Oleh: A.S. Rosyid
Pada hari Minggu (20/05, 17:43 Wib), akun Facebook Website Sang Pencerah mengunggah pernyataan Bapak Haedar Nashir, sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang secara tegas menyeru pada warga Muhammadiyah untuk tidak turut terlibat dalam gerakan people power, dan menyarankan para elit politik manapun untuk menerima hasil pemilu pilihan rakyat. Indonesia, kata beliau, memiliki konstitusi yang harus dihormati. Bila rakyat merasa ada kecurangan, cara memerkarakannya pun harus konstitusional.
Seruan Bapak Haedar Nashir adalah seruan terhormat. Artinya, ghayah (tujuan) yang benar dicapai harus dengan washilah (sarana) yang benar. Sebagai seorang muslim, beliau mengerti betul arti shirat al-mustaqim, bahwa antara cita-cita dan cara-cara harus selurus sebanding, satu sama lain tidak boleh saling mengkhianati. Pada hal-hal yang demikianlah Allah menghargai. Seorang muslim memang harus mampu membedakan antara strategi dan intrik licik.
Namun, membaca hampir semua komentar di akun tersebut, rasanya sedih sekali.
Bapak Haedar Nashir dikecam dan dicampakkan, dengan bahasa-bahasa yang—meski tidak seketerlaluan saat mencaci Buya Syafi’i Maarif, namun tetap—tidak pantas. Orang-orang yang berkomentar itu tidak bisa dipastikan mereka orang Muhammadiyah atau tidak (yang jelas mereka semua pendukung Nol Dua). Tetapi seandainya benar mereka orang Muhammadiyah, hal ini memalukan. Bukan bagi Bapak Haedar Nashir, melainkan bagi mereka sendiri.
Semua komentar yang berletupan di kiriman akun Website Sang Pencerah itu bernada menyindir dan memojokkan Bapak Haedar Nashir dan PP Muhammadiyah, namun secara umum kita bisa membaginya menjadi 2 (dua) jenis argumentasi, yang kesemuanya, sayangnya, lemah.
Pertama, narasi ketidakadilan dan kecurangan Pemilu. Banyak komentar menegaskan bahwa seruan Bapak Haedar Nashir bagus, asalkan KPU dan Pemilu bersih dari indikasi kecurangan. Artinya, seruan beliau tidak bagus karena kubu Nol Dua mantap meyakini bahwa KPU dan Pemilu penuh kecurangan.
Sebenarnya, pasca Pemilu, masyarakat akar rumput hendak bertawakkal pada keputusan pemilu. Adalah elit yang terus mewacanakan narasi kecurangan, menciptakan delusi negara amoral dan gelombang ketidakpercayaan pada sistem, yang argumentasi itu kemudian digunakan untuk tidak memilih jalan ‘jantan’ membuktikan adanya kecurangan. Lagipula, partai-partai yang menarasikan kecurangan bukanlah partai yang bersih rekam jejaknya, baik di level nasional, maupun di daerah, terutama ketika berurusan dengan KPU.
Kedua, narasi kemenjilatan PP Muhammadiyah pada negara. Ada anggapan bahwa PP Muhammadiyah yang paling ber-nahi munkar ada di era Pak Din dan Pak Amien, karena mereka berani melawan ketidakadilan negara. Komentar seperti ini menunjukkan adanya kedangkalan imajinasi tentang bentuk-bentuk amar makruf nahi munkar, sekaligus, ketidaktahuan sejumlah warga Muhammadiyah tentang apa yang telah, sedang dan terus diperjuangkan Muhammadiyah di ranah kenegaraan demi mengawasi kepentingan dakwah secara nasional.
Bila PP Muhammadiyah yang paling ber-nahi munkar adalah di era dua tokoh tersebut, maka apa yang hendak dikata pada Pak AR. Fachruddin dan KH. Badawi, karena ‘gaya halus’ mereka kala berhadapan dengan pemerintah? Apakah mereka akan dikenakan kesan telah ‘menjilat’ pada negara? Saya pikir, komentar-komentar semacam itu lahir dari ruang bermuhammadiyah yang kurang menyimak berita-berita ‘balik layar’, sehingga tidak mampu bersabar dan berprasangka baik kepada para pemimpin.
Seruan Bapak Haedar Nashir adalah seruan untuk menjaga persatuan. Sepuh seperti Bapak Haedar Nashir tidak memikirkan apapun kecuali keutuhan bangsa, sebagaimana tugasnya sebagai “orang tua yang memikirkan anaknya jauh ke depan”. Elit Muhammadiyah seperti beliau mendengar apa yang tidak didengar oleh masyarakat—informasi-informasi “A” yang tidak beredar di media sosial; informasi yang tidak diteriakkan oleh orang-orang yang begitu haus berkomentar. Untuk memahami seruan mulia Bapak Haedar Nashir, warga Muhammadiyah harus merenung dengan jernih. Syahwat politik pasti akan mengeruhkan kejernihan.
Tapi entah kenapa Bapak Haedar Nashir kelihatan tenang-tenang saja dengan itu semua. Ternyata, tanpa saya tahu, Bapak Haedar Nashir membatin menanggapi tulisan saya: “Ah, kamu, serius amat menulisnya. Itu yang komentar kanakun bodong semua.”
Waduh…