OpiniPerspektif

Membaca Ulang Adat Melayu Dalam Merawat Alam

4 Mins read

tebasnya tidak menghabiskan
tebangnya tidak memusnahkan
bakarnya tidak membinasakan
makan jangan menghabiskan
minum jangan mengeringkan

Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda wilayah Negeri Melayu (mencakup Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh) pada tanggal 25-28 November 2025 disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor meteorologis dan lingkungan. Pertama, bencana ini dipicu oleh intensitas curah hujan ekstrem yang mencapai 130–150 milimeter, jauh di atas batas normal.

Kedua, kondisi cuaca diperparah oleh fenomena sirkulasi siklonik di sekitar Sumatera bagian utara. Fenomena ini kemudian berkembang menjadi Sistem Siklon Tropis ‘Senyar’ yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke arah barat, secara signifikan meningkatkan volume presipitasi.  

Ketiga, faktor kerusakan lingkungan turut memperburuk kondisi; daya tampung wilayah yang menurun akibat kerusakan alam menjadi kontributor utama banjir bandang. Proporsi ideal air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah (infiltrasi) dan yang mengalir di permukaan (runoff) menjadi timpang. Tingginya limpasan permukaan ini, yang sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah yang mengalami degradasi, menyebabkan banjir bandang terjadi dengan dampak yang lebih parah.

Hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat melayu telah dirusak demi kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Data mengejutkan dari Global Forest Watch mengungkap sebuah ancaman nyata yang membayangi Pulau Sumatera. Sejak tahun 2002 hingga 2024, laju deforestasi di pulau ini telah mencapai tingkat yang masif dan mengkhawatirkan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm bahaya yang berdering keras: Sumatera Barat telah kehilangan 320 ribu hektar hutan primer basah, disusul Sumatera Utara yang telah gundul seluas 390 ribu hektar. Bahkan, Aceh pun tak luput, kehilangan hutan seluas 320 ribu hektar. Total kerugian ini menciptakan lubang besar pada ekosistem.

Jika laju kehancuran hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dan penahan bencana alam terus berlanjut, maka kelestarian alam dan keselamatan jutaan penduduk di Pulau Sumatera berada dalam bahaya serius. Kita sedang menyaksikan hilangnya warisan alam yang tak ternilai.

Baca Juga  Islam Berkemajuan Enteng-Entengan

Jauh sebelum wilayah Melayu dikuasai oleh korporasi, masyarakatnya telah memiliki kearifan lokal yang mendalam dalam merawat alam dan lingkungan. Mereka memanfaatkan alam secara kultural, yang berarti eksplorasi alam dilakukan dalam batas-batas kemampuan ekologis alam untuk memulihkan dan mempertahankan dirinya sendiri. Masyarakat Melayu membaca, mengeksplorasi, menjelajahi, menyelidiki, dan mengakrabi lingkungan alamnya dalam hubungan yang saling terkait dan setara. Bahkan, seseorang tidak dianggap sebagai orang Melayu sejati apabila ia tidak mampu hidup selaras dan berdamai dengan alam.

Adat hidup memegang adat, tahu menjaga laut dan selat, tahu menjaga rimba yang lebat,  tahu menjaga tanah adat, tahu menjaga semut dan ulat, tahu menjaga togok dan belat, berumah tidak merusak tanah, berkebun tidak merusak  dusun, berkampung tidak merusak gunung, berladang tidak merusak pedang, adat hidup memegang amanah, tahu menjaga hutan dan tanah, tahu menjaga bukit dan lembah, beladang tidak merusak tanah, berkebun tidak merusak rimba

Konsep Ruang Kehidupan Masyarakat Melayu

Masyarakat Melayu memiliki sistem pemanfaatan ruang alam yang terbagi dengan beberapa kawasan utama yaitu: tanah perkampungan, rimba, tanah peladangan.

Tanah perkampungan merupakan kawasan inti dan pusat kehidupan, dianggap sebagai wilayah yang paling aman dari gangguan binatang buas serta bencana alam dan mudah diakses oleh semua warga. Seluruh siklus kehidupan sosial masyarakat Melayu, mulai dari kelahiran hingga kematian, berlangsung di kawasan ini. Berdasarkan fungsinya, tanah perkampungan ini dibagi lagi menjadi beberapa bagian spesifik: tanah pekarangan berfungsi sebagai lokasi pembangunan rumah; tanah koto dijadikan pusat kegiatan komunal dan adat,  juga digunakan untuk mendirikan masjid, balai adat, rumah adat, dan tempat bersilat; taratak dipergunakan untuk berkebun dan menanam berbagai kebutuhan rumah tangga; dusun dikhususkan untuk menanam pohon yang membutuhkan waktu panen lebih dari satu tahun; tanah pekuburan berfungsi sebagai tempat pemakaman; dan padang pengembalaan digunakan sebagai tempat menggembalakan dan melepaskan hewan ternak.

Baca Juga  Reformasi Pendidikan Berteraskan Tauhid

Dalam konsep masyarakat Melayu, rimba dipandang sebagai sumber kehidupan yang vital dan harus senantiasa dijaga kelestariannya. Kawasan hutan ini berfungsi krusial sebagai tempat penyimpanan air alami serta ekosistem yang menopang keanekaragaman flora dan fauna. Untuk memastikan kelestariannya, adat Melayu mengatur rimba berdasarkan fungsi dan kegunaannya, membaginya menjadi beberapa kategori. Rimba Larangan adalah kawasan yang sama sekali tidak boleh diganggu atau di deforestasi, melarang segala bentuk pembangunan pemukiman, perkebunan, atau peladangan.

Sementara itu, terdapat Rimba Cadangan yang dikhususkan sebagai area untuk ladang dan perkebunan. Kategori yang unik adalah Rimba Kepungan Sialang, yaitu rimba yang secara spesifik ditujukan untuk menjaga kelangsungan hidup pohon sialang. Pohon sialang, dengan ketinggian mencapai 26 hingga 30 meter dan diameter batang lebih dari 100 cm, memiliki peran ekologis penting. Batangnya yang tinggi dan kuat memberikan perlindungan optimal dari predator dan paparan sinar matahari bagi sarang lebah Apis dorsata, sejenis lebah liar yang hingga kini belum berhasil

Tanah peladangan merupakan zona yang secara khusus dialokasikan untuk kegiatan berladang dan berkebun. Area ini memegang peran sentral sebagai pusat logistik pangan, tempat diproduksinya komoditas utama seperti padi, di samping berbagai tanaman musiman, termasuk jagung, kacang-kacangan, sayuran, dan umbi-umbian. Dalam menentukan lokasi tanah peladangan, masyarakat Melayu menerapkan prinsip kearifan lokal dengan mempertimbangkan tiga aspek mendasar secara holistik: ekologis, adat, dan spiritual. Suatu lokasi baru dapat ditetapkan sebagai kawasan peladangan setelah memenuhi persyaratan dari ketiga aspek tersebut, memastikan bahwa aktivitas pertanian berjalan selaras dengan keseimbangan alam dan norma budaya yang berlaku.

Alam Sumber Falsafah Masyarakat Melayu

Bagi masyarakat Melayu, alam bukanlah sekadar sumber kehidupan, melainkan juga merupakan ruang belajar yang utama. Hal ini tercermin dalam adagium yang diwariskan secara turun-temurun, yaitu “Alam takambang jadi guru”(alam terbentang menjadi guru). Prinsip filosofis ini menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan pedoman. Tidak mengherankan jika pepatah, petitih, dan seluruh nasihat adat senantiasa berasal dari fenomena alam yang ada di sekitar mereka, sebagaimana yang terungkap dalam pantun-pantun berikut.

Baca Juga  Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

apabila hidup hendak senonoh
hutan-tanah dijadikan contoh
apabila hidup hendak selamat
hutan-tanah jadikan ibarat
apabila hidup hendak berilmu 
hutan-tanah jadikan guru
apabila hidup hendak terpuji 
hutan-tanah disantuni. 

Bagi masyarakat Melayu, alam dan adat menyatu dalam satu napas kehidupan yang tak terpisahkan. Menjaga kelestarian alam memiliki nilai yang sama pentingnya dengan upaya menjaga adat Melayu agar tidak punah dimakan zaman. Keseimbangan ekosistem bukanlah sekadar isu lingkungan, melainkan fondasi spiritual dan budaya. Tanpa kelestarian alam sebagai sumber daya, inspirasi, dan sistem rujukan, adat Melayu akan kehilangan ruh dan identitasnya. Oleh karena itu, jiwa dari adat Melayu sesungguhnya adalah alam itu sendiri; jika alam rusak, maka adat pun akan hilang dan mati.

Editor : Ikrima

Avatar
5 posts

About author
Dosen UIN Imam Bonjol Padang
Articles
Related posts
Opini

Guru Hebat Sumber Kurikulum Karakter yang Paling Kuat

3 Mins read
Perbincangan tentang pendidikan sering kali berpusat pada kurikulum, metode, dan perangkat pembelajaran. Dokumen demi dokumen disusun dengan rapi, indikator dan capaian dirumuskan…
Opini

Tata Kelola Kota dan Pentingnya Hifz al-Bi’ah

2 Mins read
Kota Jakarta kerap dibaca sebagai simbol krisis ekologis perkotaan: padat, panas, dan rakus energi. Gambaran itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi semakin hari…
Opini

ASLAFI (Aisyiah Salafi): Potret Baru Hibriditas Identitas Keislaman Perempuan Muhammadiyah

2 Mins read
Fenomena Aisyiyah Salafi (ASLAFI) menandai perubahan penting dalam lanskap keberagamaan perempuan Muslim Indonesia. Ia bukan sekadar soal busana atau simbol kesalehan, melainkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *