Pada umumnya, komunitas Nahdliyin memiliki tradisi keagamaan yang akomodatif terhadap berbagai bentuk tradisi lokal pra-Islam (M. Nur Hasan, MA: 2002). Berbagai upacara lokal yang telah ada dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, tetap dihargai dan dipertahankan. Serta mendapatkan maknanya yang baru dalam tradisi NU.
Ciri Khusus Tradisi Keagamaan Komunitas Nahdliyin
Berbagai upacara selamatan atas kehidupan perkawinan, tingkeban (7 bulanan), kelahiran dan kematian, serta hal penting dalam sejarah Islam, dilakukan dengan cara yang unik. Mereka merupakan ciri khusus tradisi keagamaan dalam komunitas Islam tradisional, atau komunitas Nahdliyin.
Dalam praktiknya, upacara-upacara selamatan tersebut masih tetap menampilkan wajah aslinya. Tetapi juga sudah diisi dengan berbagai ritual.
Bermacam-macam bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, shalawat, zikir kepada Allah, telah mewarnai dan memaknai hakikat upacara-upacara tersebut.
Dalam pandangan kaum Nahdliyin, berbagai bentuk tradisi dan budaya masyarakat tertentu yang telah berkembang sebelum Islam dapat (boleh) diadaptasi dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Bahkan, adaptasi nilai-nilai ajaran Islam dengan berbagai tradisi dan budaya masyarakat pra-Islam, dinilai sebagai strategi penyebaran Islam yang relevan dan tepat.
Demikian halnya dengan adaptasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap berbagai nilai yang baru (dari manapun asalnya); juga merupakan proses yang wajar (normal).
Pandangan yang akomodatif dan toleran mengenai tradisi dan budaya masyarakat seperti di atas, bagi kaum Nahdliyin, dinilai sejalan dengan prinsip dasar ajaran Islam yang menekankan pada kasih sayang pada alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Prinsip Nahdliyin: Menjaga dan Melestarikan Tradisi yang Baik
Prinsip rahmatan lil ‘alamin tersebut dalam konteks tradisi dan budaya dirumuskan dalam sikap kolektif kaum Nahdliyin; yaitu menjaga dan melestarikan tradisi yang baik, yang telah ada dalam masyarakat dan mengupayakan hal-hal baru yang lebih baik.
Bagi masyarakat Nahdliyin, upacara-upacara selamatan tersebut memiliki makna spiritual yang mendalam sekaligus bermakna sosial kemasyarakatan.
Mereka percaya, bahwa melalui selamatan-selamatan tersebut, berbagai aspek kehidupan yang mereka jalani sehari-hari akan mendapat perlindungan dari Allah. Dan segala hasil usaha yang mereka peroleh akan mendapat berkah dari-Nya.
Dengan bermacam-macam upacara selamatan itu pula ikatan solidaritas, persaudaraan, dan ikatan kultural sesama warga komunitas, berkembang dan diwariskan pada generasi berikutnya.
Tradisi lainnya yang menjadi ciri khusus dalam masyarakat Nahdliyin adalah penghormatan kepada leluhur (orang yang dinggap mulia) yang telah wafat. Terutama para ulama, wali, guru, maupun orangtua.
Penghormatan tersebut dilakukan setiap malam selama 7 hari mulai hari pertama wafatnya seseorang, malam ke-40, malam ke-100, dan pada peringatan ulang tahun wafatnya seseorang. Atau pada saat ziarah makam para wali, ulama, guru, maupun orangtua.
Bagi masyarakat Nahdliyin, pembacaan doa-doa tersebut sejauh terdapat kesamaan keimanan. Dilandasi oleh niat yang benar dan ketulusan hati yang semata tertuju karena Allah, diyakini dapat menjadi media penghubung antara yang masih hidup dengan yang sudah wafat.
Bacaan-bacaan yang ditujukan diyakini pula dapat meringankan beban penderitaan yang dialami orang di dalam kubur. Serta dapat menimbulkan ketenteraman, keselamatan, dan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat.
Praktik Tarekat Sebagai Tradisi Keagamaan
Ritual lainnya yang menjadi bagian penting dari tradisi keagamaan dalam masyarakat Nahdliyin adalah “tarekat”, yang secara harfiah berarti “jalan”.
Praktiknya tarekat menunjuk pada suatu praktik ritual mistik yang berisi bacaan-bacaan zikir dan pujian-pujian pada Allah dalam jumlah tertentu, melalui guru sufi yang legit dan telah dijasah dari guru tertinggi (mursyid).
Dalam masyarakat Nahdliyin, tarekat dapat mengantar pelakunya pada puncak kenikmatan ibadah dan hakikat kehidupan ini.
Bagi golongan lain yang sinis atau sentimen, atau bahkan mungkin mengharamkan, mem-bid’ah-kan tradisi ritual keagamaan dalam komunitas NU ini, bisa jadi karena belum memahaminya.
Atau bisa juga karena sudah memiliki prinsip-prinsip tersendiri dengan dalil yang kuat pula, sehingga menyalahkan tradisi tersebut.
Bahwa dengan pandangan yang berbeda itulah mereka merasa perlu memurnikan ajaran Islam dari segala budaya dan tradisi, sehingga munculah gerakan purifikasi ajaran Islam.
Semoga dengan memahaminya, komunitas-komunitas agama, terutama di Indonesia, dapat menghargai dan memiliki toleransi; serta memahami bahwa tradisi NU bukanlah semata sebagai langkah yang tidak membawa pada Islam yang berkemajuan.
Menjaga tradisi yang sarat dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan hadis ini, tradisi NU adalah juga sedang berjuang merawat nilai-nilai budaya dan kebangsaan.
Editor: Zahra