Jika ada peribahasa yang mengatakan “Pucuk Dicinta, Ulam Pun Tiba,” maka ada juga peribahasa lain yang berbunyi “Mengusik Bangsa Persia, Rudal Pun Bercerita.” Peribahasa ini mencerminkan kenyataan yang terjadi saat ini, pasca serangan Israel ke Iran pada 13 Juni 2025, yang mengguncang dunia. Iran memberikan balasan dan Tel Aviv, sebagai salah satu kota megah yang maju dalam sains dan teknologi. Hancur lebur karena tidak mampu menghalau kecepatan serangan milisi Iran.
Iran, yang dikenal sebagai “Negeri Para Mullah,” seakan menjadi sarang lebah yang justru menyerang balik setelah diasapi. Bukan menjauh, mereka malah balik menyerang dengan kekuatan yang luar biasa, menyebabkan kehancuran dan rasa sakit.
Antara Mazhab Muqawwamah dan Mazhab Zionis
Pasca serangan Iran, banyak pakar yang memberikan tanggapan bahwa saat ini bukan lagi waktunya untuk membicarakan siapa Sunni dan siapa Syiah. Fahmi Huwaidi, seorang wartawan dan penulis senior Mesir, sering dikutip terkait perang Iran-Israel. Ia menyatakan, “Hari-hari ini sekat-sekat mazhab telah mencair, dan kini hanya ada dua mazhab: apakah engkau berada di Mazhab Perlawanan (al-Muqawwamah) atau di Mazhab Zionis (al-Shahyuniyyah).” Pernyataan ini menunjukkan bahwa perbedaan agama atau budaya bukan lagi hal yang relevan, melainkan siapa yang mendukung anti-Zionis dan siapa yang tidak.
Dalam konteks ini, mazhab perlawanan pasca serangan balasan Iran bukan hanya terdiri dari kelompok seperti Houthi, Hezbollah, atau Hamas. Kini, skala perlawanan mencakup semua pihak yang mendukung anti-Zionis. Dunia, terutama dalam geopolitik, kini menaruh harapan besar kepada Iran untuk memberikan balasan terhadap Israel, yang telah melakukan genosida di Gaza.
Perang Iran-Israel: Antara Drama dan Realita
Di sisi lain, Emad al-Musafir, seorang analis politik dari Irak, mengkritik anggapan bahwa perang antara Iran dan Israel hanyalah sebuah drama. Menurutnya, “Jika serangan balasan Iran dianggap sandiwara, maka diamnya negara-negara Arab adalah film porno.” Hal ini mungkin juga menjadi kritik terhadap kelompok salafi-wahabi yang menganggap Iran-Israel sebagai ‘Bestie’. Meskipun persatuan Sunni-Syiah mulai terlihat, ada saja kelompok yang merasa risih dengan perkembangan ini.
Jika serangan Iran hanya sandiwara, mengapa Tel Aviv kini berkalang debu? Tel Aviv telah hancur, gedung-gedung runtuh, dan warganya hanya bisa bersembunyi di dalam bunker atau melarikan diri ke negara tetangga.
Menurut Buya Yahya, dalam sebuah ceramah, ketika ditanya bagaimana sikap kita terhadap Iran yang menyerang Israel. Beliau menjawab, “Siapapun yang berjuang atau membela Palestina, kita dukung. Tidak peduli dari Iran atau negara manapun, kita dukung.” Ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap Palestina bukan soal agama, tetapi soal kemanusiaan dan hati nurani. Mereka yang memiliki hati nurani pasti akan simpati terhadap Palestina.
Antara Perang Milisi atau Perang Narasi
Di media sosial, kita sering mendengar narasi seperti “Iran adalah negara teroris,” “Syiah-Yahudi Bersatu Merusak Islam,” dan “Syiah Pembantai Sunni.” Grand Mufti Mesir, Syekh Ahmad Tayyeb, mengingatkan bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah adalah perbedaan intelektual dan ideologis, bukan sekte agama. Kita butuh kesatuan untuk menghadapi tantangan dan musuh umat.
Iran adalah negara pertama yang menyerang Israel secara langsung sebagai balasan. Sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949 dan Piagam PBB Pasal 2 Ayat 4. Serangan ini tidak mendapat celah kritik, kecuali dari negara-negara anggota G7 yang memang mendukung Zionis.
Saat ini, mungkin hanya Iran yang setara dengan Israel untuk perang langsung. Ribuan rudal telah dikirimkan ke Tel Aviv dan Haifa. Membuktikan bahwa Israel kini tidak lagi memiliki pertahanan yang kuat. Iron Dome sepertinya kewalahan menghalau kecepatan rudal dalam jumlah besar.
Namun, selain perang milisi, kita juga harus ikut berpartisipasi dalam ‘perang narasi’. Media mainstream sering membangun narasi yang memojokkan poros perlawanan. ‘Perang narasi’ sangat penting untuk membendung narasi yang salah dan memberikan solidaritas terhadap kekerasan dan penjajahan yang terjadi di Gaza.
Siapa Pemenangnya?
Faisal Assegaf, seorang pengamat Timur Tengah, mengatakan bahwa saat ini Iran sudah di atas angin. Meskipun diembargo secara ekonomi, politik, dan militer oleh AS, Iran mampu melawan Israel yang dibantu miliaran dolar setiap tahun. Dalam dua hari perang, Israel bahkan meminta bantuan AS, menunjukkan bahwa Israel tidak bisa melawan Iran sendirian.
Iran juga ‘menang’ secara moral, baik karena dukungan rakyatnya maupun dari negara lain. Rakyat Iran, dari berbagai lapisan, bahkan kaum liberal dan oposisi, turun ke jalan untuk mendukung pemerintah dalam menghancurkan Israel.
David Ben-Gurion, Perdana Menteri pertama Israel, mungkin tidak pernah membayangkan bahwa negara yang pernah ia pimpin kini hancur oleh negara yang jauh 1600 km dari Israel. Israel luluh lantak oleh perintah Ayatollah Ali Khamenei, yang dikenal dengan ketegasannya dan tidak pernah mengenal kata menyerah.
Kenaikan Harga Minyak: Efek Perang Iran-Israel
Dunia masih belum mengetahui kapan perang Iran-Israel akan berakhir dan dampaknya terhadap ekonomi global. Salah satu ancaman terbesar adalah penutupan Selat Hormuz oleh Iran, yang merupakan jalur utama pengiriman minyak dunia. Jika selat ini ditutup, pasokan energi global akan terganggu, dan harga minyak kemungkinan akan melonjak tinggi.
Kenaikan harga minyak ini dapat memperburuk inflasi dan memengaruhi harga barang-barang pokok. Negara-negara berkembang yang bergantung pada impor energi akan sangat terdampak, mengurangi daya beli masyarakat. Ketidakpastian ekonomi global pun akan semakin meningkat, memperburuk situasi yang sudah tertekan akibat ketegangan geopolitik lainnya.
Editor: Assalimi

