Ilmu Keislaman | Ada sebuah guyonan masyhur di masyarakat kita, bahwa seorang ustadz akan selalu disuguhi pertanyaan dan permintaan apapun bahkan yang tidak linier dengan bidang studinya. Seakan-akan ustadz atau ahli agama adalah pakar multidisiplin yang mampu memberikan jawaban atas segala keresahan.
Syahdan, paradigma seperti ini sangat kontraproduktif dalam perkembangan keilmuan, wa bil khusus ilmu-ilmu keislaman sendiri. Perlu kiranya ada narasi yang mengedukasi masyarakat bahwa pembidangan ilmu itu nyata dan niscaya.
Seorang ahli agama belum tentu juga ahli dalam semua bidang ilmu keislaman, lantas apa saja pembidangan dalam rumpun disiplin ilmu keislaman atau ulum syar’i?
Dua Kategori Ilmu Keislaman
Ilmu keislaman umumnya dalam tradisi pesantren dibagi menjadi dua kategori, ilmu ghayah dan ilmu washilah.
Mushtafa Ridha dalam at-Thuruq al-Manhajiyyah menyebutkan bahwa batasan yang menjadi kriteria ilmu ghayah adalah semua ilmu yang membahas hukum syariat berkenaan dengan iman, perbuatan batin, dan zahir manusia.
Disiplin Ilmu Ghayah
Disiplin ilmu yang masuk dalam kategori ini adalah ilmu akidah, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf atau akhlak. Masing-masing dari ketiga ilmu tersebut memiliki ranah tersendiri namun masih terhubung dengan lainnya. Ibarat tiga kamar yang terhubung dengan pintu di antara masing-masing kamarnya. Setiap ilmu tidak kehilangan jati dirinya namun juga tidak lepas dari ilmu lainnya.
Ilmu Akidah
Objek kajian dalam ilmu akidah adalah peneguhan atas kepercayaan dalam agama Islam dengan dalil-dalil rasional dan tekstual.
Pembahasan ini dibagi dalam tiga bab besar; bab ilahiyat atau ketuhanan, bab nubuwat dan bab sam’iyyat atau perkara yang masih ghaib.
Ilmu Fikih
Sedangkan ilmu fikih adalah ilmu yang mengkaji perbuatan fisik sorang hamba, baik tindak sebagai individu maupun tindaknya sebagai bagian dari masyarakat.
Ilmu fikih memiliki empat bab besar, bab ibadat yang membahas lima rukun Islam beserta hal-hal yang terkait dengannnya. Bab muamalat yang membahas segala bentuk hubungan transaksional antar sesama manusia. Bab munakahat yang membahas hubungan di ranah domestik atau rumah tangga. Dan bab jinayat yang membahas bentuk konsekuensi pelanggaran aturan syariat.
Untuk bisa memunculkan hasil hukum dalam fikih perlu memahami kaidah-kaidah prinspil dalam penetapan hukum yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.
Ilmu Tasawuf
Adapun ilmu tasawuf atau disebut juga ilmu tazkiyatun nafs. Penyucian jiwa memiliki objek kajian yang mirip dengan ilmu fikih, yaitu tindak dan sikap manusia, namun dalam ilmu tasawuf yang dikaji adalah tindak dan sikap batin.
Tasawuf ditujukan untuk mengetahui bentuk-bentuk penyakit hati dan jiwa dalam diri manusia serta cara untuk mengobatinya. Pengetahuan atas penyakit batin teramat penting karena syarat pertama untuk berobat adalah merasa sakit, percuma memiliki bermacam obat namun tidak merasa sakit.
Disiplin Ilmu Wasilah
Kategori kedua adalah ilmu washilah. Sebagaimana namanya, ilmu-ilmu yang masuk dalam himpunan ini adalah ilmu pendukung, ilmu yang menopang tegaknya ketiga ilmu ghayah.
Ada dua rumpun keilmuan yang masuk dalam kategori ilmu washilah, pertama adalah jenis ilmu kebahasaan dan kedua adalah jenis ilmu aqliyat.
Dalam kebahasaan antara lain ada disiplin ilmu nahwu, shorof, balaghah, ‘arudl, sastra Arab, ilmu wadl’ dan imla’.
Sedangkan, yang termasuk dalam rumpun ilmu aqliyat antara lain ilmu mantiq atau logika, ilmu adab bahts wa munadzarah dan ilmu maqulat.
Ilmu washilah ibarat lentera yang akan menuntun mata kita untuk melihat dan menemukan pengetahuan dalam ilmu ghayah, jadi tidak benar mempelajari ilmu ghayah tanpa memahami ilmu washilah.
Celah antara Ilmu Ghayah dan Ilmu Washilah
Dikotomi ghayah dan washilah sebenarnya memiliki celah, di mana ilmu-ilmu seperti tafsir dan hadis tidak masuk dalam keduanya. Posisi ilmu tersebut dala peta ilmu-ilmu keislaman berada di antara keduanya, ilmu ghayah dan washilah.
Pasalnya, salah satu sumber primer ketiga ilmu ghayah adalah teks, karena pada dasarnya Islam merupakan agama skriptural yang ajarannya bertumpu pada kitab suci. Hukum dan pernyataan yang didapatkan dalam ilmu ghayah tidak lain adalah hasil dari perasan sari pati Al-Qur’an dan hadis, dan untuk dapat memerasnya kita membutuhkan seperangkat alat bernama ilmu washilah.
Ilmu yang mengkaji teks, baik Al-Qur’an maupun hadis pun cukup kompleks. Tafsir Al-Qur’an harus dibangun atas pemahaman yang mapan atas ilmu-ilmu kebahasaan (Arab), ilmu kesejarahan Al-Qur’an; asbabun nuzul, nasikh mansukh dan lainnya.
Rumpun ilmu hadis juga tidak kalah kompleks, garis besar ilmu hadis terbagi menjadi dua, yang berhubungan dengan sanad dan yang berkaitan dengan matan.
Sanad adalah rangkaian periwayat hadis sedangkan matan adalah konten hadis, keduanya dibahas dalam disiplin ilmu tersendiri bernama ilmu mustalahul hadis.
Pemetaan ini seyogyanya memberikan kesadaran pada kita bahwa untuk mendapatkan satu atau dua hukum agama, ada rentetan proses yang harus dilalui. Pernyataan bahwa shalat subuh, zuhur, ashar, maghrib dan isya hukumnya wajib didapatkan melalui tafsiran atas firman Allah
وَأَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ
Dan tafsiran ayat tersebut didapatkan dengan menganalisa teks ayat tersebut menggunakan ilmu nahwu, shorof dan ushul fiqh. Lafaz aqiimu merupakan fi’il amr yang memiliki makna perintah untuk kewajiban.
Agaknya paradigma bahwa ilmu agama merupakan satu ilmu yang berdiri sendiri mungkin berakar dari kurikulum pendidikan kita yang menjadikan pelajaran agama islam sebagai satu pelajaran tersendiri, tanpa penjelasan bahwa di dalamnya mencakupi beberapa disiplin ilmu. Layaknya kita belajar IPA atau IPS dengan merujuk pada buku terpadu saja tanpa mengetahui setiap diskursus yang dicakupnya seperti biologi, fisika dan kimia untuk IPA, sejarah, ekonomi, geografi untuk IPS.
Memahami Pemetaan Disiplin Ilmu dan Klasifikasinya
Selain memahami pemetaan disiplin ilmu, perlu juga difahami bahwa terdapat klasifikasi tingkat di setiap disiplin ilmu.
Jadi untuk mempelajari ilmu tersebut harus dilakukan secara bertahap dari tingkat pemula (mubtadii), menengah (mutawasith) kemudian lanjut (muntahi). Tidak semua pakar dalam salah satu bidang ilmu keislaman serta merta menjadi ahli di bidang lainnya, bukan berarti seorang ahli fikih juga sekaligus ahli ilmu kalam.
Paradigma hirarkri kepakaran ini penting baik bagi awam maupun bagi pelajar ilmu syar’i, untuk pelajar ia berguna sebagai langkah metodologis yang menuntun proses belajarnya sedangkan bagi awam ia berguna sebagai parameter agar tidak terjebak dalam pengkultusan buta atas tokoh agama tertentu, sehingga semua ucapannya dipandang benar.
Editor: Yahya FR