Musim haji tahun ini banyak fatwa baru dikeluarkan agar para jamaah haji Indonesia memperoleh kenyamanan dan keselamatan ketika berada di Tanah Suci serta memperoleh haji yang mabrur. Fatwa-fatwa dimaksud antara lain fatwa haji yang menggunakan visa non haji, murur, dan tanazul. Kesemua fatwa tersebut pada prinsipnya untuk mengendalikan jumlah kuota resmi dan kepadatan saat di Arafah, Muzdhalifah, dan Mina.
Kehadiran jamaah haji non visa haji mengurangi hak-hak haji regular yang disepakati antara pemerintah Saudi Arabia dan Indonesia. Oleh karena itu, Saudi Arabia tahun ini melakukan pengetatan jamaah yang masuk Arafah melalui tanda pengenal “Nusuk”.
Upaya yang dilakukan Kementerian Agama RI melalui Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas dan di lapangan dikomandani Dirjen Pembinaan Haji dan Umrah Prof. Hilman Latif, M.A., Ph. D. awalnya direspons kurang positif oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU). Kebijakan Murur dan Tanazul dianggap tidak memiliki dalil yang kuat dan kurang sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Kerja keras Dirjen PHU bersama para Direktur dan Tim untuk melakukan komunikasi dan sosialiasi tentang visa non haji, murur, dan tanazul dengan ormas Islam (Muhammadiyah, NU, dan PERSIS) membawa hasil yang positif dan perlu terus disosialisasikan sejak awal bagi jamaah haji tahun depan.
Murur dan Tanazul: Sebuah Jalan Keluar yang Humanis
Berbagai KBIHU yang semula “menolak” akhirnya memahami pentingnya konsep murur dan tanazul untuk menjaga keselamatan jiwa para jamaah. Dalam praktiknya, sebetulnya konsep murur sudah lama dilakukan bagi jamaah haji yang mendapat undangan dari kerajaan Saudi Arabia. Penulis pernah mengalami hal tersebut pada tahun 1426/2006 memperoleh undangan dari Kerajaan Saudi Arabia melaksanakan ibadah haji bersama seratus tokoh di Indonesia, antara lain AM. Fatwa (Wakil MPR), Muhadjir Efendy (Rektor Universitas Muhammadiyah Malang), dan Imam Suprayogo (Rektor IAIN Mslang).
Saat ini konsep tanazul diprioritaskan bagi jamaah yang memiliki kekuatan fisik yang memadai. Mengapa? Karena mereka harus bolak balik dari Mina ke hotel (wilayah Raudhah dan Syisah). Kebijakan ini sangat tepat karena mengurangi kepadatan di Mina.
Penulis melihat secara langsung awalnya tenda penuh sesak dan jamaah kurang leluasa bergerak. Namun pada hari berikutnya, para jamaah banyak yang melakukan tanazul dan berdampak positif bagi jamaah yang tinggal di tenda. Sekaligus mengurangi antrian panjang di toilet dan kamar mandi.
Budaya Antri bagi Jamaah Haji
Pada musim haji tahun ini akomodasi di Arafah, Muzdhalifah, dan di Mina berjalan sangat bagus. Makanan dan minuman berlimpah. Selama di Arafah, setiap jamaah memperoleh makan tiga kali dengan kemasan siap saji dan masa berlakunya sampai tahun 1446/2025.
Menjelang berangkat menuju Muzdhalifah, para jamaah dibekali makanan dan minuman secukupnya. Ketika tiba di Muzdhalifah, para jamaah menuju tempat yang disediakan dipandu PPIH Saudi Arabia ke Pintu keluar sesuai nomor maktab. Kondisi ini sangat membantu bagi jamaah agar tidak tersesat.
Secara umum pelaksanaan haji di Armuzna tahun ini lebih bagus dari tahun-tahun sebelumnya. Kendala transportasi seringkali menjadi isu dan kekurangnyamanan bagi jamaah. Sepanjang pengamatan penulis di lapangan, salah satu sebabnya adalah minimnya budaya antri para jamaah. Tentu saja hal ini tidak mudah diselesaikan jika pola pikir jamàah tidak membiasakan sejak awal di Tanah Air.
Ke depan perlu dipertimbangkan materi budaya antri dalam manasik haji. Disiplin antri akan membawa keselamatan dan kenyamanan bersama. Misalnya dari Arafah menuju Muzdhalifah. Jamaah diberangkatkan sesuai nomor rombongan. Begitu pula dari Muzdhalifah menuju Mina dan seterusnya. Disinilah peran petugas kloter untuk mendialogkan dengan pihak maktab.
Armuzna dan Keagungan Ilahi
Hakekat haji adalah Arafah, Muzdhalifah, dan Mina atau biasa diistilahkan Armuzna. Sejak miqat dari hotel, para jamaah haji dengan penuh ketulusan dan kepasrahan total untuk bertemu sang Maha Agung. Sang Pemilik alam raya dan seisinya.
Ibarat mau bertemu sang Raja, biasanya berpakaian rapi dan dipilih yang terbaik. Jika tamu yang datang bersikap baik dan sopan disertai tutur kata yang menarik tanpa pamrih, tentu saja raja memiliki kesan tersendiri. Tak jarang sang raja akan memberi apresiasi pada kesempatan lain. Sebaliknya tamu yang datang dengan pamrih dan bersikap penuh keangkuhan, sang raja akan memiliki kesan tersendiri.
Begitu pula para jamaah haji yang datang ke Arafah dengan bekal yang beragam. Ada yang tulus dan senantiasa bersyukur serta menyadari kehadirannya di Arafah bukan karena kepandaiannya, kekayaan yang dimiliki, dan kekuasaannya. Namun semata-mata karena kasih sayang dan kebaikan Yang Maha Agung memanggilnya, sehingga malu untuk meminta-minta hal-hal yang bersifat material.
Dalam hatinya yang tumbuh adalah sikap selalu memuji, mensyukuri, dan mohon ampun. Kondisi semacam ini tidaklah mudah ditempuh tanpa proses panjang untuk memahami substansi haji. Dimensi tauhid dan ketundukan yang total kepada Yang Maha Kuasa menjadi modal penting menuju Muzdhalifah.
Setibanya di Muzdhalifah dengan modal spiritual yang memadai dari Arafah, para jamaah mulai merasakan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa. Selama ini yang dibawa adalah “kotoran”, maka tidak pantas menyombongkan diri. Apalagi bersikap angkuh dan merasa paling berkuasa.
Di sini para jamaah diterapi untuk membersihkan penyakit hati yang selama ini bergejolak dalam diri. Kesuksesan terapi penyakit hati menjadi sangat penting sekaligus modal besar menuju Mina untuk melakukan jamarat sebagai simbol melepaskan segala bentuk keangkuhan diri.
Sebelum berangkat menuju jamarat, setiap jamaah menyadari bahwa proses perjalanan panjang dari hotel menuju lokasi semata-mata karena kekuatan yang diberikan Allah. Seringkali kesadaran ini hilang karena merasa memiliki fisik yang kuat-atletis, sehingga dalam perjalanan menunjukkan keangkuhan dan tidak jarang menyakiti jamaah lain dengan menginjak kakinya baik disengaja maupun tidak. Akibatnya jamaah yang terinjak sepatunya hampir terlepas.
Padahal perjalanan ini merupakan dialog sang hamba dengan Sang Khalik dengan senantiasa mengingat “La Haula Wa La Quwwata Illa Billah”. Jika hal ini bisa dilakukan penuh kesadaran, maka perjalanan menuju jamarat bukanlah beban, tetapi perjalanan yang indah dan saling menghargai satu dengan lainnya tanpa harus berdesak-desakan untuk mengejar segera sampai tujuan.
Patut disadari bahwa perjalanan menuju jamarat bukanlah tanpa ujian. Setiap saat hati bisa berpaling dari Yang Maha Agung. Untuk itu hati yang bersih menjadi bekal yang terbaik. Substansi yang ingin diraih sesampai di Jamarat bukanlah semata-mata melemparkan batu. Namun proses terapi penyakit hati menuju jiwa yang bersih untuk kembali kepada Sang Ilahi Rabbi yang dirindukan setiap pribadi.
Akhirnya semoga proses Armuzna membawa pengalaman spiritual yang mendalam bagi para jamaah haji. Dengan demikian, diharapkan para jamaah sepulangnya dari Tanah Suci memperoleh pencerahan diri pribadi dan senantiasa memegang nilai-nilai spiritual sepanjang masa hingga akhir hayat.
Editor: Soleh