Zaman pra Islam atau sebelum Islam datang, orang Arab menganggap kemampuan membaca dan menulis itu adalah sesuatu yang hina. Sebab bangsa Arab punya budaya ‘mengagungkan hafalan’, bahkan dalam titik yang ekstrim mereka menganggap hafalan yang kuat adalah identitas orang Arab.
Maka orang Arab menganggap kebutuhan membaca dan menulis hanya diperuntukkan untuk orang orang yang lemah hafalannya. Ini sekaligus membantah bahwasannya orang Arab tidak bisa membaca dan menulis karena tidak memiliki akses terhadap membaca dan menulis.
Kita semua tahu mayoritas profesi orang Arab ialah pedagang ulung dan suka melakukan perjalanan jauh. Mekkah juga dikenal luas sebagai salah satu pusat kebudayaan dan perekonomian terbesar di dunia. Hal ini memungkinkan persinggungan dengan negara-negara yang telah melek membaca dan menulis seperti Mesir yang terletak di Afrika, yang mana di Mesir ditemukan banyak tulisan kuno menandai kecakapan mereka dalam menulis dan membaca jauh sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad Saw.
***
Tradisi hafalan orang-orang Arablah yang menjadi penyebab kenapa Nabi Muhammad Saw tidak bisa membaca. Nabi Muhammad Saw adalah manusia paling cerdas saat itu di Mekkah, manusia yang punya kemampuan hafalan yang paling kuat. Namun anehnya, perintah Al-Qur’an yang pertama kali adalah Bacalah, perintah yang justru menggugurkan anggapan bangsa Arab bahwasannya membaca adalah sesuatu yang hina. Sehingga hal ini memberikan dampak dalam beberapa hal;
Pertama, Kewajiban menghafal itu adalah tradisi bangsa Arab bukan kewajiban yang harus dibanggakan secara berlebihan. Ketika Islam diturunkan, Islam tidak melarang kita untuk menghafal bahkan Islam banyak menyebutkan ganjaran bagi mereka yang menghafal. Namun yang dianjurkan dalam Islam adalah kemampuan umat Islam untuk membaca dan menulis bukan menghafal. Maka sudah selayaknya anjuran bagi umat Islam untuk membaca dan menulis harus lebih disebarluaskan dengan gegap gempita dan dipraktekkan dengan penuh semangat.
Kedua, ada perbedaan yang sangat besar antara membaca dan menghafal. jika menghafal tujuannya ialah agar kita ingat, sedangkan tujuan membaca ialah agar kita faham dan hanya dari pahamlah lelaku umat Islam menjadi baik sesuai yang Allah SWT maktubkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Kita melihat Umat Islam hari ini membangun sekolah-sekolah hanya untuk menghafal dan menjadikan hafalan program utama/unggulan, namun apakah tujuan kita semua hanya untuk hafal? banyak ayat dan hadist namun tidak paham serta tidak berkewajiban mengamalkannya?
Bahkan banyak orang tua serta guru yang memahami tujuan anak atau murid bisa membaca agar kita bisa menghafal saja bukan untuk memahami, sehingga ketika kita hafal kita menganggap itu adalah tujuan akhir dari menjadi Muslim yang baik dan menjadi sertifikat tanda anak kita telah berhasil. Sehingga kita lupa mengamalkan ajaran Islam dengan baik.
***
Ketiga, perintah membaca kepada Nabi Muhammad Saw yang merupakan manusia yang paling kuat hafalannya, adalah bentuk penegasan. Sebab jika perintah membaca turun kepada orang yang sudah bisa membaca, maka bisa dipastikan orang itu lemah hafalannya dan dianggap pengarang bebas. Sebab justru karena Nabi Muhammad Saw tidak bisa membaca menandakan Nabi Muhammad adalah manusia paling cerdas saat itu.
Keempat, Umat Islam semuanya setara, yang membedakan kita hanyalah level ketaqwaan dimana hanya Allah SWT yang berhak menilai. Pengetahuan akan fakta ini tentunya jadi bahan evaluasi kita untuk tidak merasa cukup dan berbangga berlebihan ketika kita atau anak-anak kita mempunyai hafalan yang banyak, sebab ini hanyalah dalam rangka menyemarakkan tradisi dan bukan tujuan akhir perjalanan belajar anak.
Kita cenderung marah dan kecewa jika kita atau anak-anak kita sulit menghafal, sehingga muncul pikiran bahwa mereka yang mudah menghafal dan memiliki hafalan yang banyak punya derajat yang lebih tinggi. Kemarahan dan kekecewaan ini tentunya melupakan kita bahwa mengamalkan Al-Qur’an dan Hadist adalah cita-cita yang paling luhur.
Kelima, ketika kita mengetahui bahwa membaca adalah anjuran yang lebih penting, maka satu-satunya kemampuan yang seharusnya diwajibkan adalah kemampuan untuk menulis. Selain digunakan untuk menyimpan pemahaman kita sehingga kita bisa berkonsentrasi untuk membaca bacaan yang lebih banyak, tulisan juga dapat mendokumentasikan seberapa dalam kita memahami apa yang kita baca, sehingga kita dapat terus belajar serta bertukar pemahaman.
Menulis dan membaca adalah tahapan paling dasar sekaligus paling penting dalam membangun puzzle peradaban yang akan dikembangkan dalam bentuk yang lebih beragam di seluruh sektor keilmuan sesuai minat, bakat, dan kemampuan masing-masing individu.
Keenam, ajaran Islam terjaga sampai hari ini bukan karena kuatnya hafalan orang-orang Arab, namun ajaran Islam terjaga karena adanya perintah membaca dari Allah SWT dalam Al-Qur’an.
***
Sebab pada saat itu, Umat Islam disadarkan dengan banyaknya penghafal Al-Qur’an yang wafat saat perang. Umat Islam khawatir dengan wafatnya penghafal, maka hilang pula Al-Qur’an dari muka bumi. Sehingga untuk menyebarkan dan memperluas isi Al-Qur’an kepada Umat Islam yang sudah melek membaca adalah dengan menulis dan membukukannya. Hal ini juga adalah skenario dari janji Allah SWT dalam menjaga keaslian Al-Qur’an.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk menghilangkan rasa bangga di hati orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang mengunggulkan hafalan, atau mematikan lembaga sekolah yang program unggulannya hanya hafalan Al-Quran. Namun tulisan ini diniatkan untuk menjawab pertanyaan: “Kenapa Umat Islam menjadi umat yang paling sedikit menyumbang keilmuan dalam membangun peradaban umat manusia?”.
Dalam kasus ini adalah salah satu contoh jawaban besar kenapa Umat Islam tidak berkembang, yaitu seringnya Umat Islam mensakralkan tradisi yang bukan Islam. Contoh lainnya seperti sakralitas kitab Fathul Izzar, Ta’lim Mutaalim dll- yang semuanya adalah karangan ulama terdahulu yang seharusnya tidak dijadikan kemutlakan sehingga mengganggu kedinamisan ajaran Islam. Saya tidak mengatakan kitab-kitab atau tradisi hafalan itu 100% salah, namun menjadi sebuah kekeliruan besar jika mempercayai semua itu adalah ajaran Islam yang tanpa ada cela perbaikan dan evaluasi.
Dalam konteks hafalan, tujuan Allah SWT menganjurkan kita membaca adalah agar kita paham dengan baik apa yang Allah SWT firmankan dan hanya dengan pemahaman itulah kita akan sibuk melatih diri untuk mengamalkan kebaikan. Sekali lagi, saya tidak anti terhadap kegiatan menghafal. Saya hanya anti jika menjadikan hafalan sebagai tujuan paling akhir yang bisa kita banggakan ketika ada yang bertanya; “kamu sudah hafal berapa? Anak kamu sudah hafal berapa?”- tanpa perlu membaca, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Wallahua’lam bi Muradi.
Editor: Soleh