Di era globalisasi dan kehidupan modern sekarang ini, berbagai jenis kebudayaan nasional dan atribut identitas nasional lainnya, seperti sikap sopan santun, etika berpakaian pada kaum perempuan, keramah-tamahan, kesetiakawanan sosial dan semangat gotong royong, serta atribut-atribut lainnya sudah mulai luntur. Hal itu diakibatkan karena derasnya pengaruh budaya Barat dan gaya hidup modern atau konsumtif serta hedonis, berfoya foya, dan tergesa gesa.
Modernisasi dan Persepsi Masyarakat
Modernisasi sering diidentikkan dengan gaya hidup masyarakat modern yang serba mewah, egoisme, acuh tak acuh, dan cenderung sikap bar-bar. Sehingga, seringkali melupakan dan meninggalkan budaya bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur, seperti nilai kesederhanaan, kebersamaan, menghayati kedamaian, dan menghormati kemanusiaan.
Contoh lain adalah cara berpakaian yang tidak sopan, sering menghujat, mencaci maki, dan memfitnah orang lain, sikap bringas, perilaku yang anarkis, dan main hakim sendiri.
Perilaku pemimpin yang otoriter dan tidak konsisten, melahirkan kebingungan dan keresahan di masyarakat, serta sikap lempar batu sembunyi tangan marak dilakukan oleh pemimpin kita. Perilaku wakil rakyat yang saling bertengkar, menghujat, mendahulukan kepentingan diri sendiri dan kelompok ketika sidang di parlemen sedang berlangsung.
Sikap diam dan abai ketika melihat penyelewangan yang dilakukan oleh pemimpin negara, dan cenderung status quo, menerima apa saja setiap kebijakan pemerintah, tanpa mau melihat dan mengkritisi, bahkan memberikan pendapat dan pandangan dalam rangka untuk mengembangkan dan memajukan kepentingan dan kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan hajat masyarakat banyak.
Perilaku menyimpang lainnya merupakan contoh konkret lunturnya atribut identitas nasional bangsa Indonesia yang dulu dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah, santun, jujur, rukun, toleran, sederhana, peka terhadap penderitaan orang lain, suka membantu, mengutamakan kerja sama dan gotong-royong, serta mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Indonesia, Kurangnya Budaya Immaterial
Bangsa Indonesia kini, di abad ke-21, terlalu banyak memproduksi budaya material. Tetapi kekurangan pada budaya immaterial. Budaya material adalah budaya yang nampak atau bisa dilihat, diraba, dan dinikmati oleh panca indera. Karena hasil olah karya, olah pikir, dan olah rasa antara manusia, akan menghasilkan sebuah produk.
Seperti menjamur dan berkembangnya teknologi informasi, aneka infrastruktur fisik, bangunan indah warna-warni, kebutuhan makanan dan minuman maupun tren di bidang mode (fashion, dll).
Selain itu, yang dimaksud dengan budaya immaterial yaitu budaya yang tidak terlihat tapi memberikan efek atau pengaruh yang sangat kuat dalam membangun sebuah masyarakat dan negara itu sendiri, budaya immaterial yaitu termasuk etika, akhlak, dan kepribadian karakter.
Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap masyarakat haruslah menyeimbangkan antara budaya material dan budaya immaterial.
Mendahulukan Budaya Immaterial
Budaya immaterial haruslah didahulukan agar menjadi landasan, dasar atau akar yang kokoh dalam membangun fondasi bermasyarakat. Sebab, ketika landasan budaya immaterial telah kokoh dan tangguh, maka akan mudah dalam menghadapi semua aneka cobaan, halangan, dan rintangan yang menerjang eksistensi kehidupan budaya dalam masyarakat itu sendiri.
Seperti bunyi sebuah ungkapan bahwa, “Tegaknya rumah karena sendi, runtuh sendi maka runtuhlah rumah. Pun tegaknya negara karena budi atau akhlak (karakter), runtuhnya budi atau akhlak maka runtuhlah fondasi masyarakat itu sendiri”.
Cendekiawan asal Mesir, Ahmad Syauki Beik, mengatakan bahwa: “…Sungguh, suatu bangsa akan selalu eksis selama mereka mempunyai akhlak. Jika akhlak sudah hilang, maka bangsa tersebut akan tumbang …”
Bagi umat Islam, hal tersebut sudah menjadi keyakinan, bahwa tanpa akhlak mulia, kehidupan, mulai keluarga, lingkungan, dan bahkan bangsa atau negara, tidak akan meraih kebahagiaan yang sebenarnya.
Akhlak mulia selalu menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat merusak dan mencelakakan. Seperti tidak amanah, berbohong, memfitnah, mengadu domba, kikir, hasut, takabur, terlalu mencintai harta, tidak peduli pada orang lain, dan sejenisnya. Manakala sifat-sifat yang dimaksudkan itu berhasil dijauhkan dari masyarakat, maka ketenteraman akan terjadi dengan sendirinya.
Para penguasa, cerdik cendekia, kuat, dan kaya, jika mereka itu menyandang akhlak mulia sebagaimana disebutkan di muka, maka kelebihan yang dimilikinya itu justru akan digunakan untuk melindungi mereka yang lemah, yang miskin, dan atau siapa saja yang perlu dibantu atau diselamatkan.
Mereka yang pintar akan menggunakan kepintarannya. Bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Bagi mereka yang kaya akan menolong yang miskin, mereka yang berkuasa akan menegakkan keadilan, menjaga kedamaian, dan mennyejahterakan yang lain.
Membangun akhlak mulia adalah sama halnya dengan membangun atau membersihkan hati, ruh, atau jiwa. Sekedar menjadikan orang pintar mungkin saja dilakukan dengan cara dibuatkan sekolah. Akan tetapi membuat seseorang berhati bersih tidak cukup melalui sekolahan dan atau bahkan perguruan tinggi sekalipun.
Mencontoh Akhlak Para Nabi
Sebenarnya, membangun akhlak mulia sudah ada contoh, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh para rasul dan nabi. Selain melalui contoh kehidupan nyata, yaitu kehidupan Nabi itu sendiri, juga terdapat pedoman berupa kitab suci.
Sosok seorang nabi, sekarang sudah tidak ada lagi. Muhammad sebagai Nabi terakhir sudah wafat dan tidak akan lahir nabi baru. Akan tetapi, para ulama yang mampu menjalankan keulamaannya disebut sebagai pewaris para nabi. Demikian pula kitab suci, hingga sekarang ini sudah dibukukan dengan sempurna dan bisa dibaca oleh siapa pun dan kapan pun.
Oleh karena itu, membangun akhlak mulia sebenarnya masih mungkin dilakukan, yaitu dengan cara mendekatkan bangsa ini dengan kitab suci, dengan tempat ibadah, dan dengan para tokoh yang bisa dijadikan teladan.
Membangun akhlak mulia lewat cara-cara yang masih akan disusun, dalam arti menggunakan akal manusia biasa, hingga kini sebenarnya belum tersedia sejarah yang berhasil. Membangun akhlak mulia harus dilakukan oleh orang yang menyandang akhlak yang dimaksudkan itu. Wallahu a’lam.
Dengan demikian, menjadi renungan dan kesadaran bagi kita semua sebagai warga masyarakat dan umat Islam di Indonesia, negara yang dikaruniai aneka sumber daya manusia. Dapat dicermati dan diamati bersama bahwa maju atau mundurnya sebuah masyarakat dan negara dapat dilihat dari perkembangan wawasan modal ilmu pengetahuan dan moralitas atau akhlak masyarakatnya.
Jika moralitas runtuh, maka runtuhlah negara itu sendiri, bahkan tenggelam di dasar laut dan hilang ditelan bumi. Pun sebaliknya.
Editor: Lely N