Review

Membaca Disertasi Amien Rais (2): Kebangkitan Ikhwanul Muslimin

4 Mins read

Gerakan Ikhwanul Muslimin

Sebagaimana telah saya diskusikan di tulisan sebelumnya, Dr. Rais mengilustrasikan argumennya dalam studi kasus Ikhwanul Muslimin (“Ikhwan”). Beliau melakukan penelitian lapangan di Mesir selama setahun lebih. Bahkan sempat mengambil kelas di Al-Azhar juga untuk memperdalam bahasa Arab dan Islam. Di penelitiannya, Dr. Rais melihat bahwa Ikhwan dalam sejarahnya mendorong perubahan sosial masyarakat Mesir. 

Dr. Rais mendeskripsikan dengan detil sejarah perkembangan Ikhwan. Di Bab II dan III, Dr. Rais mendiskusikan sejarah dan ideologi gerakan Ikhwanul Muslimin. Dr. Rais merekonstruksi ulang sejarah gerakan Ikhwan dari dari kemunculannya sebagai gerakan Pan-Islamis di masa Al-Banna hingga kemudian bertransformasi menjadi gerakan politik nasional di tahun 1940an.

Pan-Islamisme Ikhwan cukup kental dalam pemikiran Hasan Al-Banna. Terutama dalam responsnya terhadap ‘nasionalisme’ dan pemikirannnya tentang ‘persatuan umat’ (h. 28).

Perubahan Ikhwanul Muslimin

Namun, tentu Ikhwan juga berubah. Di tahun 1940an, Ikhwan terlibat friksi dengan rezim raja Faruq dan perdana menterinya, Mahmud Nuqrasyi Pasya. Hal ini kemudian berujung pada pembunuhan Hassan Al-Banna dan iparnya, Abdul Karim Mansyur, di tahun 1948.

Ikhwan kemudian menjalin hubungan dengan para perwira muda seperti Jamal Abdul Nasser dan Muhammad Najib, lalu mendukung kudeta mereka di tahun 1952.

Namun, hubungan ini tidak bertahan lama. Elit-elit Ikhwan dan para perwira muda berselisih setelah Nasser mengambil alih kekuasaan di tahun 1953. Setelah percobaan pembunuhan terhadap Nasser yang gagal di tahun 1955, juga sikap kritis Ikhwan yang menolak nasionalisasi Terusan Suez, Nasser memerintahkan penangkapan besar-besaran dan pembubaran Ikhwanul Muslimin. Hal ini berujung pada memudarnya kiprah Ikhwan sebagai gerakan politik di Mesir.

Di sini, Dr. Rais juga menceritakan perpecahan Ikhwan antara kaum-kaum moderat pimpinan Hassan Al-Hudaiby – Pemimpin Besar Ikhwan sepeninggal Hassan Al-Banna – dengan kaum garis keras yang menghendaki peran politik lebih besar dan menggunakan kekerasan dalam politik.

Baca Juga  Menyadari Post-truth dan Mengungkap Dajjal

Di sini, friksi terjadi antara Hudaiby dan wakilnya, Umar Tilmisani, serta kelompok garis keras pimpinan Salih Ashmawi dan Sayyid Sabiq. Kelompok garis keras ini terlibat dalam rencana pembunuhan dan kudeta terhadap rezim Nasser, yang malah berujung pada ‘purge’ zaman Nasser. 

Kelak, kaum moderat pimpinan Hudaiby mengambil alih tampuk kepemimpinan Ikhwan, setelah mengalami masa-masa suram di penjara rezim Nasser. Tahun 1960an, Hassan Al-Hudaiby meninggal dunia. Sepeninggal beliau, Umar Tilmisani memimpin Ikhwan, mengonsolidasi aktivis muda Ikhwan seperti Abd Mun’im Abul Futuh dan Issam Al-Iryan, dan mendorong reformasi Ikhwan. Tilmisani segera bernegosiasi dengan Anwar Sadat –yang menggantikan Nasser—dan berhasil memberikan ruang gerak lebih besar bagi Ikhwan.

Kebangkitan Kembali Ikhwanul Muslimin

Di Bab IV, Dr. Rais mendiskusikan kebangkitan kembali Ikhwan di masa Sadat, yang membebaskan para pemimpin Ikhwan dan membuka ruang gerak bagi aktivis Ikhwan di masyarakat, kendati ia tetap menjadi organisasi terlarang.

Di Bab tersebut, Dr. Rais mendiskusikan respons dan penolakan Ikhwan terhadap Perjanjian Camp David tahun 1978, serta kritik Ikhwan terhadap kebijakan “infitah” (keterbukaan) yang digagas oleh Sadat. Dr. Rais juga melihat bahwa Ikhwan mencoba untuk membikin partai politik Islam, meski tidak diperbolehkan oleh Sadat.

Penelitian Dr. Rais menganalisis Ikhwan hingga masa Sadat, dan tidak banyak mengupas perkembangan setelahnya. Tentu perlu dipahami karena Disertasi Dr. Rais selesai di tahun 1981.

Bagian setelah ini sebenarnya menarik, karena Ikhwan mulai tampil di ranah publik melalui LSM, membuat perusahan besar, membikin serikat pekerja dan profesi, dan yang utama mengelola masjid- masjid dan membikin kelompok di kampus-kampus. Di masa ini juga Ikhwan mulai menyebar ke belahan dunia lain, tidak terkecuali di Asia Tenggara.

Saya mendiskusikan Ikhwan setelah masa Sadat ini di buku saya, “Dakwah dan Kuasa”., yang mengupas peran Ikhwan dari masa Mubarak hingga kudeta di tahun 2013.  

Baca Juga  Perjumpaan Jawa dan Islam dalam Lokalitas Budaya Nusantara

Catatan Kritis

Penelitian Dr. Amien Rais cukup menarik dan perlu diapresiasi, karena tidak hanya mendeskripsikan ‘Ikhwan’ dengan data historis dan sejarah intelektual yang kuat, tetapi juga mengkritik dan membangun teori tentang hubungan agama dan politik.

Dr Rais mengkritik teori-teori modernisasi dan sekularisasi dan menawarkan alternatif yang berpijak pada tradisi pemikiran dan gerakan Islam yang kaya. Konseptualisasi tersebut mendorong konseptualisasi agama dan politik yang lebih kompleks, dengan mempertimbangkan fakta bahwa agama punya peran ‘intelektual’ dalam proses perubahan sosial dan harus diperhatikan. 

Memang, teori-teori yang dikritik Dr. Rais (dan mungkin juga Disertasi beliau) kurang begitu relevan dalam perkembangan literatur-literatur tetang gerakan Islam hari ini.

Dengan berkembangnya teori-teori kritis tentang Islam sebagaimana dikembangkan oleh Salman Sayyid, Talal Asad, atau Saba Mahmood, pemahaman tentang Islam dan politik menjadi lebih kompleks.

Ada pertimbangan tentang respons Islam terhadap kolonialisme, dan aspek diskursif yang membuat kita tidak lagi memahami gerakan-gerakan Islam semata sebagai gerakan yang ingin ‘kembali pada masa lalu’, tetapi juga mereka mencoba mengartikulasikan identitas mereka di tengah perkembangan kapitalisme kontemporer.

Salah satu yang juga perlu diapresiasi dari penelitian Dr. Rais adalah padat dan detilnya penjelasan sejarah yang beliau lakukan tentang Ikhwan. Ada satu contoh di sini. Dr. Rais mendeskripsikan bagaimana kelompok garis keras Ikhwan terlibat dalam kudeta gagal melawan Nasser.

***

Dr. Rais menggunakan kecakapannya dalam membaca dokumen berbahasa Arab, menganalisis beberapa dokumen semacam “Ila al-Ikhwan” (pamflet propaganda kelompok garis keras) dan represi Nasser setelah insiden penembakan di Iskandariah, serta respons rezim Nasser yang dipublikasikan dalam bukyu “Jara’im Al-‘Asabah al-Ikhwan yang diterbitkan oleh pemerintah Mesir. Beliau mendapatkan dokumen-dokumen ini dan mendiskusikannya secara kritis di Disertasi beliau.

Baca Juga  Kritik Farag Fouda terhadap Perindu Khilafah Islamiyah

Disertasi Dr. Amien Rais adalah cerminan dari kajian dan riset yang serius. Riset semacam ini bisa dilakukan dengan dukungan beasiswa untuk studi, serta lingkungan riset yang juga menunjang.

Meskipun Dr. Amien Rais di kemudian hari tidak banyak melanjutkan risetnya secara mendalam dan lebih memilih aktif di Muhammadiyah dan kemudian politik, riset semacam ini perlu jadi bahan pembelajaran para mahasiswa Doktoral yang sedang belajar dan menulis tesis, baik di dalam maupun luar negeri.

Yang disayangkan adalah riset tentang Ikhwan dari Dr. Amien Rais terlihat seperti ‘berhenti’ selepas beliau lulus Doktoral. Padahal sebenarnya riset Doktoral hanya permulaan dari karier akademis yang panjang.

Penelitian ini bahkan tidak dibukukan, padahal saya yakin kualitasnya bisa dibukukan di penerbit Universitas bagus semacam Harvard University Press atau Columbia University Press. Pak Amien lebih tertarik menjadi intelektual publik dan kemudian politikus di kemudian hari. Di masa itu, peneliti Indonesia memang tidak banyak menulis penelitian yang melanjutkan Disertasi Doktoral.

‘Ala kulli hal, membaca Disertasi Dr. Amien Rais ini memberikan kita perpektif yang menarik bukan hanya untuk memahami gerakan Islam, tetapi juga member refleksi tentang riset Doktoral.

Kita perlu mengapresiasi riset Dr. Rais yang serius dan menarik ini, kendati mungkin kita tidak sependapat dengan politik beliau belakangan ini. Riset Dr. Rais berkontribusi untuk memberikan pemahaman terhadap Ikhwanul Muslimin dan peran sosial politiknya di Mesir, yang secara teoretis juga memberikan kritik terhadap teori sekularisasi dan modernisasi dalam ilmu sosial.

Yang mengantarkan kita pada satu refleksi akhir: inilailah seorang Doktor dari riset dan Disertasinya, bukan semata dari gelar apalagi hanya kiprah politiknya.

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.

Editor: Yahya FR

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
12 posts

About author
Kader Muhammadiyah tinggal di Aberystwyth, Wales. Sehari-hari menulis, meneliti, dan mengajar politik internasional. Pernah jadi Ketua Muhammadiyah Ranting Queensland (2020-2024) dan Wakil Ketua Muhammadiyah Cabang UK (2015-2017).
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds