Perspektif

Perpu No. 1 Tahun 2020 Berpotensi Lahirkan Tirani

4 Mins read

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 (Perpu No. 1 Tahun 2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan merupakan spektrum kebijakan yang secara luas berdampak pada stabilitas perekonomian dan keuangan negara. Hal ini tidak bisa dilepas pisahkan dengan kebutuhan negara dalam penanganan Covid-19.

Perpu No.1 Tahun 2020

Jika dibaratkan dua sisi mata uang, maka penanganan Covid-19 dan menjaga stabilitas dan perekonomian negara tidak bisa dipisahkan. Satu sisi Perpu sebagai payung hukum kebijakan dalam menjaga stabilitas perekonomian. Karena bagaimanapun pemerintah membutuhkan uang yang besar. Sehingga diperlukan repositioning anggaran untuk membiaya segala kebutuhan penanganan Covid-19 dan tetap menjaga stabilitas perekonomian negara.

Pada sisi yang lain pandemi corona virus sebagai masalah utama atau primary problem yang harus diatasi. Jadi, ada semacan harapan pemerintah agar Perpu ini berperan terhadap penanganan virus corona di Indonesia dan dapat meringankan beban masyarakat.

Secara aktual setelah keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2020 hampir semua kementerian dan pemerintah daerah telah melakukan reposisi anggaran dan APBD untuk penanganan virus corona. Artinya Perpu telah diterapakan secara hukum sebagai basis hukum dalam penanganan Covid-19.

Dalam konteks itu Perpu merupakan kebijakan responsif yang dalam menyiapkan anggaran yang cukup sesuai kewenangan Presiden. Karena dalam hal terjadi kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan Perpu sebagaimana kewenangan yang diberikan Presiden dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945.

Namun dalam konteks lain ada hal yang perlu diwaspadai soal bagaimana penggunaan dan pengawasan anggaran yang dikeluarkan pemerintah dan pemerintah daerah. Juga bagaimana sistem bentuk pengawasan dan akuntabilitas. Kita belum mendengar seperti apa langkah-langkah yang akan dilakukan institusi penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, KPK. Termasuk juga lembaga pengawas keuangan seperti BPK, BPKP, maupun inspektorat.

Baca Juga  Pasca Pandemi, Era Covid-19 Akan Kita Rindukan

Potensi Tirani

Indikator lain jika ditelisik lebih dalam ada pengaturan yang bersifat eksesif atau diluar normal kelaziman dalam Perpu ini. Jika direnungkan secara akademik berpotensi melahirkan tirani kekuasaan dalam arti kekuasaan menumpuk di satu tangan kekuasaan eksekutif. Tidak dapat disoal secara hukum atau diimbangi oleh kekuasaan lain seperti legislatif maupun yudikatif.

Dalam tradisi pemerintahan tirani, penguasa cenderung menjadi korup dan menggunakan kekuatannya untuk menguntungkan kepentingannya. Ataupun kepentingan kelompok oligarki yang ada di sekitarnya dari pada untuk kepentingan bersama.

Potensi ini sedikit banyak terlihat dalam konstruksi hukum yang dibangun dalam substansi  Perpu. Ada kecenderungan memberikan keistimewaan pihak eksekutif untuk mengambil kebijakan keuangan tanpa bisa dikontrol. Kebijakan tersebut pun tidak bisa dipersoalakan secara hukum dan disertai ancaman pidana dan denda bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan kebijakan tersebut.

Hal ini dapat dilihat dalam sejumlah pasal dalam Perpu No.1 Tahun 2020 seperti

  1. Pasal 9 yang memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberi fasilitas kepabeanan.
  2. Pasal 11 penyertaan modal dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk investasi pemerintah.
  3. Kewenangan yang diberikan kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam Pasal 15 untuk melakukan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan.
  4. Pasal 24  bahwa dalam rangka permasalahan stabilitas sistem keuangan Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Sementara ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Dapat dibayangkan peran sentral lembaga keuangan. Mereka diberikan mandat hukum untuk langsung mengatur syarat dan tata cara. Padahal secara umum ketentuan syarat biasanya diatur pada level undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan presiden.

Sementara tidak dibuatkan mekanisme pengawasan atau pemeriksaan keuangan dari BPK. Juga tidak ada kontrol termasuk persetujuan kebijakan dari pihak DPR atau persetujuan Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan.

Bahaya Bagi Negara

Hal yang sama kewenangan yang diberikan kepada Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pelaksana kebijakan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Termasuk tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara

Baca Juga  Disrupsi Agama dalam Masyarakat Digital

Diaturnya sejumlah pasal-pasal istimewa tersebut dalam konteks prinsip hukum negara pengaturan seperti ini berbahaya. Menjadi potensi terjadi penyimpangan kekuasaan di tengah terjadinya krisis sedikit berlebihan. Sebab tanpa imunitas pun pemerintah sepanjang membuat kebijakan dengan itikad baik berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak menjadi masalah.

Namun pada sisi akuntabiltas dan semangat pemberantasan korupsi sesuai dengan prinsip negara hukum, pengaturan seperti itu tidak relevan secara hukum. Sebab sistem regulasi atau ius constitutum yang berlaku di Indonesia tidak diperbolekan melakukan korupsi di tengah bencana dan hukumannya pidana mati.

Sehingga pengaturan pasal-pasal yang riskan seperti ini perlu ketelitian dan kehatia-hatian ekstra dan tidak main-main. Agar penggunaan mandat hukum seperti ini tidak boleh disalahgunakan, karena yang dikhawatirkan jika terjadi kejahatan jabatan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Karena jabatan-jabatan yang diberikan proteksi untuk tidak dihukum, dalam pengalaman bernegara sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan di situasi darurat seperti ini. Jangan sampai timbul suatu penyimpangan suatu maksud untuk melakukan suatu kejahatan tertentu. Kita tidak ingin dengan adanya ketentuan dalam pasal-pasal tersebut membuka potensi penyalahgunaan.

Setiap Rupiah Berharga

Kebijakan dalam suasana kedarutan seperti ini bisa membawa kebaikan bagi bangsa. Namun juga potensi untuk disalahgunakan sebagai penyalahgunaan wewenang. Kita tidak berharap seperti yang pernah terjadi dalam kasus Bank Century dan kasus BLBI.

Saat itu kondisi krisis, KKSK dan Bank Indonesia melakukan penyelamatan ekonomi sehingga dikucurkan bantuan dana likuiditas dari Bank Indoneisa sebesar 147,7 triliun kepada 48 bank yang hampir bangkrut pada krisis moneter 1998.

Sementara dana bailout 6,7 triliun diberikan kepada Bank Century pada tahun 2008. Namun, dana tersebut banyak dikorupsi diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Hal ini tidak kita harapkan di rezim saat ini seiring keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2020.

Baca Juga  Semangat Dakwah Boleh, Tapi Harus Diimbangi Pengetahuan

Bisa dibayangkan berapa beban kerugian negara yang harus ditanggung oleh rakyat, jika penanganan dampak Covid-19 tidak akuntabel dan sia-sia. Setiap rupiah berharga sehingga harus benar-benar bermanfaat untuk keselamatan rakyat dan perekonomian negara.

Belum lagi kebijakan penambahan utang negara di tengah pandemi Covid-19 akan menjadi beban negara di masa mendatang. Seperti pada Maret lalu Bank dunia sudah menyetujui pinjaman 300 juta US dollar kepada pemerintah Indonesia. Bahkan Bank Dunia juga sudah menyiapkan dana US$ 14 miliyar yang bisa segera cair untuk penanggulangan Covid-19.

Hal ini menyebabkan terjadinya defisit anggaran bisa mencapai 853 Triliun tahun ini yang sebelumnya diperkirakan hanya sekitar Rp. 307,2 triliun (Tempo, April 2020).

Semoga Jadi Perhatian Serius

Dengan Perpu seperti ini apalagi jika disetujui DPR menjadi UU, jangan sampai pemerintah berpikir untuk lebih agresif menambah lagi utang dengan alasan penyelamatan perekonomian untuk penanggulangan Covid-19. Inilah yang diharapkan menjadi perhatian serius oleh DPR.

Sebab DPR nantinya tidak bisa lagi mengotak-atik isi Perpu, tidak bisa lagi ada perubahan dalam konstitusi diberikan batasan soal Perpu. DPR hanya menerima atau menolak, yes or no, sehingga harus hati-hati menjalankan wewenangnya. Sebab jika mau direvisi tentu ditetapkan dulu menjadi undang-undang baru bisa diajukan untuk dilakukan perubahan. 

Dalam kondisi kedaruratan seperti saat ini nalar hukum tetap harus bekerja dengan baik. Hukum bekerja tetap atas nalar yang sehat dan positif dengan mempertahankan prinsip-prinsip negara hukum Pancasila, juga prinsip-prinsip good governance.

Penegakan hukum pun tetap jalan dan harus ditegakkan dengan adil dan tanpa pandang bulu. Agar memastikan negara tetap berada di jalan yang benar dan bisa melewati cobaan ini tanpa meninggalkan beban sejarah buruk bagi generasi bangsa di masa mendatang. Semoga saja.

Editor: Nabhan

Avatar
3 posts

About author
Dr. Nasaruddin Umar, SH, MH, staf pengajar di Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *