Kemunduran Demokrasi
Demokrasi | Istri Mao Zedhong pernah berucap bahwa “kekuasaan lebih nikmat daripada seks”. Sebagaimana dalam seks di mana terdapat hasrat “tuk merengkuh dan mengusai tubuh pihak lain”, begitu pula pada kekuasaan.
Jika pada aktivitas seks, tubuh yang ingin direngkuh dan dikuasai hanyalah tubuh (termasuk pikiran di dalamnya) partner seks, dalam momen tertentu dan di ruang yang privat. Maka dengan kekuasaan kita bisa menguasai tubuh banyak orang sekaligus, secara terus-menerus, baik di ruang privat maupun ruang publik.
Maka tak heran jika kekuasaan bisa membuat orang menjadi “kecanduan” hingga “sakau”, siapapun yang telah menggenggamnya akan berupaya tuk tidak melepaskannya, berbuat apa saja untuk mempertahankannya, dan jika lepas akan mencoba segala cara untuk merebutnya Kembali.
Maka, ada benarnya kata Tullock penulis buku “The Politics Bereucracy, the Calculus of Consent: Logical Foundation of a Constitutional Democracy”, bahwa para politisi akan mengikrarkan janji secara berlebihan hanya demi mendapatkan kekuasaan, dan “janji yang diucapkan secara berlebihan” sama artinya dengan “janji yang sedari awal diniatkan untuk diingkari”.
***
Dan sistem politik yang demokratis pun rentan akan hal ini. Demokrasi dengan segala prosedurnya rentan untuk menghasilkan aktor-aktor yang justru mengkhianati nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Menurut Allen Hicken di buku “Demokrasi di Indonesia; dari Stagnasi ke Regresi” (2021), bahwa saat ini kudeta dengan “mobil lapis baja” terhadap demokrasi sudah sangat jarang terjadi, walaupun masih ada beberapa negara yang mengalaminya (seperti Thailand) tapi itupun didasari oleh janji pihak militer untuk memulihkan demokrasi dalam jangka panjang (walaupun ini seringkali hanya janji dan dikenal dengan istilah “promissory coups” alias kudeta berbasis janji).
Allen Hicken menuliskan bahwa saat ini sebuah negara demokrasi paling mungkin dibajak oleh para pemimpin politik (baik eksekutif ataupun legislatif) yang terpilih melalui prosedur demokrasi.
Allen Hicken menyebutkan istilah “autogolpes” yakni di mana pihak eksekutif yang terpilih melalui pemilihan umum “mengkudeta diri sendiri” (yang berarti mengkudeta demokrasi itu sendiri) melalui penundaan pemilihan umum berikutnya, dan ini dilakukan agar rezim yang berkuasa mampu mempertahankan kontrol akan kekuasaan, sekaligus mengulur waktu agar bisa mengumpulkan sumber daya untuk memenangkan pemilu berikutnya.
***
Selain “autogolpes”, Allen Hicken dengan mengutip Bormeo (2016) dan Svolik (2019) menyebutkan bahwa cara lain untuk membajak demokrasi adalah melalui apa yang disebut dengan “executive aggrandisement” (penggelembungan kekuasaan eksekutif) atau juga disebut dengan “executive takeover” (pengambilalihan oleh pihak eksekutif). Gejala ini adalah semacam upaya untuk menggerogoti demokrasi dari dalam.
Pada gejala “executive takeover”, memang tidak terlihat adanya upaya untuk menghapuskan konstitusi (walaupun berupaya merubah konstitusi agar sesuai dengan agenda politik kelompok tertentu) dan tidak menutup parlemen, justru para pelakunya mengklaim bahwa apa yang dilakukannya selama ini telah sesuai mandat dan batasan konstitusi.
Dalam gejala ini, menu perubahan yang seringkali diajukan adalah perubahan kelembagaan yang didesain untuk melemahkan pengawasan terhadap kekuasaan lembaga eksekutif (ini bisa terlihat dari revisi terhadap UU KPK), merubah batasan periode kekuasaan (term limits), pelemahan kekuasaan kehakiman atau mengisinya dengan para loyalis, kooptasi badan legislative dan penguatan kekuasaan lembaga eksekutif untuk dapat bertindak secara sepihak.
Dan dalam waktu bersamaan, ada upaya untuk melemahkan oposisi dalam melakukan kritik terhadap kekuasaan. Menurut Svolik, 70-90 persen kejatuhan demokrasi pada tahun 2000-an disebabkan oleh “executive takeover”.
Allen Hicken juga mengingatkan kita, bahwa ke depan di dalam negara-negara demokratis, kecurangan pemilu yang mencolok tak lagi menjadi menu utama bagi yang ingin membajak demokrasi.
Yang akan sering terjadi adalah upaya-upaya untuk memanipulasi lingkungan elektoral (contohnya seperti memastikan kandidat oposisi tidak berhasil ikut pemilihan, memanipulasi proses registrasi pemilih, mengendalikan para penyelenggara pemilu, hingga membengkokkan aturan pemilu agar menguntungkan petahana).
Dan biasanya upaya ini beriringan dengan menyerang kebebasan berekspresi, pelecehan terhadap oposisi, membatasi media hingga mengerahkan sumber-sumber daya pemerintah bagi tujuan-tujuan partisan.
Demokrasi Sebagai “Ruang Kosong”
Mungkin penting untuk mengulik kembali metafora Calude Lefort akan demokrasi sebagai “ruang kosong” seperti yang dia tuliskan di bukunya yang berjudul “Democracy and Political Theory” (1988).
Lefort menuliskan “lokus kekuasaan dalam demokrasi adalah tempat kosong (empty place), tidak dapat ditempati sepenuhnya (occupied) – sedemikian rupa sehingga tidak ada individu dan kelompok yang dapat bersenyawa sepeuhnya dengannya (cosubstantial)- dan tidak dapat diwakili (represented)”.
Bahwa tidak satu pihak pun, baik itu pribadi ataupun kelompok yang dianggap bisa menjadi representasi sepenuhnya dari kekuasaan dalam demokrasi.
Dengan kata lain demokrasi adalah upaya untuk melakukan demitologisasi secara terus menerus terhadap segala upaya untuk mempersonifikasi kekuasan.
Demitologisasi ini dilakukan melalui pembatasan wewenang kekuasaan, suksesi kepemimpinan di semua level kekuasaan, dan dilindunginya hak untuk menjadi oposisi politik dan menyampaikan kritik terhadap rezim.
Demokrasi sebagai “ruang kosong” berarti tidak ada satu pihak pun yang bisa merasa “memilikinya”, mereka hanya menempatinya untuk sementara dan dikosongkan kembali saat suksesi kepemipinan untuk mencari “penghuni” yang dianggap paling kompeten mewakili “nurani” rakyat.
Robertus Robet dalam “Yang-Politik dan Demokrasi dan Demokrasi Sebagai Ruang Kosong ; Filsafat Politik Claude Lefort” (2003), menuliskan bahwa apabila kita menganggap kekuasaan dalam demokrasi sejatinya adalah sebuah ruang kosong, dan demokrasi merupakan manifestasi kedaulatan rakyat, maka di sinilah terjadi semacam paradoks dalam demokrasi.
***
Sejalan dengan Lefort, Slavoj Zizek berpendapat bahwa rakyat yang memiliki kedaulatan tidak dapat secara langsung mendaulat diri mereka sendiri, sehingga bidang kekuasan yang merupakan tempat bagi kedaulatan rakyat, mesti senantisas dibiarkan kosong. Pihak yang ingin menduduki ruang kosong kekuasaan tersebut, hanya bisa mendudukinya secara temporal.
Lalu apakah totalitarianisme itu? Jika kita menggunakan gagasan Lefort di atas, totalitarianisme adalah segala upaya untuk mendaku “diri” (baik pribadi ataupun kelompok) bahwa dirinya merupakan repsresentasi sepenuhnya dari ruang kosong demokrasi.
Totalitarianisme adalah setiap klaim untuk mengatasnamakan rakyat dalam ruang kosong demokrasi secara permanen. Sehingga dalam totalitarianisme senantiasa ada upaya penggelembungan kekuasaan, mitologisasi sosok politik tertentu, dan upaya mempersonifikasi bangsa dan negara ke dalam sosok pribadi tertentu.
Jika gejala demikian semakin terang di depan mata, maka tak ada pilihan lain menurut Jacques Ranciere, demos (rakyat yang dimarjinalkan elit) mesti melakukan protes, dan salah satu bentuknya adalah dengan “turun ke jalan”.
Editor: Yahya FR