Belakangan ini narasi tentang ‘revolusi akhlak’ santer terdengar. Pada akhirnya, setelah sekian lama, narasi revolusi kembali menjadi topik yang hangat dibicarakan di dalam internal umat Islam. Namun sayangnya, wacana ‘revolusi akhlak’ yang digaungkan oleh sebagian pihak itu.
Bagi saya, terdengar gahar dan sangar, namun di bagian dalamnya kosong tanpa makna. Tidak jelas, revolusi seperti apa yang dituju, dan tidak jelas nilai ideal apa yang sebenarnya ingin diperjuangkan oleh kelompok tersebut.
Namun, dari ramainya kata revolusi dijadikan bahan obrolan, justru saya menjadi teringat akan seorang intelektual besar asal Mesir, yang pernah menulis sebuah gagasan besar Mina al-Aqidah ila al-Tsaurah (dari akidah ke revolusi). Siapa lagi kalau bukan Hassan Hanafi.
Begitu luar biasa gagasan yang bawa olehnya. Bagaimana akidah yang umumnya hanya dipahami berada di langit, jauh di awang-awang, berhasil dibumikan olehnya, sehingga menjadi gagasan segar yang siap diaplikasikan untuk mengatasi masalah kemanusiaan di era modernitas seperti sekarang ini.
Mengenal Hassan Hanafi
Hassan Hanafi adalah seorang filsuf hukum Islam, seorang pemikir Islam dan guru besar pada Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia dilahirkan pada 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir. Merupakan satu dari sekian doktor di bidang filsafat kontemporer terkemuka di dunia Islam, yang berasal dari keluarga musisi.
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin. Oleh karena keaktifannya itu dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, Hanafi cukup kaya dengan isu-isu sosial.
Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hassan Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda. Lalu, ke Universitas Sorbone, Prancis.
Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus. Setelah meraih gelar Doktor, Hassan Hanafi kembali ke almamaternya, dan kemudian mengajar mata kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam.
Selanjutnya, beberapa reputasi internasionalnya berhasil mengantarkan dirinya merengkuh beberapa jabatan guru besar luar biasa di berbagai perguruan tinggi di luar Mesir, dan pada tahun 1969 ia menjadi profesor tamu di Perancis. Ia juga pernah mengajar di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975, Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), dan Uni Emirat Arab (1985).
Membumikan Teologi Islam
Menurut Hasan Hanafi, terdapat dua jenis masyarakat dalam dunia modern, yaitu yang menganggap “tradisi” tetap sebagai sumber inspirasi yang kuat dan yang kedua adalah “masyarakat modern” di mana tradisi tidak lagi merupakan sumber nilai atau kekuasaan. Tetapi, Hanafi justru mengambil jalan yang ketiga, tradisi sebagai basis yang memungkinkan lahirnya revolusi.
Tentu bukan tradisi lama yang kaku dan jumud, namun tradisi yang telah dimaknai ulang sesuai dengan situasi modernitas saat ini. Ya, Hassan Hanafi, tidak menganjurkan umat Islam untuk meninggalkan tradisinya, sebaliknya, justru mengambil bagian-bagian tradisi yang masih relevan untuk mengarungi modernitas.
Bagi Hanafi, inti dari tradisi Islam yang harus terlebih dulu direkonstruksi atau dimaknai ulang adalah Teologi Islam (akidah). Bagi Hanafi pula, tidak ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk setiap ayat kitab suci.
Sejarah teologi, menurut Hassan Hanafi adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam kitab suci itu. Setiap ahli teologi atau penafsir melihat bahwa kitab suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.
Selama ratusan tahun, diskursus teologi Islam masih terbatas berputar pada isu-isu teosentris. Terkait dosa-pahala, mukmin-kafir, surga-neraka, takdir-kehendak, Tuhan-Makhluk dsb. Isu-isu itu berkutat dan berputar-putar tanpa henti.
Hasilnya, teologi menjadi jauh dari ranah sosial. Para Mutakalimin sangat jarang sekali, atau malah tidak pernah sama sekali mengaitkan isu-isu teologis itu untuk membaca atau menganilisis realitas sosial. Seolah para Mutakalimin dalam ruang hampa budaya, dan tidak terjadi aktivitas sosial di sekitarnya.
Transformulasi Teologi Tradisional dari Teosentris Menuju Antroposentris
Karena itu, gagasan-gagasan Hassan Hanafi yang bekaitan dengan teologi, berusaha untuk mentrasformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dan dari teori kepada tindakan, serta dari takdir menuju kehendak bebas.
Teologi yang sangat tinggi di langit, dibawa turun ke bumi, untuk menjadi alat baca bagi realitas sosial yang sedang terjadi, khususnya dalam membaca realitas modernitas yang bisa dibilang jauh dari nilai-nilai keadilan Islam.
Bukan untuk mencari kebenaran paling haqiqi seperti yang dicari oleh para filsuf atau mutakalimin, namun bertujuan untuk mencari basis pikir dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang secara aktual sedang terjadi.
Hanya dengan merekonstruksi teologi Islam, kita mampu berharap bahwa teologi Islam mampu memberikan sumbangan konkret bagi kehidupan dan peradaban manusia.
Teologi Islam harus berperan sebagai basis gerakan dalam mewujudkan keadilan sosial. Karenanya, sistem teologi yang diajukan oleh Hassan Hanafi memiliki kepentingan revolusi yang tujuan finalnya adalah revolusi sosial.
Latar Belakang Hassan Hanafi dalam Melakukan Pendekatan Teologis
Ada latar belakang Hassan Hanafi dalam melakukan pendekatan teologisnya, yaitu:
Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.
Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritik, melainkan juga terletak pada sisi praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah.
Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis yaitu secara nyata diwujudkan di dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Dapat kita pahami bersama, Hanafi menginginkan sistem teologi yang bukan hanya menjadi bahan renungan atau refleksi individual semata, melainkan teologi yang mampu mendorong untuk melahirkan praksis sosial.
Teologi yang berguna bukan hanya untuk nanti di akhirat, melainkan juga berguna bagi mengatasi permasalahan kemanusiaan yang ada di bumi. Beralih dari teologi pasif (pada keadaan sosial) menuju teologi aktif (mengubah keadaan sosial yang tidak ideal). Dari akidah, menuju revolusi.
Editor: Lely N