara tekstual, menjelaskan bahwa dunia merupakan penjara bagi orang mukmin. Karena selama hidupnya, orang mukmin selalu dalam penderitaan.
Sedangkan kebahagiaan orang mukmin, baru dirasakan saat mereka di surga. Lalu bagi orang kafir, kehidupan di dunia adalah surga. Sedangkan di akhirat, mereka akan berada di neraka.
Kedua, Mengidentifikasi Konteks Historis Munculnya Hadis
Muhammad Syuhudi Ismail juga melibatkan konteks munculnya sebuah hadis. Maka, Syuhudi membagi konteks munculnya hadis menjadi dua segi. Yaitu; segi posisi dan fungsi Nabi, serta segi situasi dan kondisi di mana suatu hadis muncul.
Pertama, posisi dan fungsi Nabi. Syuhudi mengidentifikasikan peran Nabi dalam beberapa fungsi. Yaitu sebagai Rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, serta pribadi.
Menurut Syuhudi, hadis-hadis Nabi yang menyangkut fungsi Nabi sebagai pemimpin hanya berlaku secara temporal. Yakni diutamakan untuk masa itu dan untuk orang-orang Quraisy. Oleh karena itu, tidak tepat mengartikan hadis tersebut secara tekstual apa adanya. Karena akan bertentangan dengan hadis lainnya.
Kemudian, hadis Nabi yang difungsikan sebagai pribadi manusia. Contohnya, posisi tidur Nabi yang meletakkan satu kakinya di atas satu kaki lainnya. Menurut Syuhudi, posisi tidur tersebut adalah posisi yang membuat nyaman Nabi dan sikap tidur dalam hadis ini muncul berkaitan dengan kapasitas Nabi sebagai pribadi.
Dari pemahaman Syuhubi tersebut, didapatkan adanya kebolehan untuk berbeda dengan sikap tidur Nabi tersebut, yang disesuaikan dengan kenyamanan masing-masing.
Dengan mengidentifikasikan posisi atau fungsi Nabi saat hadis terkait muncul, maka dapat diketahui bagaimana situasi dan kondisi saat itu. Jika hadis muncul saat kapasitas Nabi sebagai Rasulullah, maka ketetapan yang ada dalam hadis harus diikuti dan berlaku secara universal, tidak terikat ruang dan waktu.
Maka, peran dan fungsi Nabi dapat dijadikan sebagai identifikasi berlakunya hadis baik secara universal ataupun temporal.
***
Kedua, situasi dan kondisi di mana suatu hadis muncul. Kemunculan hadis dipengaruhi akan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Dari sisi ini, situasi dan kondisi kemunculan hadis dibedakan menjadi dua bagian. Yaitu kondisi tetap dan kondisi berubah.
Situasi dan kondisi tetap yang melatarbelakangi kemunculan hadis memiliki maksud tidak adanya hadis lain yang muncul dalam satu problem walaupun situasi dan kondisinya berbeda.
Dalam kondisi tetap ini, Syuhudi masih membaginya menjadi dua; yaitu sebab umum (kondisi yang disebabkan oleh sebab umum) dan sebab khusus (kondisi yang disebabkan sebab khusus).
Contohnya, pada hadis Nabi, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian” yang ditujukan untuk para petani kurma yang beliau temui. Hadis ini memiliki asbab al-wurud berupa sebab khusus pada saat petani kurma sedang mengawinkan pohon kurmanya dan Nabi melewati mereka. Menurut Syuhudi dengan adanya sebab khusus, hadis ini perlu dipahami secara kontekstual.
Sedangkan untuk konteks situasi dan kondisi yang berubah (tidak tetap), merupakan kemunculan beberapa hadis yang membahas satu problem yang sama, tetapi waktu dan kandungan hukumnya berbeda.
Contohnya, ada hadis Nabi yang artinya, “Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya. Saat buang air besar atau buang air kecil, namun menghadaplah ke timur atau ke barat”
Kemudian ada hadis lain yang berbunyi: dari Abdullah bin Umar berkata,“Sungguh, aku pernah naik ke atas loteng rumah, lalu aku melihat Rasulullah Saw duduk di atas dua batu dengan menghadap ke Baitul Maqdis saat buang air besar.”
Kedua hadis tersebut memiliki problem yang sama, tapi mengandung makna ynag berbeda. Dari kedua hadis tersebut, juga menimbulkan kesan yang bertentangan antar hadis, yang mana hadis kedua menyatakan bahwa Nabi menghadap Baitul Maqdis atau membelakangi kiblat saat buang hajat.
Muhammad Syuhudi Ismail dalam menyelesaikan pertentangan kedua hadis tersebut menggunakan metode al-jam’u wa at-taufiq (menggabungkan dan mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan).
Hadis pertama yang menyatakan larangan buang hajat menghadap kiblat adalah untuk konteks buang hajat di ruang terbuka. Sedangkan hadis kedua, jika buang hajat dilakukan di ruang tertutup (wc atau kamar mandi) maka larangan tersebut tidak berlaku.
Ketiga, Melakukan Kontekstualisasi Hadis
Syuhudi dalam langkah ini mengaplikasikan pada kajian hadisnya, yaitu ma’an al-hadis.
Contoh aplikasinya pada hadis: Bahwa Rasulullah bersabda, “Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita.”
Maka, Syuhudi memahaminya: Dalam sejarah, penghargaan masyarakat pada kaum wanita semakin meningkat dan akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita diberi kedudukan ynag sama dengan kaum laki-laki. Al-Qur’an sendiri memberikan peluang sama kepada kaum wanita dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebajikan. Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpi, serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salanya wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin.