Perspektif

Membaca Secara Kritis Koalisi Capres dan Ulama di Pemilu 2024

5 Mins read

Capres dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, sebagaimana dilansir oleh Instagram @tvonenews, berjanji menjadikan ulama sebagai penasihat dan tempat berkonsultasi jika dirinya terpilih menjadi presiden. Dirinya juga menyebut bahwa ulama dan kiai bukanlah musuh negara. Hal tersebut diungkapkannya pada Musyawarah Nasional III Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Syathoriyah An-Nahdliyyah Indonesia di Lumajang.

KH. Muhammad Sofyan Al Mursyid bahkan mewajibkan (fardhu ‘ain) untuk mendukung AMIN (Anies-Muhaimin). “Kalau presidennya itu kurang tepat, mau jadi apa bangsa Indonesia itu? Ya negara besar seperti lelucon kalau saya rasakan itu. Ini saya yang tidak terima. Maka saya bulat tekad, dari semua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh seluruh Indonesia saya wajibkan dan fardhu ‘ain untuk memenangkan AMIN.,” tutur KH. Muhammad Sofyan Al Mursyid.

Melihat peristiwa tersebut, kita patut bertanya: Bagaimana sejarah koalisi (capres) pemerintah dan ulama dalam peradaban Islam? Apakah ada kemungkinan motif tertentu dari para ulama yang mendukung pasangan calon tertentu, dan begitu pula sebaliknya, pasangan calon tertentu memilih “menggandeng” ulama tertentu sebagai juru kampanye? Apakah para ulama yang menjadi pendukung rezim tertentu atau rezim tertentu yang “menggandeng” ulama tertentu memiliki rekam jejak sebagai panutan yang mengayomi semua warga negara Indonesia yang beragam identitasnya tanpa terkecuali?

Perlu diingat, tulisan ini tidak bermaksud menyerang atau mendukung paslon tertentu. Semua paslon yang mencoba “menggandeng” ulama dituju oleh tulisan ini.

Sejarah Persekutuan Negara dan Ulama: Mengayomi Semua atau Otoriter?

Dalam bukunya, “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan”, Ahmet T. Kuru menyebutkan bahwa di sebagian “negara Islam”, baik yang sekuler maupun yang merujuk konstitusional pada syariah, ulama berfungsi sebagai otoritas legislatif yang bekerja sama dengan atau dikooptasi penguasa otoriter dengan cara mendorong Islamisasi diskursus publik guna memperkuat posisi politik dan hukum mereka (Kuru, 2021: 72).

Turkiye dan Mesir, misalnya, sama-sama bersemangat mempertahankan masjid di bawah kendali negara dengan menjadikan para imam masjid sebagai pelayan negara dan mengendalikan isi khotbah di sana.

Di Turkiye, penguasaan masjid dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga bernama “Diyanet”. Pada saat-saat kritis, seperti sebelum pemilu, papar Kuru, khotbah-khotbah buatan pemerintah mempropagandakan pandangan-pandangan rezim Erdogan. Erdogan terus mendapatkan dukungan dari mayoritas tokoh ulama meski telah melakukan berbagai tindakan otoriter seperti pemenjaraan puluhan ribu orang dengan dakwaan teror (Kuru, 2021: 73).

Baca Juga  Negara dalam Pusaran Krisis Pendidikan

Di Mesir, pada 1994, jumlah masjid yang dikontrol di Mesir mencapai sekitar 70.000, di mana negara menentukan topik-topik yang akan dibahas khususnya saat khotbah Jum’at. Bahkan, Anwar Sadat dan Husni Mubarak juga pernah “diuntungkan” oleh dominasi atas Al-Azhar dengan cara mengamankan fatwa-fatwa yang melegitimasi kebijakan-kebijakan mereka (Kuru, 2021: 75-76).

Di Iran pada masa Khomeini, para ulama memegang kekuasaan legislatif, yudisial, hingga eksekutif. Iran menjadi rezim semiteokrasi di mana ulama memegang kekuasaan tertinggi. Khomeini berpandangan bahwa Tuhan memberi para ulama wewenang untuk menerapkan syariah melalui pemerintahan negara (Kuru, 2021: 76-77).

Singkatnya, dalam sejarah Islam, pemerintah otoriter menjalin hubungan saling menguntungkan dengan ulama. Ulama memonopoli penafsiran dan memegang hak prerogatif dalam ranah agama, legislasi, kehakiman, dan pendidikan, sekaligus menjadi birokrat yang digaji pemerintah. Pemerintah memanfaatkan legitimasi religius yang diberikan oleh ulama untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya (Kuru, 2021: 295).

Kondisi Kaku Zaman Pertengahan

Kuru menyebut bahwa otoritarianisme modern dalam dunia Islam dijalankan dengan cara melestarikan penafsiran kaku Zaman Pertengahan atas teks-teks Islam oleh para ulama tentang hukuman fisik, kediktatoran, patriarki, pelanggaran privasi, diskriminasi non muslim, dan lain-lainnya yang disalurkan melalui buku-buku madrasah hingga sistem politik.

Salah satu produk kekinian pelanggengan penafsiran tersebut adalah “polisi syariah” atau pejabat moralitas publik yang bertugas menjalankan “amar makruf nahi munkar” seperti memaksa laki-laki salat Jum’at, mencegah laki-laki dan perempuan berbicara di depan umum, menghancurkan alat musik, dan lain-lainnya, yang didirikan dengan berbagai bentuk di berbagai negara seperti Arab Saudi, Iran, Malaysia, hingga daerah tertentu di Indonesia (Kuru, 2021: 79-80).

Padahal, menurut Kuru, negara Islam memerlukan intelektual kreatif yang melahirkan tafsir baru yang kontekstual terkait permasalahan kekinian yakni otoritarianisme, patriarki, dan diskriminasi agama. Namun berbagai hambatan menghalangi perkembangan intelektual Muslim, salah satunya undang-undang penistaan agama dan kemurtadan. Para intelektual yang mengkritik pandangan ulama arus utama keislaman umumnya menghadapi berbagai ancaman, termasuk dicap murtad, antek barat, atau orientalis (Kuru, 2021: 82-83).

Baca Juga  Prof Baroroh Baried (5): Fungsi Wanita dalam Pembinaan Rumah Tangga

Epistemologi kaku penafsiran hierarkis para ulama inilah yang umumnya melahirkan otoritarianisme di berbagai negara Islam, ditambah kontrol atas madrasah, dukungan negara, hingga meminggirkan intelektual yang berbeda paham yang mengkritik pemerintah dan ulama (Kuru, 2021: 84).

Koalisi Capres dan Ulama di Pemilu 2024

Sikap ulama seperti KH. Muhammad Sofyan Al Mursyid di atas yang mewajibkan (fardhu ‘ain) untuk memenangkan AMIN, menurut penulis, tidak menutup kemungkinan memiliki berbagai motif seperti yang disebutkan oleh Kuru, yaitu Islamisasi diskursus publik guna memperkuat posisi politik dan hukum dengan cara memonopoli penafsiran dan memegang hak prerogatif dalam ranah agama, legislasi, kehakiman, hingga pendidikan.

Kalimat “Kalau presidennya itu kurang tepat, mau jadi apa bangsa Indonesia itu? Ya negara besar seperti lelucon kalau saya rasakan itu. Ini saya yang tidak terima.” sama sekali bukan argumen yang logis untuk memilih sosok pemimpin negara. Tidak ada penjelasan mendetail yang logis dari sang ulama terkait “presiden yang kurang tepat” tersebut.

Apakah “presiden yang kurang tepat” tersebut adalah presiden yang tidak memperjuangkan kepastian dan kesetaraan hukum di depan negara, rakyat minoritas yang terzalimi, dan sebagainya, ataukah presiden yang tidak memihak “Islam” terutama kelompoknya sendiri sebagai arus utama?

Jika seandainya pasangan AMIN menjadi presiden dan wakil presiden, sang ulama yang menjadi penasihatnya akan menghadapi tuntutan pembuktian:

Jika presiden dan wakilnya nanti justru memperlakukan istimewa golongan tertentu di depan hukum negara, beranikah sang ulama sebagai penasihatnya menegurnya meski terancam dipecat atau bahkan dibungkam dan diintimidasi? Lebih khusus lagi, bagaimana sikap sang ulama jika justru dirinya sendiri atau golongannya sendiri yang mendapat keistimewaan hukum oleh pemerintah? Apakah sang ulama menentang atau justru menikmatinya?

Di ranah inilah nantinya akan terjawab apakah sang ulama tidak membawa motif tersembunyi berupa monopoli dan ortodoksi penafsiran keislamannya yang tujuan akhirnya adalah memperkuat posisi politik dan hukumnya dalam agenda dukungannya terhadap capres pilihannya ataukah tidak.

Baca Juga  7 Tradisi Unik Ramadan di Indonesia, Kini Tiada Karena Corona

***

Sebaliknya, jika pasangan AMIN terpilih menjadi presiden dan wakil presiden nantinya, klaim mereka yang menyatakan bahwa ingin menjadikan ulama sebagai penasihat presiden, akan menghadapi tuntutan pembuktian:

Apakah AMIN benar-benar mendengarkan nasihat para ulama pilihannya untuk menciptakan kesetaraan semua warga negara di depan hukum negara ataukah tidak? Jika ulama tersebut justru mendorong perlakuan istimewa terhadap golongan tertentu saja atau bahkan golongan mereka sendiri di depan hukum negara, beranikah AMIN memberhentikan ulama tersebut sebagai penasihat presiden?

Contoh yang lebih konkret, misalnya, bagaimana sikap AMIN jika seandainya resmi terpilih menjadi presiden dan wakil presiden terhadap masih banyaknya pelarangan dan penutupan rumah ibadah non muslim di Indonesia? Bagaimana sikap AMIN terhadap perlakuan masyarakat muslim mainstream kepada masyarakat muslim anti mainstream Indonesia seperti Syiah dan Ahmadiyah? Singkatnya, bagaimana sikap presiden dan wakil presiden selanjutnya termasuk para ulama penasihatnya terhadap penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah?

Jawaban atas semua pertanyaan itu akan menentukan apakah persekutuan negara (pemerintah atau calon pemerintah) dan ulama di masa kini mengulangi pola yang sama dengan para pendahulunya ataukah tidak.

Alhasil, sejarah persekutuan antara negara (pemerintah) dan ulama dalam sejarah Islam sebagaimana dijelaskan di atas penting untuk diketahui agar kita bisa menilai dengan baik pola persekutuan tersebut di masa kita sekarang. Apakah persekutuan negara (pemerintah) dan ulama di zaman kita sudah membawa perubahan positif bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali ataukah hanya bagi golongan tertentu saja sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah Islam?

Semua ini penting diketahui dan dipertanyakan, siapapun (calon) pemerintahnya dan siapapun ulamanya. Hal ini lebih substansial untuk dipikirkan dan dipertanyakan bersama agar bangsa ini tidak jatuh pada politik identitas agama yang dangkal dan tidak sehat seperti yang sudah terjadi pada tahun sebelumnya. Tabik.

Editor: Soleh

Muhammad Alwi
11 posts

About author
Mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds