Perspektif

Memberi Ikan Sebelum Ramadan

4 Mins read

Tentu hampir semua dari kita pernah mendengar nasihat ini, “Kalau mau menolong orang lain, jangan berikan ikannya, tetapi berikan kailnya.” Kadang saya berpikir, siapapun yang mengucapkan kalimat anjuran ‘tidak memberi ikan’ ini, pasti dia orang kaya. Jangan-jangan punya usaha pemancingan segala.

Nasihat Memberi Ikan

Terlepas dari setuju atau tidak. Yang jelas, nasihat memberi ikan itu tidak bisa diterapkan untuk semua kondisi dan kepada semua orang. Nasihat itu hanya berfungsi jika orang yang akan kita tolong berada dalam frekuensi yang sama dengan kita, punya kapasitas dan cara berfikir seperti kita, setara dengan kita.

Padahal, pada banyak kasus, saat kita menolong orang lain, artinya posisi kita lebih baik dari orang yang kita tolong, bukan? Kita lebih punya kesempatan dan kemampuan untuk bisa membantu, karena katakanlah diri kita sudah lebih dulu tertolong atau selamat.

Maka teori ‘jangan kasih ikannya tetapi berikan kailnya’ menurut saya merupakan ilmu yang keliru. Terutama dalam kondisi-kondisi terdesak dan krisis seperti pandemi sekarang ini. Banyak orang jauh lebih butuh ikannya dan sama sekali tak terpikir untuk memancing.

Jika mereka diberi kail, mereka akan bertanya bagaimana cara menggunakannya, di mana kolamnya, dan seterusnya.

Meninggal Karena Takdir?

Beberapa hari lalu kita dikejutkan oleh seorang ibu yang meninggal dunia di Kota Serang, Banten, setelah beberapa hari kelaparan dan hanya bisa mengisi perut dengan air galon saja. Sebelum meninggal, wawancaranya sambil menangis dan menggendong anak viral di media sosial. Yuli nama ibu itu. Keluarganya kelaparan dan tak mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah setempat.

Ketika perwakilan walikota Serang datang ke rumahnya, setelah video itu viral tentu saja, mereka merasa bahwa kondisi keluarga ini kelaparan dan berhari-hari hanya minum air minum isi ulang saja merupakan sebuah kekeliruan.

Baca Juga  Mungkinkah Ada yang Salah dalam Keberislaman Kita?

Menurut Syafrudin, Walikota Serang, “Kayaknya itu kurang pas, sebab di situ, di ruangan itu, ada pisang goreng kemudian ada singkong,” Katanya menirukan laporan dari Camat Kecamatan Serang. “Meninggalnya ibu Yuli bukan karena kelaparan, tetapi karena takdir,” ujarnya.

Benarkah Yuli tidak meninggal karena kelaparan? Kita tidak tahu pasti. Tetapi pernyataan pejabat publik yang melepaskan diri dari tanggungjawab moralnya semacam itu tidak pantas diucapkan. Barangkali ini datang dari cara berfikir yang keliru, menilai situasi orang lain dari kondisi yang kita jalani.

Saat hendak menolong orang lain, kita cenderung dihinggapi pertanyaan penuh keragu-raguan, “Benarkah orang ini perlu ditolong?” Kemudian kita bandingkan diri kita dengan dirinya.

“Ah, kelihatannya masih sehat dan segar.” Seolah-olah kita memiliki seluruh otoritas untuk mengukur benar dan salah. Sama seperti kasus keluarga Bapak Holik di Serang yang istrinya meninggal itu, saat pejabat setempat berfikir, “Kayaknya nggak kelaparan, deh!”

Uang dan Kebutuhan Dasar

Sejarawan sekaligus pengarang berkebangsaan Jerman, Rutger Bregman, dalam bukunya ‘Utopia for Realists’ (2016) menyebut bahwa orang kaya cenderung mengukur cara hidup orang miskin dengan ukuran yang keliru. Bukankah kita sering merasa bahwa orang miskin itu malas? Seandainya mereka rajin, mungkin hidup mereka akan lebih baik?

Bukankah kita sering merasa berhak menasihati mereka sambil mengatakan, “Makanya hidup harus begini, harus begitu. Jangan begini dan jangan begitu,” Seolah-olah mereka menghadapi kenyataan yang sama dengan kita.

Apakah orang miskin atau pengangguran kurang berfikir positif dan tidak punya ‘self-affirmation’ yang kuat untuk sukses seperti mereka yang menengah atau kaya? Sama sekali bukan. Mereka cenderung sulit berfikir, membuat keputusan-keputusan yang salah dalam hidupnya, bingung, berantakan, hanya karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Baca Juga  Islam dan Etika Kerja: Hindari Toxic Productivity

Seandainya mereka punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, sebenarnya hidup mereka akan lebih baik. Anda yang kaya bisa berfikir tentang ini dan itu, tentu karena sudah kenyang dan aman. Jika Anda belum makan dan tidak punya tempat tinggal, tidak punya listrik dan paket data, jangankan berfikir kreatifitas, hidup Anda akan dihabiskan untuk mencari cara bagaimana bisa makan dan selamat. Bertahan hidup.

Masalahnya, kadang-kadang bertahan hidup adalah sesuatu yang berat. Ibarat sebuah komputer yang harus mengerjakan tugas-tugas berat dalam satu waktu, multitasking, komputer itu bisa ‘error’ bahkan ‘hang’. Apakah saat Anda belum makan seharian, ditelepon terus-terusan oleh penagih hutang, Anda bisa melakukan presentasi dalam sebuah meeting dengan penuh konsentrasi?

Kecerdasan Menurun Karena Lapar

Kata seorang teman, meminta orang miskin yang kelaparan untuk berpikir positif adalah sebuah kejahatan verbal. Sebab mereka bukan tidak bisa berfikir positif, tetapi mereka butuh makan hari itu juga.

Maka memberikan pelatihan kewirausahaan, melatih skill digital marketing’, atau memberi kelas online motivasi untuk sukses bagi warga miskin adalah sebuah kekeliruan yang besar. Mereka tidak butuh itu, barangkali. Mereka tidak butuh kail, sebab waktu untuk pergi memancing akan membuat mereka mati. Mereka butuh ikannya.

Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh para psikolog Amerika Serikat kepada ribuan petani tebu di India. Para psikolog ini meneliti nilai IQ para petani tebu setelah masa panen, setelah mereka mendapatkan uang dari bertani, dan saat masa tanam, ketika para petani ini harus hidup susah dan menunggu. Hasilnya mengejutkan. Rata-rata nilai IQ para petani itu turun sekitar 14 poin di saat hidup mereka lebih sulit.

Baca Juga  Agama dan Politik Tidak Bisa Dipisahkan

Dari hasil penelitian itu saya membayangkan, berapa hari ini orang-orang miskin yang tingkat kecerdasannya menurun karena mereka susah dan kelaparan? Apakah mereka butuh pelatihan, atau mereka butuh makan? Apakah mereka kita harus memberi kail, atau memberi ikan?

Di Muara Enim, dua kakak beradik, Daluna (23) dan Rohima (21) ditemukan polisi dalam keadaan memprihatinkan dan kelaparan. Konon mereka memiliki keterbelakangan mental. Kata polisi, di rumahnya tak ada dapur! Pak Polisi, mungkinkah sebenarnya mereka lebih cerdas seandainya tidak kelaparan? Apakah orang yang kelaparan harus terlebih dahulu membangun dapur? Entahlah.

***

Besok kita akan menjalankan ibadah puasa Ramadan. Kita akan memasuki bulan pendidikan (tarbiyah) di antaranya agar kita berempati pada penderitaan orang-orang yang miskin dan lapar. Hari-hari ini, jika Anda ingin membantu, sementara berhentilah berpikir untuk memberi kail. Di masa krisis ini banyak sekali orang yang butuh ikannya. Syukur-syukur kalau ikan itu sudah dimasak dan tinggal dimakan saja.

Banyak bantuan beras dan sembako tidak bisa dimasak warga miskin, karena memasak butuh minyak, kompor, dan lain sebagainya yang tidak gratis di dunia ini. Tentu tidak perlu juga diajarkan cara memasaknya melalui kelas-kelas online. Apalagi jika kelas-kelas online itu dibayar menggunakan APBN. Tabik!

Sumber: Instagram Fahd Pahdepie dengan penyuntingan

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds