Akhlak

Memahami Kosakata Keagamaan

5 Mins read

Februari 2020, Penerbit Lentera Hati menerbitkan buku bagus karya ahli tafsir Indonesia M. Quraish Shihab. Judulnya Kosakata Keagamaan, yang meliputi: akidah dan kepercayaan, zikir dan doa, ibadah, pencerahan kalbu, perkawinan, nama dan gelar, serta istilah lainnya yang sering kita dengar.

Memahami kosakata keagamaan sangat penting di zaman sekarang karena tidak jarang kita temukan orang salah mengerti terkait kata dan kalimat dalam agama. Kesalahpahaman ini bisa berdampak pada tindakan berlebihan atau bahkan menggampang-gampangkan.

Kasus pemenggalan Samuel Paty oleh Anzorov, misalnya disebut oleh BBC (21/10/2020) selain diakibatkan oleh online hate campaign, juga oleh ‘fatwa’ yang dikeluarkan oleh orang tua murid sekolah tersebut, Brahim Chnina. Walau kata ‘fatwa’ itu ditulis menggunakan tanda kutip tapi lahir interpretasi bahwa orang biasa seperti Chnina bisa memberikan petunjuk legal keagamaan untuk bertindak yang seekstrem itu. Padahal, fatwa dalam Islam hanya bisa dikeluarkan oleh ulama yang berotoritas untuk itu.

Kosakata Keagamaan: Mengenal Allah

Muslim memahami Tuhannya adalah Allah bersumber dari firman-Nya dalam Al-Qur’an. Secara tegas, tulis M. Quraish Shihab, Tuhan Yang Maha Esa memperkenalkan nama-Nya: “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat dengan sempurna guna mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14).

Dalam Al-Qur’an, kata Allah terulang sebanyak 2.698 kali. Kata Allah berasal dari ilah, yang dibubuhi alif dan lam, yang bermakna nama khusus. Berbeda dengan kata ilah yang bersifat umum dan dapat berbentuk jamak (plural) menjadi alihah (artinya tuhan-tuhan), kata Allah tidak memiliki bentuk jamak.

Kata Allah bermakna “yang disembah’. Bahwa semua makhluk yang ada di alam ini wajib untuk menyembah-Nya dengan mengikuti petunjuk yang diberikan-Nya yang disampaikan lewat para utusan, Nabi dan Rasul. Pemahaman ini akan berdampak pada kesetiaan mutlak hanya kepada Dia, dan tak ada yang disembah dan ditakuti selain Dia.

Orang atheis, misalnya, mereka itu mengenal Allah dalam arti adanya penguasa di alam raya ini. Diucapkan atau tidak, dalam hatinya ada kesadaran bahwa semua eksistensi ini berada dalam penciptaan Dzat Yang Maha Besar. Kesadaran itu saja tidak cukup tentu saja, dibutuhkan usaha serius untuk mengikuti apa yang dikehendaki-Nya yang dalam Islam disebut: ibadah. Jadi, semua yang kita lakukan tidak terlepas dari niat ibadah; belajar, bekerja, menikah, dan lainnya.

Baca Juga  Isra’ Mi’raj: Refleksi Politik Kepemimpinan Nabi

Makna Allahu Akbar

Beberapa pelaku kekerasan terdengar mengucapkan takbir dalam aksinya. Karena seringnya kalimat mulia tersebut didengar orang Barat sebagai lonceng kematian, maka mereka pun jadi phobia, jadi Islamophobia. Ketika ada yang mengucapkan takbir yang sejatinya adalah membesarkan Allah, orang jadi tertanam rasa takut akan ucapan itu, bukan kesadaran akan kesempurnaan wujud Allah dengan segala nama dan sifat-Nya.

M. Quraish Shihab menulis bahwa kata takbir berambil dari kata kabir yang berarti besar. Takbir adalah membesarkan. “Dalam konteks agama, takbir adalah mengakui dengan ucapan dan hati tentang kebesaran Allah,” tulisnya. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menjelaskan makna kebesaran Allah dalam arti kesempurnaan dzat, yakni wujud-Nya, sedangkan kesempurnaan wujud itu ditandai oleh keabadian dan sumber wujud.

Ketika menyebut nama Allah seseorang harus membarenginya dengan pengagungan kepada-Nya. Ada perasaan bahwa yang paling besar hanya Dia, yang paling berkuasa hanya Dia, dan yang paling menentukan segalanya di atas bumi ini juga hanya Dia. Manusia berusaha, tapi Dia yang menentukan.

Pengucapan Allahu Akbar selain diucapkan dalam salat juga di luar salat. Takbir yang diucapkan salat berarti pengucapan komitmen tiap waktu bahwa kita hanya membesarkan Dia, dan tidak ada lagi yang lebih kita besarkan kecuali Dia semata. Di luar salat, energi takbir juga kita ucapkan sebagai penguat diri agar dijaga oleh Dia yang maha kuat, Sang pemberi kekuatan, dan Sang pemberi petunjuk.

Arti Fatwa

Sedangkan fatwa–yang tadi kita singgung di atas–secara sederhana dapat berarti “petuah, nasihat, atau jawaban atas pertanyaan hukum.” Secara bahasa, fatwa berarti: jawaban. Secara umum, M. Quraish Shihab mengartikannya sebagai: “penyampaian tentang ketetapan hukum Allah menyangkut kewajiban atau keharusan” atau “penjelasan tentang hukum sesuatu.”

Fatwa hanya bisa dikeluarkan oleh seorang mutfi, dan itu konsekuensinya berat bagi sang mufti. Maka, ahli fatwa dilukiskan kurang lebih sebagai: tanda tangan Tuhan yang diterakan sang mufti pemberi sebagai perantara antara Allah dan makhluk-makhluk-Nya dalam persoalan yang ditanyakan. “Yang paling berani di antara kamu adalah yang paling berani berfatwa,” hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan Ad-Darimi.

Baca Juga  Lima Cara Mendidik Anak ala Rasulullah

Kebutuhan muslim akan fatwa yang makin hari makin banyak membuat fatwa selalu lahir, tapi tidak berarti semua orang dapat berfatwa. Para ulama berpesan, “Jangan jadikan lehermu jembatan bagi orang lain menuju ke neraka.” Maknanya, fatwa tidak bisa dikeluarkan sembarangan orang, dan harus penuh kehati-hatian.

Seorang penetap fatwa misalnya haruslah seorang yang berada di tingkat tertentu dalam pengetahuan agama serta mampu menganalisis teks-teks keagamaan. Dia harus memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah yang berkaitan dengan hukum, dan juga harus bisa memahami bahasa Arab. Karena bahasa Arab adalah teks dari ajaran agama Islam.

Selain itu, seorang mutfi juga harus mengetahui kondisi yang sedang dihadapi oleh penanya dan kondisi adat istiadat. M. Quraish Shihab memahami bahwa fatwa bisa berbeda satu dan lainnya karena berbagai konteks yang meliputi kondisi seseorang.

Terkait dengan itu, maka dipahami bahwa tidak semua orang bisa mengeluarkan fatwa. Jika sekedar nasihat, semua bisa melakukannya, akan tetapi jika terkait urusan hukum yang pelik, yang tidak sederhana dampaknya, harus membutuhkan fatwa dari otoritas yang berwenang. Maka, tiap muslim diajarkan untuk bertanya kepada yang punya mereka yang punya otoritas.

Menempatkan Kosakata Keagamaan

Jika ada kosakata tertentu yang diucapkan seseorang dalam kehidupan sosial maka harus dipahami arti yang sebenarnya dan arti yang dipahami oleh yang bersangkutan. Pemahaman arti kata sebenarnya akan memudahkan kita dalam mengerti tentang kosakata tersebut. Dengan demikian kita terhindar dari salah tafsir.

Sementara itu, pemahaman akan kosakata sebagaimana yang dipahami yang bersangkutan juga sangat penting untuk mendapatkan apa yang disebut dalam antropologi sebagai perspektif emik, yang digali dari orang tersebut. Bisa jadi ada salah tafsir, salah ucap, atau arti lain yang dipahami oleh yang bersangkutan. Dengan begitu, kita jadi mengerti sejauh mana jarak antara arti ideal dengan arti faktual.

Baca Juga  Menggibahi Orang Lain di Group WhatsApp, Bolehkah?

Saat ini publik kita memang dipenuhi dengan berbagai kosakata keagamaan seperti insya Allah, istighfar, niat, ikhlas, sunnah, bid’ah, taubat, ta’aruf, kafir, ustadz, akhi, ukhti, afwan, wasathiyah, rahmatan lil’alamin, islah, hijrah hingga jihad. Banyak lagi jika ditulis. Semua itu patut untuk kita mengerti agar memahami kosakata itu sebaik mungkin serta dapat menempatkannya pada kalimat dan konteks yang paling tepat.

Hal ini juga sama dalam konteks akademik ketika seseorang menjelaskan landasan teori dan bagaimana operasionalisasi teori itu dalam sebuah fenomena tertentu. Teori itu perlu diperjelas arti dari sudut bahasa dan definisi pakar atau sintesis dari kumpulan pendapat para pakar yang mendalami hal itu.

***

Kesalahpahaman terkait kosakata dapat berdampak serius pada salah tafsir dan phobia. Seorang jurnalis Charlie Hebdo yang atheis misalnya salah tafsir ketika mengatakan bahwa kata ‘umat’ itu dapat menghancurkan nasionalisme dan bahasa Arab Al-Qur’an itu dapat mengganti bahasa nasional. Sesat pikir itu disebabkan karena minimnya pengetahuan tentang Islam yang dipadu dengan bacaan dan lingkungan yang tidak paham tentang Islam.

Padahal, tidak ada masalah antara umat dengan nasionalisme. Orang Islam tetap menjadi nasionalis tanpa harus melupakan posisinya dalam umat global. Berhaji misalnya, adalah bagian dari ritual muslim sebagai umat global. Bahasa Arab Al-Qur’an adalah bahasa yang suci, tidak sama dengan bahasa Arab pasaran. Justru Al-Qur’an berkontribusi pada bahasa peradaban manusia, dalam konteks Indonesia misalnya terlihat pada kata ilmu, awal, akhir, dan lain sebagainya.

Filsuf Prancis Roger Garaudy (1913-2012) adalah salah seorang ilmuwan yang mendapatkan pengaruh luar biasa dari Islam setelah mempelajarinya secara serius–termasuk tentu saja kosakata dan makna Al-Qur’an. Menjelang 70 tahun, dia jadi mualaf. Ketika wawancara dengan Le Monde, dia berkata, “Saya sekarang telah menemukan titik yang selalu saya cari, yaitu titik di mana kreativitas artistik, aksi politik, dan keimanan membentuk kesatuan sungguh-sungguh.”

Garaudy bisa yakin dengan Islam karena mempelajarinya, dan itu butuh kesungguhan. Agar tidak hanya memahami kosakata keagamaan tapi juga makna-makna terdalam dari firman-Nya yang maha sempurna dan sabda Rasul-Nya yang mulia.

Editor: Nabhan

Yanuardi Syukur
13 posts

About author
Pengajar Antropologi Sosial Universitas Khairun, Ternate dan Kandidat Doktor Antropologi FISIP UI.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds