Munculnya gerakan feminisme belakangan ini menjadi bukti bahwa terdapat banyak permasalahan mengenai kesetaraan gender. Sudah banyak sekali tulisan yang bersifat ilmiah maupun non ilmiah yang membahas isu kesetaraan gender dengan berbagai macam perspektif.
Pada tulisan ini penulis akan membahas isu kesetaraan gender dari sudut pandang para sufi atau orang yang mendalami ilmu Tasawuf. Perdebatan yang kerap terjadi misalkan mengenai hak-hak sosial dan politik perempuan yang ditindas oleh laki-laki, sebenarnya tidak akan habis perdebatan mengenai hal ini jika kita tidak melihat permasalahan ini secara konseptual dan filosofis.
Para sufi selalu membahas segala sesuatu tidak secara pragmatis, namun mereka selalu membahas suatu isu dengan berusaha menarik kepada akar dari hal yang sedang dibahas.
Para sufi memandang segala hal yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya adalah nondualitas. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 30 yang menyatakan “… bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya…”.
Ayat ini ditafsirkan oleh para sufi bahwa dulu sebelum diciptakan kehidupan manusia di bumi segalanya adalah padu kemudian Tuhan jadikan di bumi dualitas seperti gelap-terang, ingat-lupa, baik-buruk, dan termasuk Laki-laki-perempuan. Mereka menganggap tidak ada satu pihak di antara dualitas tersebut yang mengungguli pihak yang lainnya.
Maka di Al-Qur’an disebut umat wasathon yang terjemahan literalnya adalah di tengah (wasit), adil, atau moderat. Di pahami oleh Sufi orang yang wasathon adalah yang telah melampaui dualitas, ia sudah dapat berlaku adil tanpa mendiskriminasi pihak manapun sebagaimana yang dilakukan oleh seorang wasit sepakbola.
Kehidupan di dunia ini tidak akan mencapai harmonis jika kita semua tidak bisa berlaku moderat contohnya yaitu masih saja melakukan diskriminasi terhadap perempuan sebagai salah satu pihak dalam dualitas tersebut.
***
Mari kita membahas pandangan kaum sufi terhadap kesetaraan gender. Para sufi sebagai orang yang meniru gaya hidup Nabi dengan kaffah dikenal sebagai orang yang sering menjelaskan konsep filosofis mereka mengenai sesuatu lewat puisi-puisi yang sangat indah.
Salah satunya adalah Syekh Ibnu Arabi yang dalam kitab Tarjumanul Asywaq karangannya mengatakan bahwa perempuan adalah Tajalli paling sempurna dari Tuhan. Tajalli dalam ajaran tasawuf adalah pengejawantahan sifat dan asma-Nya ke dalam makhluk-Nya, dalam artian ini bahwa seluruh makhluk yang ada di alam semesta merupakan pantulan dari keindahan Tuhan.
Lebih lanjut, bagi Ibnu Arabi perempuan adalah pantulan terindah dari cahaya Tuhan. Bahkan, jika kita telaah para sufi berpendapat bahwa asma’ yang paling utama dari Allah adalah rahman dan rahiim yang artinya penyayang atau belas kasih. Kalimat pertama dalam Al-Qur’an pun adalah Bismillahirrahmanirrahiim yang mana ini menunjukkan utamanya sifat rahman dan rahim dari Allah itu sendiri.
Di dalam Al-Qur’an pun bisa kita temukan bahwa satu-satunya wujud konkrit yang disebut rahiim adalah suatu organ yang ada di tubuh perempuan yaitu rahim yang merupakan tempat berkembangnya janin. Betapa istimewanya seorang perempuan yang menjadi Tajalli atau manifestasi dari sifat Allah yang paling utama yaitu Ar- Rahiim.
Sebenarnya kaum Sufi lebih menitikberatkan aspek laki-laki dan perempuan kepada sifat batiniah, bukan sebagai wujud fisik semata. Mereka memandang bahwa laki-laki dan perempuan secara esoteris atau batiniah merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan.
Dan kedua sifat itu, harus ada dalam diri setiap laki-laki ataupun perempuan. Hal ini persis seperti Yin dan Yang dalam filsafat Cina (Taoisme). Sebelum membahas pemahaman sufi terhadap hal tersebut, mari kita bahas makna manusia secara filosofis terlebih dahulu.
***
Manusia dan kemanusiaan merupakan dua hal yang berbeda, dalam bahasa Arab manusia disebut insan yang arti sebenarnya adalah intim, akrab, atau harmonis. Jika mengacu pada makna konseptual tersebut, maka banyak sekali manusia di muka bumi ini yang tidak layak dikategorikan sebagai manusia.
Kemudian, dalam Al-Quran disebut bahwa hubungan antara dzakar (laki-laki) dan untsaa (perempuan) adalah “zawjayn” yang artinya pasangan dengan posisi setara.
Lalu jika kita perhatikan kata “dzakaar” yang dimaknai sebagai Laki-laki, sebenarnya term itu satu akar kata dengan “dzikir” yang artinya Ingat. Maka bila banyak yang berpendapat bahwa hanya laki-laki (dzakaar) saja yang boleh menjadi pemimpin, mungkin lebih tepat dipahami orang yang boleh memipin adalah orang yang “ingat”.
Baik ingat terhadap tugasnya di hadapan manusia dan ingat tugasnya dihadapan Tuhan. Maka yang ditekankan bukanlah apa gender bahkan jenis kelamin fisiknya, namun kualitas diri yang ada pada seseorang.
Pandangan sufi yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin ini terbukti dengan banyaknya tokoh besar sufi dari kaum perempuan contohnya yaitu Rabiah Adawiyah yang pengaruhnya sangat besar di kalangan sufi.
Kalau kita mau melihat pada sejarah di Jawa, banyak pemimpin perempuan seperti Ratu Sima yang membawa Kerajaan Kalingga pada masa keemasan dan Ratu Tungga Dewi yang menjadi peletak dasar kebesaran Majapahit.