PesantrenMu & SekolahMu | Sekolah berkemajuan, adalah bahasa (istilah) lain dari “Sekolah Muhammadiyah”, yang secara konsepsional merupakan goal dari upaya mempesantrenkan sekolah Muhammadiyah (sekolahMu) dan atau menyekolahkan pesantren Muhammadiyah (PesantrenMu).
Dengan kata lain, bahwa sekolah berkemajuan adalah pesantren plus sekolah, atau sekolah plus pesantren. Dalam sejarahnya; kenapa istilah pesantren disebut duluan, ya, karena memang lebih dahulu lahir daripada istilah sekolah.
Sedangkan istilah yang disebut terakhir ini (sekolah), muncul belakangan, sebagai sebutan lain (arti) dari kata school. Jadi, mempesantrenkan sekolah, dimaksudkan sebagai upaya untuk mewarnai sekolah dengan pesantren, atau sebaliknya, yaitu mewarnai pesantren dengan suasana sekolah.
Itulah sekolah berkemajuan, dalam kurung “Sekolah Muhammadiyah”.
Sejarah Singkat SekolahMu
Upaya pewarnaan tersebut, sesungguhnya terkait erat dengan sejarah kelahiran Muhammadiyah. Seperti banyak diketahui, bahwa Muhammadiyah dilahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan, 18 November 1912, yang embrio sebenarnya, Muhammadiyah lahir bermula dari pengalaman KH. Ahmad Dahlan sebagai guru di school Belanda, yang pada saat itu ada beberapa murid (antara 5 sampai 9 orang) yang meminta KH. Ahmad Dahlan untuk memberi palajaran agama tambahan (les/privat).
Kurang lebih selama 1 semester (16 x tatap muka), KH. Ahmad Dahlan memberikan pelajaran tambahan pada sebagian murid school Belanda. Materi pembelajaran yang diberikan hanya seputar QS. Al-Maa’un.
Pada saat para muridnya menyampaikan protes; sudah merasa jenuh karena “Al-Ma’un lagi, al-Maa’uun lagi” yang KH. Ahmad Dahlan sampaikan, kemudian KH. Ahmad Dahlan memberi tantangan kerja nyata.
Semua muridnya (peserta les) diminta untuk mencari (lalu menemukan sekaligus mengasuh sekitar 20) anak yatim, miskin, yang terlantar. Berikutnya, KH. Ahmad Dahlan dengan muridnya.
Akreditasi SekolahMu
Untuk memperjelas prospek (dan praktik) pengasuhan itulah, KH. Ahmad Dahlan bareng para muridnya tadi mendirikan sekolah pada 1 Desember 1911 dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI), yang dalam referensi lain disebut dengan sekolah rakyat, atau ada juga yang menyebutnya dengan bahasa kolonial yaitu Kweek School Muhammadiyah (KSM), dengan peserta didik lebih kurang 20 orang tersebut.
KH. Ahmad Dahlan berpikir dan berusaha terus bagaimana agar sekolah atau madrasah yang didirikannya itu memperoleh legalitas sehingga peseta didiknya kelak (jika sudah lulus) diakui oleh pemerintah.
Akhirnya, setelah perkembangan school Muhammadiyah dipandang memenuhi syarat sebagai layaknya sebuah lembaga pendidikan formal, maka setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 18 November 1912, school Muhammadiyah atau Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dideklarasikan sekaligus memperoleh pengakuan pemerintah kolonial, yang kemudian tanggal tersebut dijadikan sebagai tanggal kelahiran Persyarikatan Muhammadiyah.
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan untuk menjadikan sekolah terdaftar, disahkan oleh pemerintah kolonial, untuk masa sekarang dapat dikatakan sebagai upaya untuk mendapatkan akreditasi atau pengakuan bukan saja pemerintah melainkan juga masyarakat secara luas. Bahwa sekolah Muhammadiyah memang sudah dari lahir (1911 atau 1912) sebagai sekolah berkemajuan, terakreditasi unggul sepanjang zaman. InsyaAllah.
Sejarah Singkat PesantrenMu
Tujuh tahun setelah school Muhammadiyah berdiri, tepatnya pada tahun 1918, KH. Ahmad Dahlan terus berusaha menjadikan sekolah yang didirikannya menjadi unggul berkemajuan. Usaha beliau untuk maksud tersebut, yaitu dengan membuka kelas baru yang khusus untuk malam hari, belajar bakda maghrib, yang dikenal dengan nama al-Qism al-Arqa (Qismul Arqa).
Kelas ini dimaksudkan pula untuk menampung warga pribumi yang duafa, yang tidak mampu sekolah, yang pada siang harinya mereka gunakan untuk mencari nafkah.
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1920, untuk menunjang pembelajaran sekolah kelas malam tersebut, KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) mendirikan pondok; istilah sekarang “asrama” untuk tempat menginap para peserta didik kelas malam tadi.
Pembukaan Qismul Arqa tersebut tentu dengan niat untuk menggembirakan atau menyenangkan mereka (peserta didik), minimal supaya mereka tidak kecapaian pergi-pulang sekolah malam hari dan siangnya mencari rezeki.
Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah kelas malam inilah yang pada analisis berikutnya sebagai cikal-bakal kelahiran dan perkembangan Pesantren Muhammadiyah.
Artinya, bahwa pesantren Muhammadiyah bisa disebut sebagai sekolah kelas malam. Sangat benar jika ada analisis yang menyebutkan Muhammadiyah tidak punya pesantren karena memang itu tadi, yang didirikan Ahmad Dahlan bukan pesantren melainkan sekolah kelas malam, yang hingga kini masih eksis dengan nama Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.
PesantrenMu Wajib tetap Menyatu
Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM) hasil Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar (2015) sebagai lembaga pengelolanya, kini sudah diusik oleh beberapa tokohMu. Mereka berharap agar lembaga yang baru berumur satu periode ini menjadi sebuah Majelis, bukan lembaga lagi.
Secara pribadi, penulis merasa aneh terhadap pemikiran demikian. Bukan saja karena LP2 PPM baru berdiri, melainkan lebih disebabkan banyak hal, yang secara historis-ideologis mengharuskan pengelolaan pesantrenMu tetap dalam satu atap, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Madikdasmen).
Ya, harus tetap satu atap, karena bagaimanapun, sesungguhnya pesantren Muhammadiyah adalah sekolah Muhammadiyah, atau sekolah Muhammadiyah adalah juga pesantren Muhammadiyah.
Dalam sejarahnya, memang begitu. Pesantren boleh dikatakan lebih dahulu ada dalam peradaban Islam di Indonesia. Tetapi di internal Muhammadiyah, pesantren berdirinya belakangan dan tidak berdiri sendiri melainkan menyatu dengan proses memajukan sekolah melalui membuka kelas malam, yang dengan demikian berarti untuk memperbarui sistem kependidikan Islam di Indonesia dari pesantren ke sekolah.
Jika dilihat dari niat awal pendirian pesantren tersebut (membuka kelas malam), hampir dapat dipastikan bahwa Muhammadiyah sesungguhnya kurang perlu memiliki pesantren.
Kalaupun sekarang sudah memiliki 420 unit bangunan pesantren, ya, alhamdulillah, kita syukuri bukan untuk membuka peluang memisahkan pengelolaannya menjadi majelis tersendiri, berpisah atau memisahkan diri dari Majelis Dikdasmen, bukan begitu.
Keberadaan atau kelahiran Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) yang kini dikomandani oleh KH. Maskuri, mantan Kaditpais Kementerian Agama, sudah sangat tepat untuk merespon keinginan para pengasuh pesantren di Muhammadiyah.
Editor: Yahya FR