Dalam kajian keagamaan kita mengenal istilah eksoterik dan istilah esoterik. Kedua istilah ini sangat familiar dalam kajian keagamaan kontemporer. Eksoterik adalah hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu fikih atau hukum sedangkan esoterik berkaitan dengan ilmu-ilmu yang berkaitan sisi dalam dari ajaran agama.
Eksoterik dan Esoterik
Keberadaan agama Islam sebagai agama “wasath“, agama pertengahan atau agama moderat disinggung dalam Al-Quran:
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)Â kamu.” (QS. 2.143).
Umat Islam adalah umat yang wasath. Disini ada berbagai interpretasi tentang umat wasath atau agama wasath. Wasath secara kebahasaan artinya tengah, kata ini juga diadopsi kedalam bahasa Indonesia yaitu wasit. Itulah sebabnya seorang wasith haruslah berada ditengah-tengah atau adil.
Dalam konsep agama-agama yang diturunkan oleh Tuhan yakni agama samawi atau agama Ibrahimik, Islam menempati posisi tengah jika dibandingkan dengan dua agama pendahulunya yakni Yahudi dan Nasrani.
Sekalipun Islam sebagai agama terakhir, dia adalah agama penyempurna terhadap agama-agama sebelumnya. Penyempurna dalam pengertian bahwa Islam itu mengakomodasi nilai-nilai yang ada dalam agama Yahudi dan nilai yang ada dalam agama Nasrani. Sekaligus sebagai penengah antara kedua agama tersebut.
Di satu sisi Yahudi lebih berorientasi hukum sementara Nasrani lebih berorientasi kasih. Atau Yahudi sangat eksoterik sementara Nasrani lebih esoterik. Sementara Islam mencoba untuk menggabungkan kedua orientasi tersebut yakni sisi dalam dan sisi luar dari ajaran agama.
Itulah sebabnya Islam itu dikenal sebagai agama wasath, wasath dalam artian berada di tengah-tengah antara kedua orientasi tersebut. Dan disitulah letak kesempurnaan agama Islam, karena didalamnya ada unsur keyahudian yang eksoterik dan unsur kenasranian yang esoterik.
Riwayat Kecenderungan Orientasi Keagamaan
Pada zaman Nabi belum ada istilah istilah tentang kecenderungan orientasi keagamaan tersebut. Nabi menampilkan dirinya dengan tampilan yang paripurna lewat aksi aksi keteladanan. Nabi tampil dengan aksi pengamalan keagamaan baik yang bersifat eksoterik sekaligus pengamalan keagamaan yang bersifat esoterik.
Tidak ada dikotomisasi terhadap pengamalan keagamaan Nabi, orientasi pengamalan keagamaan Nabi bersifat tunggal. Antara kedua orientasi di atas menyatu dalam diri Nabi. Begitupun pada masa khulafaur rasyidin belum ada yang muncul dikotomi antara kedua pengamalan keagamaan tersebut. Kedua orientasi tersebut masih menyatu dalam diri para sahabat.
Lalu, pada zaman tabi’in (zaman sesudah sahabat) sudah ada orientasi dalam pengamalan keagamaan. Kita bisa merujuk pada karya-karya intelektual ulama zaman itu. Ada ulama yang punya kecenderungan fiqh oriented atau karya karyanya lebih tertarik menggunakan pendekatan pendekatan eksoterik. Ada juga ulama yang lebih berorientasi kedalam atau pendekatan sufistik dalam karya intelektualnya.
Kecenderungan dikotomisasi terhadap aspek aspek keilmuan dalam Islam itu pada masa imam madzhab, Karenanya keempat Imam madzhab ini berbeda-beda orientasi pemahaman keagamaannya.
Ada Imam madzhab yang kecenderungan pemikirannya lebih bersifat rasional seperti Imam Abu Hanifah. Ada juga yang punya kecenderungan sangat tektualis seperti Imam Ahmad bin hambal. Ada juga yang lebih moderat dalam artian mencoba menggabungkan antar kedua kecenderungan tersebut, seperti Imam Syafii.
Al Ghazali dan Ulama Masa Kini
Pada era selanjutnya yakni pada era Imam Al Ghazali, pemahaman terhadap keislaman mengalami perkembangan sekalipun dikotomisasi pemahaman keislaman juga semakin melebar. Prototipe Imam Al Ghazali sebagai seorang ulama besar, yang mempunyai karya intelektual yang cukup banyak, dengan pokok bahasan yang bervariasi, mulai dari kitab fikih, teologi, tafsir, sampai kepada ilmu tasawuf. Sehingga Al Ghazali dijuluki sebagai Hujjatul Islam atau argumentasi Islam.
Al Ghazali dikenal sebagai ulama berhasil menyatukan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan eksoterik dengan yang berkaitan ilmu ilmu dengan esoterik. Bukan hanya karya karya Al Ghazali yang begitu banyak dengan pembahasan berbagai ilmu. Namun pengamalan keilmuannya juga sangat paripurna.
Al Ghazali bukan hanya dikenal ahli sebagai tasawuf sebagaimana di akhir hayatnya lebih banyak di habiskan umurnya untuk melakukan uzlah (pengasingan diri). Tetapi Al Ghazali juga dikenal ahli di bidang hukum Islam dan ahli teologi Islam.
Perkembangan pemahaman keislaman pasca Algazali sampai sekarang mengalami perkembangan pesat dengan tetap mengacu kepada pemahaman eksoterik dan esoterik. Karya karya intelektual di dunia Islam begitu banyak dan bervariasi, seperti tafsir, fikih, tasawuf, teologi, sejarah, ilmu bahasa dan lainnya.
Karya-karya intelektual ini bukan hanya dihasilkan oleh ulama ulama Islam tetapi dikarang oleh ulama ulama non-muslim yang biasa disebut orientalis. Karya-karya intelektual diabad kedua puluh dan abad kedua satu pun mengalami spesifikasi keilmuan, ulama-ulama juga terspesialisasi dalam kotak kotak keilmuan.
Ada ulama yang terfokus pada pembahasan tentang tafsir, ada yang mendalami hadis, ada yang fokus ke sejarah Islam, hingga hukum Islam. Bagian ini masuk dalam ranah pemahaman keislaman yang eksoterik. Kemudian ada juga ulama yang lebih tertarik dengan sisi dalam dari ajaran islam yakni tasawuf. Pemahaman tentang sisi dalam dari ajaran Islam inilah yang disebut pemahaman esoterik.
***
Dalam konteks keindonesiaan, kedua pemahaman ini juga sangat berpengaruh terhadap beberapa ulama atau cendekiawan muslim. Peta kedua pemahaman keislaman ini, punya pengaruh terhadap proses perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia.
Kedua pemahaman keislaman ini kita butuhkan dalam rangka untuk memahami Islam secara kaffah. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu eksoterik itu sangat penting dan pendalaman terhadap ilmu ilmu esoterik itu juga sangat penting. Untuk berislam secara baik, hendaklah kedua pemahaman ini disejajarkan supaya pemahaman dan pengamalan keislaman kita tidak mengalami kepincangan.
Editor: Nabhan