Dalam periode modern, kehadiran media cetak seperti majalah ataupun koran, bukan sekedar sarana penyampai pesan, tetapi merupakan inti dari gerakan pembarauan Islam itu sendiri. Pada aras global, kemunculan majalah Al-Urwah Al-Wusqa terbit dari 1884 sampai 1885 yang digawangi Jamaluddin Al-Afhani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) menandai titik awal sekaligus lonceng permulaan gerakan pembaruan Islam di perguliran akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Pekik pembaruan Islam yang disuarakan majalah Al-Urwah Al-Wusqa bergema ke seluruh penjuru dunia Islam, tidak terkecuali Islam di Indonesia. Gelora pembaruan Islam beririsan dengan gerakan kebangsaan yang menuntut kemerdekaan.
Majalah dua mingguan Al-Munir terbit di Padang tahun 1911 sampai 1916 diprakarsai oleh Haji Abdullah Ahmad (1878-1933) bisa dianggap sebagai pemula sekaligus pelopor majalah pembaruan di Indonesia. Tidak berselang lama setelah kemunculan Al-Munir, beberapa majalah lain bermunculan di seantero tanah air. Hampir seluruh gerakan ataupun organisasi Islam yang lahir pada permulaan abad ke-20 memiliki majalah sendiri. Demikianlah, di Surakarta organisasi Sarekat Islam (SI) menerbitkan majalah sarotomo, persyarikatan Muhammadiyah menerbitkan Suara Muhammadiyah dan Bintang Islam di Yogyakarta, majalah Pembela Islam diterbitkan Persatuan Islam (Persis) di Bandung.
Sebagai organisasi pembaharu, aktivis Muhammadiyah sadar betul bahwa dirinya tidak memiliki pengikut yang telah jadi dan siap mendukung gagasan pembaruan. Setelah ide-ide pembaruan terkristalisasi, maka pengikut ataupun anggota Muhammadiyah harus dicari. Dan, untuk menjala anggota-anggota/warga baru berbagai strategi ditempuh, mulai dari membuat majalah, membangun sekolah, mendirikan panti asuhan, dan mengadakan kursus-kursus Islam. Tidak berselang lama setelah persyarikatan Muhammadiyah berdiri, tahun 1912, pada tahun 1915 Suara Muhammadiyah edisi perdana mulai terbit.
Majalah Suara Muhammadiyah menjadi corong persyarikatan secara nasional. Sementara itu, Muhammadiyah di berbagai daerah tidak mau ketinggalan untuk turut meramaikan dunia pers dengan menerbitkan majalah Muhammadiyah tingkat lokal. Muhammadiyah cabang Jakarta menerbitkan majalah Pancaran Amal (1936-1939), Majalah Adil terbit di Surakarta sejak tahun 1932. Di samping Adil, Muhammadiyah Cabang Surakarta juga menerbitkan majalah bulanan Sinar Islam yang berhasil terbit selama dua tahun mulai 1934 sampai 1935. Yang terakhir ini belum banyak diketahui publik, sehingga perlu diperbincangkan lebih rinci.
Majalah Sinar Islam diterbitkan oleh Muhammadiyah Surakarta bagian (majlis) Taman Pustaka, bertindak sebagai pimpinan redaksi Kiai Siswosudarmo, seorang mubaligh sekaligus guru agama Islam yang masuk dalam jajaran majlis Taman Pustaka, dan dibantu oleh M. Sumowijoyo sebagai sekretaris redaksi. Uraiannya memakai bahasa Jawa dan hurufnya menggunakan dua aksara, yaitu aksara Jawa dan aksara Latin. Pilihan untuk menggunakan Bahasa Jawa bisa dipahami karena sasaran pembacanya adalah orang Jawa yang saat itu pada umumnya masih lebih akrab memakai Bahasa Jawa ketimbang bahasa Melayu (Bahasa Indonesia). Bukankah kita harus berdakwah sesuai dengan Bahasa yang digunakan oleh kaumnya, yang pihak yang menjadi sasaran dakwah?
Yang menarik untuk disingkap lebih jauh adalah konten atau isi majalah yang benar-benar unik. Sebab, meskipun berbentuk majalah tetapi isinya bersifat diskursif, bukan informatif. Tidak memuat ataupun menyinggung peristiwa-peristiwa yang tengah aktual saat itu, tetapi berupa naskah-naskah ataupun tulisan-tulisan panjang yang ditampilkan secara bersambung dari satu volume ke volume berikutnya sampai tuntas. Setelah tuntas, pada volume terakhir sampul majalah memuat daftar isi dari tulisan yang sudah ditampilkan pada volume terdahulu. Dengan demikian, bagi para pelanggan dapat menyatukan volume-volume itu menjadi suatu bundel buku.
Pilihan demikian sangat cerdas, karena majalah yang bersifat informatif sudah ditampilkan oleh majalah Adil yang sama-sama diterbitkan oleh Muhammadiyah Surakarta tetapi untuk konsumsi publik secara luas dan bersifat nasional sehingga memakai Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, redaksi majalah Sinar Islam dapat melakukan positioning yang tepat. Bukan hanya itu, karya-karya yang ditampilkan betul-betul yang dibutuhkan umat Islam dan mencerminkan pandangan keagamaan seorang pembaharu.
Selama dua tahun penerbitan ada tiga tokoh yang karyanya sangat dominan mengisi lembar majalah Sinar Islam, yaitu M, Farid Wajdi (1875-1954) yang merupakan murid Muhammad Abduh dan berkebangsaan Mesir, K.H. Ahmad Dahlan (1869-1923), dan Kiai Mukhtar Bukhori (1899-1926). Dua tokoh terakhir perlu sedikit penjelasan. Tempo hari sempat muncul perdebatan Fikih ala K.H Ahmad Dahlan. Polemik itu berkembang karena tidak bertitik tolak dari data yang akurat. Yang benar adalah K.H. Ahmad Dahlan menerjemahkan kitab Taqrib ke dalam Bahasa Jawa dengan judul Fikih Cekakan. Terjemahan K.H Ahmad Dahlan berbeda dengan pola terjemahan yang dilakukan kaum pesantren, kalimatnya mengalir sehingga mudah dipahami kaum awam sekalipun.
Seperti diketahui kitab itu merupakan bacaan standar untuk materi Fikih di pesantren tanah air untuk saat itu, bahkan hingga saat ini. Apa urgensi terjemahan ini? Kitab kuning menjadi bacaan yang terbatas bagi kaum pesantren. Sementara itu, umat Islam yang tidak belajar di pesantren tidak memiliki akses untuk membacanya. Dengan tersebarluaskannya terjemahan itu maka ajaran Islam, khususnya cara peribadatan secara Islam dapat diakses secara luas oleh umat Islam yang membutuhkan panduan. Dengan demikian dakwah Islam dapat menjala masyarakat lebih luas, bukan hanya kalangan pesantren.
Seandainya majalah Sinar Islam tidak ditemukan, Kiai Mukhtar Bukhari dikenal sebagai mubaligh yang kondang dan organisator yang ulung karena menahkodai Muhammadiyah Surakarta di tengah tarikan badai politik yang kencang. Namun dari majalah ini kita dapat menemukan sosoknya sebagai seorang intelektual yang mampu menyajikan gagasan-gagasan pembaruan Islam dalam bentuk tulisan yang mudah dipahami. Sedikitnya ada empat tulisan panjang yang menyerupai buku, yaitu Piwulang Islam, Pitutur Islam, Tasawuf Cekakan, dan Agama Kristen. Di samping empat karya itu, dia juga menulis novel berjudul Muslimah yang isinya tentang pandangan seorang pembaharu atas masalah pendidikan, ilmu, perempuan, gerakan Islam, dan naik turunnya suatu peradaban.
Di samping empat karya itu, dia juga menulis novel berjudul Muslimah yang isinya tentang pandangan seorang pembaharu atas masalah pendidikan, ilmu, perempuan, gerakan Islam, dan naik turunnya suatu peradaban.
Sebagai pamungkas, dengan membedah majalah Sinar Islam kita telah menemukan kembali mutiara Muhammadiyah yang hilang dan terpendam gemuruh sejarah. Mutiara itu berupa karya-karya intelektual yang berkualitas dari tokoh pergerakan yang telah memberikan jejak nyata dalam gerakan pembaruan Islam dan gerakan kebangsaan.