FeaturePerspektif

Anomali Wajah Politik-Agama

4 Mins read

Saya membayangkan, banyak kalangan intelektual garda depan di Indonesia, saat ini sedang bingung. Dalam bayangan itu, kebingungan mereka ini bermula, ketika mereka terkaget-kaget menyaksikan banyak anomali wajah politik-agama yang berubah-ubah dalam waktu yang relatif singkat.

Barangkali perubahan ini mengikuti dinamisnya proses persaingan politik, – yang menurut saya – lebih mirip dagang sapi ketimbang bersama-sama membangun demokrasi secara lebih ideal: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, semuanya sama rasa, sama rata, kaya semua bersama-sama.  Akan tetapi, namanya perdagangan kan memang menghitung untung-rugi, ketimbang mempertahankan idealisme nilai-nilai moral tertentu. Kalau pemain politik ngotot berpihak kepada moral, justru mereka menanggung resiko “rugi banyak”, atau bahkan bangkrut.

Permainan politik kali ini tampaknya memang sangat menjengkelkan. Para pemain politik justru gemar memamerkan kelicikan, sikut sana sikut sini, atau bahkan saling membunuh karakter masing-masing hingga sampai menjebloskan lawan politiknya ke penjara dan seterusnya. Lebih dari itu, tidak ada satu pun partai politik, yang di antara para kadernya yang “tidak” dijebloskan ke bui akibat korupsi. Di tengah permainan yang mengasyikkan sekaligus memabukkan ini, agama, nilai agama, tokoh agama, bukan sekedar menjadi barang dagangan, tetapi juga “pembenar” segala langkah bidak catur yang dimainkan sedemikan rupa. Agama pun, tidak luput dari korupsi (politik).

Di surat kabar elektronik yang berkantor di Australia, “New Mandala” (11 Juli 2018), seorang Indonesianis terkemuka, Greg Fealy berpikir bahwa organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama’ (NU), patut menjadi ujung tombak agama yang idealis, moderat, tidak terlalu liberal apalagi konservatif. Kira-kira kalau tidak ada mereka, – karena memang pengikutnya mendominasi Muslim di negara ini – maka republik bisa jadi buyar karena disintegrasi akan terjadi di mana-mana, lantaran perang antar pelbagai paham keagamaan yang ekstrim kanan dan kiri.

Baca Juga  Mengakhiri Pendidikan "Budak Pabrik"

Di samping itu, rupanya ia juga menekankan apa yang terjadi belakangan, bahwa sebenarnya di dalam kubu NU sendiri sudah terpecah-belah. Terutama ada satu kelompok yang meskipun minoritas, tetapi suaranya lantang karena dianggap mewakili perasaan umat yang sudah sejak lama terkhianati oleh ketidakadilan para penguasa. Kelompok kecil yang kuat ini, tampaknya memang lebih cenderung miring ke kanan ketimbang ke tengah, apalagi ke kiri.

Karena itu, pengamat keagamaan-politik seperti Alex Arifianto melalui media yang sama (8 Agustus 2018), hendak menambahi perkembangan terkini persinggungan antara agama dan politik di Indonesia. Ia secara teliti menyatakan bahwa, NU Garis Lurus merupakan salah satu representasi dari kelompok NU yang konservatif. Tentu saja kelompok ini menantang otoritas keagamaan NU yang sudah ada sebelumnya. Secara lebih jauh, para tokoh yang tergabung dalam kategori NU kanan ini, seperti Ustadz Abdul Somad Batubara (disingkat UAS), memiliki popularitas yang luar biasa, yang mampu menyihir antusiasme publik yang haus akan cita-cita keadilan (dan tentu saja kesejahteraan).

Seiring dengan naik daunnya para tokoh kanan ini, pemain politik seperti Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai Gubernur Pentahana DKI Jakarta, di-sledding keras dari belakang. Akan tetapi, bukan malah para penjegalnya yang mendapatkan kartu merah, justru ia yang dijebloskan ke penjara. Kasusnya adalah penistaan agama, sementara penjegalan yang dilakukan disebut “Aksi Bela Islam” dengan kode nomor 212 dan 411 (yang berarti tanggal pelaksanaannya).

Sesungguhnya dari peristiwa tersebut, siapa yang menang dan kalah adalah para politisi. Sementara para tokoh agama, terutama yang berhalauan kanan dan tenar, hanyalah bidak-bidak catur dengan pelbagai posisi yang ada. UAS sendiri hampir menjadi pendamping calon Raja (oposisi), karena direkomendasikan oleh aliansi ulama’, katanya. Tetapi ia menolak, lantaran takut idealisme politik dan keagamaannya dikebiri oleh keganasan permainan politik tingkat tinggi. Sementara itu tokoh lain seperti Tuan Guru Bajang (TGB) – kebetulan juga satu almamater bersama UAS yang belajar di Universitas al-Azhar, Kairo – yang berkarir melalui jabatan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), juga digadang-gadang menjadi pendamping calon Raja baru (yang saat ini sedang duduk di singgasana dan ingin melanjutkan dua periode).

Baca Juga  Gerakan Filantropi di Tengah Resesi Ekonomi Covid-19

Entah bagaimana yang terjadi, ternyata organisasi terbesar lainnya, Muhammadiyah, juga ingin mengajukan Din Syamsuddin sebagai pendamping Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang. Justru nama yang diusung melalui persekongkolan para petinggi partai-partai koalisi penguasa bukan dia, tetapi Mahfud MD, seorang ahli hukum professional, yang beberapa kali menjadi petinggi lembaga hukum di negeri ini. Sayangnya, tiba-tiba malam ini, 9 Agustus 2018, diumumkan bahwa Jokowi oleh Megawati dan kawan-kawan politiknya, akan dipasangkan dengan seorang ulama’ kharismatik NU, yakni KH Ma’ruf Amin. Partai-partai ini mau menjual brand “umara’-ulama’” (penguasa berkoalisi dengan agamawan).

Sementara itu di kubu oposisi, bersama-sama dengan partai oposisi terkuat (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah sejak lama mengaku-ngaku sebagai partai yang ingin menyambung lidah kaum Muslim, mengajukan belasan nama. Partai Amanan Nasional (PAN), sebagai partai yang masih dengan begitu leluasa dikendalikan oleh Amien Rais (seorang tokoh kawakan dari Muhammadiyah) yang juga dalam barisan oposisi, juga memiliki para calon, walau pada akhirnya menyebut UAS yang tidak berani maju tersebut. Sayangnya di akhir cerita, tiba-tiba seorang saudagar kaya, yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, mengajukan diri dan keputusannya belum jelas bagaimana saat tulisan ini sedang dibuat.

Dari sini sebenarnya, kita bisa mencermati secara kritis bahwa, mau jadi apa dan bagaimana nanti mengenai masa depan agama dan pembangunan peradaban kemanusiaan di negeri ini, itu tergantung bagaimana bidak-bidak catur dimainkan. Intinya dalam permainan catur adalah, kelihaian para pemainnya. Dalam bahasa perjudian adalah “bandar”, dalam bahasa bisnis adalah “pemodal”, dalam bahasa perwayangan adalah “dalang”, dan dalam bahasa politik entah-berantah adalah “bohir”. Entahlah apa istilahnya, saya pikir kebingungan para intelektual akan terjawab di sini. Semuanya tergantung pada siapa yang paling berperan di antara mereka yang berkepentingan dalam kontestasi politik nasional.

Baca Juga  Mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin: Pilar Kedua Dakwah Rasul

Jadi, kali ini mohon para pembaca jangan pernah bertanya mengenai pembangunan umat, atau moral agama yang mewarnai politik, sehingga politik menjadi jembatan emas pembangunan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Ingat, para “bohir” tidak menginginkan itu. Menurut kitab suci “kalkulasi rasional” hanya ada dua tujuan langit: yakni harta dan tahta. Nasib politik Indonesia juga demikian, bukan untuk Indonesia yang berkeadilan dan demokrasi yang berkeadaban.

Avatar
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Perspektif

Kapan Seseorang Wajib Membayar Zakat Penghasilan?

2 Mins read
Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam yang tidak hanya berdimensi keimanan tapi juga berdimensi sosial. Secara individu, zakat merupakan wujud keyakinan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *