Arrijalu Qowwamuna ‘Alannisa
(Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri))
Mayoritas kaum muslim, berpijak pada potongan ayat dari QS. An-Nisa’ ayat 34 di atas, meyakini bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Layaknya seorang pemimpin, dalam konteks rumah tangga, laki-laki atau suami memiliki otoritas tertinggi. Jadi, keputusan apapun yang muncul pada sang suami, seorang istri wajib menaatinya selagi tidak dalam hal kemaksiatan.
Hal itu tersirat pada pendapat Syikh Jalaludin al-Mahalli dan Syikh Jalaludin As-Suyuti dalam karya tafsirnya, yaitu Tafsir Jalallain. Bahwa laki-laki mempunyai kekuasaan terhadap perempuan (istrinya) dan punya kewajiban untuk mendidik dan membimbingnya. Tafsir tersebut juga mendefinisikan bahwa laki-laki telah dititipkan kelebihan berupa kekuatan kekuasaan yang melebihi perempuan.
Bahkan, perempuan seolah-olah mendapatkan ultimatum. Apabila ia membangkang, maka suami wajib mengingatkan untuk taat kepada Allah Swt. Lalu apabila seorang istri tidak taat, menurut pemahaman ini, suami hendaknya memisahkan sementara waktu di atas tempat tidurnya dari sang istri (pisah ranjang). Tidak hanya itu, dalam tafsir dijelaskan juga apabila istri menentang, maka suami berhak memukul dengan catatan tidak melukainnya atau menganiayanya.
Tafsir Kontemporer Arrijalu Qowwamuna ‘Alannisa
Melihat, membaca, dan memahami pengertian di atas, dapat diasumsikan bahwa seolah-olah laki-laki mempunyai relasi yang superior. Perempuan (istri) seolah-olah mempunya derajat atau kedudukan yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Seakan-akan mereka sebatas kaum pasif yang hanya bisa menurut dan tak punya inisiatif sendiri.
Tentu pandangan itu bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan kesalingan (mubadalah). Prinsip kesalingan di sini menghendaki adanya kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan dalam menjalankan perannya. Baik itu dalam aspek politis, sosisologis, maupun teologis.
Dalam pandangan mubadalah, Arrijalu Qowwamuna ‘Alannisa mempunyai pemaknaan yang berbeda. Dr. Hj. Zaitunah Subhan dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebencian (Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an) mengatakan bahwa istilah gender dalam Al-Qur’an memiliki makna yang signifikan.
Kata ar-rijal dalam pengertian Dr. Zaitunah tidak identik dengan jenis kelamin laki-laki saja. Tetapi ia lebih bermakna peran sosiologis yang bersifat maskulin. Adapun sifat maskulin, dalam konteks kehidupan berumah tangga, diartikan sebagai pihak yang aktif dalam mencari nafkah untuk keluarga. Jadi, menurut pemahaman ini, tak hanya pihak suami saja, jika seorang istri yang berperan dalam mencari nafkah untuk keluarga, ia dikategorikan sebagai ar-rijal.
Sedangkan an-nisa bisa diartikan sebagai feminine. Ia bisa dari pihak laki-laki (suami) maupun perempuan (istri) yang berperan pasif dalam sebuah tatanan. Contoh dalam lingkup keluarga, jika suami tidak bekerja dan mengandalkan istrinya untuk bekerja, suami tersebut disebut feminim.
Hal yang lebih penting dari diskursus tersebut adalah, esensi bagaimana laki-laki dan perempuan dinilai dari perannya, bukan dari jenis kelaminnya. Ini bisa menjadi terobosan baru penafsiran alternative yang tidak bias gender.
Editor: Yahya FR