Inilah zaman kemajuan.
Ada sirup rasa jeruk dan durian.
Ada keripik rasa keju dan ikan.
Ada republik rasa kerajaan.
Itulah sepenggal dari puisi Gus Mus yang dibacakan pada perhelatan di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah dua minggu yang lalu. Tentu banyak yang mengapresiasi dengan gelak tawa dari penonton yang hadir pada waktu itu. Puisi yang berjudul Zaman Perubahan, sejatinya puisi yang ditulis oleh Gus Mus pada 30 tahun yang lalu sebagai bentuk perlawanan terhadap orde baru. Namun Gus Mus kembali membacanya pada zaman sekarang. Mungkin kita bertanya-tanya, apakah puisi lama Gus Mus itu masih relevan untuk dibaca kembali saat ini?.
Namun sebelum kita membahas lebih jauh dari pembahasan kita dalam tulisan ini. Saya ingin mengajak pembaca untuk mereview ulang makna tentang negara republik dan bagaimana sistem Kerajaan berjalan. Sebab ini akan berkaitan langsung dengan maksud tulisan saya kali ini. Dimana puisi Gus Mus lumayan mendapat tatapan tajam bagi para pengamat termasuk juga media online.
Bentuk pemerintahan republik adalah sistem politik di mana kepala negara dipilih oleh rakyat atau wakil rakyat yang mereka pilih. Ini berbeda dengan bentuk monarki di mana kepala negara adalah seorang raja atau ratu yang mewarisi jabatan tersebut. Dalam konteks republik, jabatan kepala negara biasanya memiliki batas waktu tertentu dan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Sudah puluhan tahun Indonesia menjadi negara yang berbasis sebagai negara republik dengan sistem demokrasi yang terus berkembang. Tapi rasa-rasanya belum lama ini demokrasi Indonesia diguncang dengan gelaran putusan Mahkamah Konstitusi dengan disahkannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikabulkan oleh MK pada akhir Oktober lalu. Putusan tersebut menyebutkan, Capres-Cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Tentu ini memicu banyak pertentangan pendapat dari berbagai kalangan akademisi atau pun masyarakat umum. Keputusan ini tentu menjadi perbincangan publik karena dinilai Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh Anwar Usman sekaligus adik Ipar Presiden Joko Widodo memberikan karpet merah kepada sang putra mahkota untuk maju ke dalam kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 2024 mendatang.
Saya tidak tahu apa yang dimaksud Gus Mus sebagai ulama sekaligus budayawan ternama itu dalam puisinya. Namun banyak yang mengira puisi tersebut adalah bentuk sindiran kepada kepala negara saat ini. Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita saat ini, dengan rasa penasaran dari isi seluruhnya pada puisi Gus Mus tersebut. Sebab, beliau tidak melanjutkan bait-bait puisi yang termaktub dalam puisinya itu hingga selesai. Selain sebagai karya, isi puisi tersebut menurut penulis nampaknya sebagai sentilan untuk pemegang kekuasaan di Indonesia saat ini. Meskipun, itu tidak ditujukan secara langsung oleh Gus Mus.
Saya sendiri sependapat dengan isi puisi tersebut. Jika boleh saya kaitkan dengan apa yang terjadi pada era pemerintahan sekarang. Puisi itu menjadi sebuah sindiran pedas terhadap Bapak Presiden beserta keluarganya. Seperti apa yang kita ketahui sekarang, Bapak, Paman serta keponakan turut andil dalam membuat keputusan. Momentum Anwar Usman sebagai hakim MK dan juga sebagai seorang paman dari Gibran Rakabuming Raka mengesahkan Cawapres yang belum memasuki umur 40 tahun dalam syarat pencalonan. Banyak kalangan yang merasa kecewa dengan keputusan itu, seperti halnya budayawan Gunawan Muhammad yang juga mantan Jurnalis Tempo yang secara blak-blakan menyampaikan kekecewaannya kepada Presiden Jokowi.
Hak istimewa yang diberikan kepada mereka untuk menjalankan konstitusi negara justru dijalankan layaknya sebuah kerajaan. Saya tidak tahu dan tidak mengerti rencana apa yang akan mereka bangun terhadap konstitusi yang sejatinya sudah berjalan puluhan tahun bahkan hampir menginjak usianya satu abad ini. Apa jangan-jangan mereka lupa, semoga saja tidak demikian, bahwa isi konstitusi yang tertulis dalam UUD 45 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan republik.
Kalau kita mengulas kembali sejarah berdirinya Indonesia. Negara ini dibangun dengan susah payah, serta para perumus negara yang tergabung dalam BPUPKI sepakat untuk menjadikan negara Indonesia menjadi negara republik. Tentu, para pendiri sadar, bahwa sistem kerajaan akan tidak cocok dengan negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa suku, ras agama bahkan budaya. Karena sejatinya, negara yang berbentuk kerajaan, akan menjadikan rakyatnya tertutup hak-haknya. Sebab itulah, para pendiri bangsa sepakat untuk membentuk negara Indonesia dengan negara republik.
Kita juga sering membaca UUD 1945 dalam pelajaran kewarganegaraan, bahwa sistem republik sudah termaktub pada awal UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia Ialah Negara Kesatuan yang Berbentuk Republik,” Pasal 1 ayat 1 UUD 1945. Ini sudah menjadi catatan yang berbentuk final, dan mungkin akan susah untuk dirubah dengan sistem yang lainnya. Maka akan menjadi masalah besar, apabila ada yang berani mengutak-atik dengan mudahnya konstitusi yang sudah ada sejak lama.
Budayawan Butet Kartaredjasa juga menyampaikan kekecewaannya pada manuver politik presiden Joko Widodo melalui surat terbuka. Gunawan Muhammad dan Butet mungkin bisa menjadi representasi dari seluruh budayawan Indonesia sekaligus masyarakat Indonesia yang sama-sama merasakan hal yang sama, yaitu kekecewaan terhadap Presiden Indonesia saat ini. Sebab mereka mempunyai sejarah perlawanan terhadap orde baru dengan jalannya masing-masing.
Begitupun dengan Gus Mus. Ulama dari kalangan Nahdliyin tersebut melawan orde baru dengan cara yang halus tapi tajam, yaitu lewat puisi-puisinya. Karena kehalusannya dalam mengkritik, Gus Mus selalu menjadi ulama yang kharismatik di mata orang banyak. Tak heran bila banyak yang kagum dengan sikap Gus Mus yang selalu mengayomi masyarakat yang lemah.
Editor: Soleh
Mantap mas iben, tetap lanjutkan.
Tapi tetap boleh menjem seratuskan !